Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Cantriya Anastasya Simbolon
Presiden Jokowi bersama Pemimpin Baru (setkab.go.id)

Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana: bagaimana kabar UMKM Indonesia setelah sepuluh tahun pemerintahan Jokowi? Banyak yang akan bilang, "Luar biasa, UMKM berkembang pesat!" . Tapi kalau kita gali lebih dalam, jawabannya mungkin tidak seoptimis itu. UMKM memang tumbuh, tapi apakah mereka benar-benar siap untuk menghadapi masa depan yang semakin digital?

Mari kita telusuri bersama. Ini bukan sekadar soal angka di atas kertas, tapi tentang nasib jutaan pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.

10 Tahun di Bawah Jokowi: Kinerja Nyata atau Setengah Hati?

Tak bisa dipungkiri, selama dua periode Jokowi, perhatian terhadap UMKM tampak nyata. Mulai dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR), hingga kemudahan dalam mengakses platform digital. Seperti yang dilansir oleh Medcom.id, pembangunan infrastruktur di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) telah membuka akses pasar yang sebelumnya hanya mimpi bagi pelaku UMKM di pedalaman. Bayangkan, desa yang dulu terisolasi kini bisa bertransaksi digital, bahkan terhubung dengan pasar nasional. Ini adalah langkah besar.

Jokowi telah memberikan banyak sekali dorongan bagi UMKM. Salah satu yang paling terasa adalah akses modal melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Mengutip dari Suaradewata.com, program ini membantu jutaan UMKM yang dulu hanya sekadar bertahan, kini mulai berkembang. Misalnya, ibu penjual keripik di desa kecil yang dulu hanya mengandalkan pasar lokal, sekarang bisa menjual produknya secara online ke seluruh penjuru negeri.

Pemerintah pun berhasil mendorong pelaku usaha kecil untuk ‘go digital.’ Banyak UMKM yang sudah melek teknologi, menggunakan platform e-commerce untuk menjual produk mereka. Ada banyak cerita sukses di balik transformasi digital ini.

Tapi mari kita realistis. Meskipun akses infrastruktur diperluas dan teknologi mulai masuk ke pelosok, masalah UMKM tak selesai di situ. Ada fakta mengejutkan yang perlu dihadapi: lebih dari 63 juta UMKM di Indonesia masih sulit bersaing di pasar yang kian ketat. Jokowi sendiri, dalam pernyataannya yang dilansir oleh CNBC Indonesia, mengakui bahwa UMKM kita kalah bersaing. Salah satu masalah utamanya adalah minimnya literasi digital.

Mari kita ambil contoh konkret. Program digitalisasi UMKM memang ada, tapi berapa banyak yang benar-benar bisa memanfaatkan? Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa hanya sekitar 21% UMKM yang sudah terintegrasi dengan platform digital. Artinya, 79% sisanya masih mengandalkan cara-cara konvensional. Apakah ini cukup? Tentu tidak. Kita sedang berada di era di mana transaksi digital menjadi nadi ekonomi, dan jika UMKM tak mampu mengejar, mereka akan tertinggal, bahkan mati di tengah jalan.

Kesan Pribadi: Di Antara Kagum dan Tanda Tanya Besar

Tak dapat disangkal, Jokowi adalah sosok pemimpin yang berhasil membawa angin segar bagi UMKM. Saya pribadi merasa bangga ketika melihat UMKM dari pelosok desa bisa bersaing di pasar digital berkat infrastruktur yang dibangun. Akses internet cepat, jalan yang terhubung, dan modal usaha melalui program KUR semuanya ada di sana. Ini bukan sekadar janji kampanye, tapi kenyataan yang dapat kita lihat di lapangan.

Namun, apakah ini cukup? Saya rasa tidak. Yang sering terlupakan adalah aspek capacity building—pembangunan kapasitas. Modal dan akses pasar memang penting, tapi jika pelaku UMKM tak punya pengetahuan tentang cara mengelola bisnis di era digital, maka semua itu hanya sebatas kesempatan yang terbuang. Saya pernah berbicara dengan beberapa pelaku UMKM di wilayah Sumatera Utara, mereka mengeluhkan bahwa meskipun sudah punya toko online, penjualan mereka tidak naik signifikan. Kenapa? Karena mereka tidak tahu cara mengoptimalkan penggunaan teknologi digital. Ini masalah besar.

Selain itu, banyak juga UMKM yang terjebak dalam predatory pricing. Mereka dipaksa bersaing dengan harga murah untuk bisa bertahan di platform e-commerce besar. Akhirnya, margin keuntungan menjadi sangat tipis dan tak jarang mereka gulung tikar. Inisiatif Jokowi bagus, tapi jelas ada kekurangan dalam hal pengawasan dan perlindungan bagi UMKM kecil dari raksasa e-commerce.

Fakta: Kesenjangan dan Tantangan UMKM di Era Digital

Mari kita bicara angka. Menurut laporan Bank Indonesia tahun 2023, kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia mencapai 61%, namun hanya 15% dari total UMKM yang mampu masuk ke pasar ekspor. Artinya, kita masih sangat bergantung pada pasar domestik, yang rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Data lain dari Bappenas juga menyebutkan bahwa lebih dari 70% UMKM masih tergolong subsistence, atau hanya mampu bertahan hidup. Ini adalah realitas yang perlu kita hadapi dengan serius.

Tak hanya itu, pertumbuhan UMKM juga terhambat oleh keterbatasan akses ke modal besar. KUR memang membantu, tetapi menurut Laporan Keuangan Kementerian Keuangan 2023, lebih dari 40% UMKM mengalami kesulitan dalam membayar pinjaman karena rendahnya literasi keuangan. Jadi, masalah ini bukan hanya soal akses, tetapi juga soal edukasi finansial yang belum memadai.

Harapan untuk Presiden Baru: Lebih dari Sekadar Janji

Sepuluh tahun Jokowi adalah fondasi yang baik, tapi presiden baru harus berani mengambil langkah lebih besar. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur dan membuka akses digital. Yang dibutuhkan adalah blueprint yang lebih terarah dan berkelanjutan untuk mengangkat UMKM menjadi kekuatan nyata, baik di pasar domestik maupun internasional.

1. Edukasi Digital yang Lebih Mendalam

Literasi digital harus menjadi prioritas. Pemimpin baru harus berani membuat program yang tak hanya sekadar memberi pelatihan dasar, tetapi lebih fokus pada strategi digital marketing, optimasi penggunaan media sosial, hingga pemanfaatan big data bagi UMKM. Edukasi ini harus dilakukan secara masif dan terukur, khususnya di daerah-daerah yang belum tersentuh teknologi.

2. Perlindungan Hukum bagi UMKM

Saya berharap pemimpin baru akan lebih berani membuat kebijakan yang melindungi UMKM dari persaingan tidak sehat. Contoh yang bisa diambil adalah regulasi di negara-negara Eropa yang memberikan prioritas pasar bagi produk lokal. Di Indonesia, kita butuh kebijakan yang lebih proaktif, misalnya memberikan insentif bagi e-commerce yang mempromosikan produk UMKM atau menciptakan platform khusus untuk UMKM lokal.

3. Ekspansi Pasar Ekspor yang Lebih Serius

Pemimpin baru harus mampu membawa UMKM Indonesia ke panggung internasional. Dengan digitalisasi, ini bukan hal yang mustahil. Tapi perlu ada strategi ekspor yang jelas, termasuk bimbingan mengenai standar kualitas produk dan cara bernegosiasi di pasar global. Dengan begitu, UMKM kita tak hanya jadi pemain lokal, tetapi juga global.

4. Penguatan Pasar Domestik dan Kemitraan Lokal

Pemimpin baru juga perlu memperkuat ekosistem UMKM di dalam negeri. Jangan biarkan UMKM kita terjebak dalam siklus subsistence. Arahkan mereka untuk bermitra dengan perusahaan besar, BUMN, atau bahkan pemerintah daerah. Program kemitraan yang melibatkan pihak-pihak ini bisa membantu UMKM naik kelas, baik dari segi produksi maupun distribusi.

Akhir Kata: UMKM di Titik Persimpangan

Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi telah memberi kita fondasi yang cukup untuk membawa UMKM ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi jalan masih panjang, dan tantangan semakin berat di era digital ini. Pemimpin baru punya tugas besar untuk memastikan bahwa UMKM kita tidak hanya bertahan, tetapi benar-benar berkembang. Literasi digital, akses ke pasar global, dan kebijakan perlindungan yang lebih kuat adalah kunci untuk masa depan UMKM yang lebih cerah.

Jadi, pemimpin baru, apa strategi Anda? Kami menunggu, dengan penuh harapan dan juga keraguan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Cantriya Anastasya Simbolon