Kebebasan berpendapat adalah hak yang sangat penting. Maklum, tanpa kebebasan, manusia bakal terhalang berbagai batasan. Kebebasan ini mencakup kemampuan untuk menyampaikan kritik, yang merupakan elemen kunci dalam mewujudkan demokrasi yang sejati.
Kekinian, revolusi industri 4.0 telah membuka pintu menuju era digitalisasi. Tak pelak, era ini tentunya banyak membawa perubahan signifikan dalam gaya hidup dan perilaku individu, kelompok, dan organisasi (Meranti & Irwansyah, 2018). Modernisasi ini telah mempercepat perkembangan teknologi dan informasi, terutama melalui berbagai platform media sosial.
Pertanyaan mengenai masa depan demokrasi semakin relevan dengan adanya fenomena peretasan yang menargetkan individu-individu yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Selain itu, kemunculan buzzer dan influencer juga menimbulkan pertanyaan mengenai posisi mereka dalam konteks kebebasan berpendapat serta dampaknya terhadap demokrasi. Hal-hal ini menjadi tantangan bagi demokrasi di era digital.
Dengan tingginya popularitas media sosial, platform ini mulai dimanfaatkan untuk agenda besar seperti politik dan bisnis. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menggiring opini publik melalui buzzer. Buzzer adalah individu atau kelompok yang sengaja dibentuk untuk kepentingan tertentu di media sosial, berbeda dengan key opinion leader (KOL) atau influencer.
Mereka dapat dikenali dari tujuan aktivitas mereka di media sosial, yang sering kali bertujuan menyebarkan keraguan, menipu, dan menutupi kritik untuk melindungi citra individu, kelompok, atau organisasi. Penting untuk memahami bahwa buzzer menjalankan praktik propaganda dengan agenda yang lebih serius daripada sekadar memviralkan pesan (Farkas & Neumayer, 2020).
Ya, buzzer memiliki kemampuan yang terbukti dalam menggiring opini publik, menyebarkan pesan atau isu secara masif melalui tulisan, narasi, gambar, meme, dan video. Mereka memanfaatkan media sosial, terutama platform berbasis konten yang dihasilkan pengguna, seperti YouTube, serta menciptakan website mereka sendiri untuk menyebarluaskan pesan tertentu.
Semakin banyak informasi yang disebar melalui berbagai platform, semakin banyak orang yang akan terpapar. Buzzer tidak hanya terbatas pada penyebaran informasi melalui media sosial, tetapi juga memanfaatkan teknologi digital yang canggih.
Media sosial merupakan tempat yang ideal untuk penyebaran informasi, terutama dengan adanya algoritma yang memetakan konten yang sering diakses oleh pengguna, memungkinkan pengukuran seberapa banyak perhatian yang diberikan terhadap informasi di internet (Morrar, Arman, & Mousa, 2017).
Menurut Webster (2014) dalam bukunya The Marketplace of Attention, perhatian audiens di media sosial tidak hanya terfokus pada pesan berkualitas, tetapi juga pada struktur like, comment, dan share yang lebih menarik perhatian.
Buzzer memanfaatkan struktur ini untuk memviralkan pesan, agenda, atau propaganda mereka agar mendapat perhatian publik. Praktik buzzer telah menjadi alat bagi politik, bisnis, dan kepentingan tertentu.
Fenomena buzzer kini mengkhawatirkan, karena mereka telah menguasai ruang percakapan publik dan merusak integritas jurnalistik media arus utama dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat luas (Ramadlan et al., 2019).
Baca Juga
-
Menimbang Peran Artificial Intelligence dalam Kontestasi Pemilu Masa Depan
-
Femisida dan Tantangan Penegakan Hukum yang Responsif Gender di Indonesia
-
Sirine Bahaya Krisis Iklim Berbunyi Keras: Saatnya Pendidikan Jadi Garda Terdepan!
-
Menyongsong Transformasi Perpustakaan Berbasis Kecerdasan Buatan
-
Menakar Ulang Peran Militer dalam Demokrasi Pascareformasi
Artikel Terkait
-
PBB Kecam Pembungkaman Protes Pro-Palestina di Negara-Negara Barat
-
Pesta Demokrasi SMA Negeri 1 Purwakarta: Suara Pelajar, Suara Masa Depan!
-
Bukan Cuma Amerika, Pelajaran Penting dari Buku How Democracies Die untuk Indonesia
-
Ancaman Tak Terlihat: Keamanan Siber, Demokrasi, dan Kebebasan Berpendapat
-
Heboh! Influencer Ini Dikecam Karena Latihan Fisik di Gerbang Kuil Suci Jepang
Kolom
-
Budaya Me Time: Self-Care, Self-Reward, atau Konsumerisme Terselubung?
-
Dekonstruksi Stereotip Gender Perempuan: Antara Menjadi Cantik atau Pintar
-
Desain Kebijakan yang Lemah: Pelajaran dari Program Makan Bergizi Gratis
-
Tragedi Sunyi Pendidikan Indonesia: Saat Nikel Lebih Viral dari Siswa SMP Tak Bisa Baca
-
Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?
Terkini
-
Ulasan Lagu Answer oleh ATEEZ: Pesan Kuat dari Perjalanan Mencari Jati Diri
-
Tragisnya Pemain Keturunan Malaysia, Dinaturalisasi Hanya untuk Bermain di JDT!
-
Dampak Nikel terhadap Ikan Pari dan Penyu: Raja Ampat Sudah Tak Aman
-
Debut 23 Juni, THEBLACKLABEL Perkenalkan Member Grup Co-ed ALLDAY PROJECT
-
Review Film Love and Leashes, Eksperimen Cinta yang Unik di Dunia Kerja