Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Suhendrik Nur
Ilustrasi guru (Pexels/Max Fischer)

Menjadi guru honorer di Indonesia bukan sekadar pilihan karier, tetapi perjuangan yang sarat makna dan pengorbanan. Di balik setiap pelajaran yang disampaikan, di balik setiap senyum yang diberikan, terselip realitas pahit yang mungkin tidak disadari oleh banyak orang: gaji yang semakin tidak masuk akal.

Ironisnya, sebutan "guru honorer" sendiri kadang terdengar seolah hanya status sementara, padahal di banyak kasus, itu adalah identitas yang dipikul selama bertahun-tahun tanpa kejelasan masa depan.

Berbicara tentang gaji guru honorer bagaikan membahas cerita horor modern di dunia nyata. Bayangkan seseorang yang mengajar setiap hari, mempersiapkan bahan ajar dengan teliti, bahkan kerap mengorbankan waktu dan tenaga di luar jam kerja, namun menerima gaji yang nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Di banyak daerah, gaji guru honorer hanya mencapai ratusan ribu rupiah per bulan. Angka yang bahkan tidak cukup untuk ongkos transportasi harian, apalagi untuk menopang kehidupan keluarga.

Hal yang lebih menyedihkan adalah, para guru honorer ini bukanlah sosok yang tanpa kualitas. Mereka adalah pendidik yang mengabdikan dirinya untuk membentuk karakter generasi muda, sering kali dengan kemampuan dan dedikasi yang tak kalah dari guru tetap.

Namun, nasib mereka terombang-ambing di tengah kebijakan yang tidak berpihak. Sering kali, janji-janji perbaikan kesejahteraan hanya berakhir menjadi sekadar wacana, meninggalkan ribuan guru honorer bertanya-tanya apakah sebutan "pahlawan tanpa tanda jasa" memang tak hanya sekadar ungkapan sarkasme.

Kehidupan sebagai guru honorer tak jarang penuh ironi. Saat pagi tiba, mereka berdiri di depan kelas dengan senyum dan semangat, memastikan bahwa anak-anak didiknya mendapatkan pembelajaran terbaik.

Tapi, saat lonceng pulang berbunyi, mereka harus kembali pada realitas: menghitung sisa uang yang tak seberapa, mencari cara bertahan hidup hingga bulan depan.

Beberapa dari mereka bahkan harus mencari pekerjaan sampingan agar dapur tetap mengepul. Ada yang menjadi ojek online, penjual makanan, atau bekerja di tempat-tempat lain di luar jam sekolah.

Pertanyaannya kini menjadi semakin jelas: kami, guru honorer, atau hanya guru hororer? Apakah negara dan masyarakat hanya melihat kami sebagai pelengkap sistem pendidikan tanpa hak yang jelas, ataukah sebagai pilar penting yang patut diperjuangkan?

Sebutan "kami, guru honorer" seharusnya menekankan bahwa mereka adalah bagian dari tubuh pendidikan yang tak terpisahkan, bukan sekadar bayang-bayang yang bisa diabaikan.

Beberapa tahun terakhir, memang ada langkah-langkah untuk memperbaiki nasib guru honorer, seperti program pengangkatan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Namun, proses ini pun tak lepas dari tantangan dan seleksi ketat yang kadang membuat para guru honorer tersingkirkan. Tidak semua guru honorer mendapatkan kesempatan ini, dan realitas menunjukkan bahwa masih banyak yang tetap terjebak dalam ketidakpastian.

Apakah suara kami, para guru honorer, hanya akan terdengar di dalam dinding kelas? Apakah pengabdian ini hanya akan dihargai dengan janji manis yang terucap saat pemilu atau saat isu pendidikan menjadi sorotan media?

Perlu ada perubahan signifikan, bukan hanya wacana atau sekadar janji. Karena di balik status "guru honorer," ada hati yang tulus mengajar, ada senyum yang sabar, dan ada pengorbanan yang layak dihargai lebih dari sekadar ucapan terima kasih.

Kesejahteraan guru bukan hanya tentang angka dalam slip gaji, tetapi tentang menghargai perjuangan dan dedikasi yang mereka berikan untuk masa depan bangsa. Jika kita terus mengabaikan mereka, siapakah yang nanti akan mengajarkan nilai-nilai dan ilmu pada generasi berikutnya dengan semangat dan keikhlasan yang sama?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Suhendrik Nur