Penceramah terkenal Gus Miftah tengah menjadi sorotan publik setelah sebuah pernyataannya yang diduga menghina penjual es teh viral di media sosial.
Dalam sebuah ceramah yang digelar beberapa hari lalu, Gus Miftah menyebut profesi penjual es teh dengan nada sindiran yang dianggap sebagian orang merendahkan.
Sebuah video yang memperlihatkan Gus Miftah, atau Miftah Maulana Habiburrahman, mengolok-olok penjual es teh dalam sebuah acara di Magelang baru-baru ini viral dan memicu protes publik.
Gus Miftah, yang saat itu menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, segera menyampaikan permohonan maaf atas tindakannya. Tak berselang lama, ia pun mengumumkan pengunduran diri dari jabatan tersebut.
Insiden ini menimbulkan banyak kecaman dari masyarakat, dengan sejumlah warganet mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Gus Miftah yang dianggap merundung pedagang tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar pepatah bahwa adab lebih penting daripada ilmu. Pernyataan ini mengandung makna yang dalam, terutama dalam konteks kehidupan sosial dan beragama.
Ilmu memang penting sebagai alat untuk memahami dan menjalani kehidupan yang lebih baik, tetapi adab—etika atau cara berperilaku—merupakan pilar yang tidak kalah penting. Terlebih dalam hubungan antarsesama manusia, adab adalah kunci untuk menciptakan keharmonisan dan saling menghormati.
Pernyataan ini semakin relevan ketika kita melihat kasus yang sedang viral hari ini: Gus Miftah, seorang penceramah yang dikenal luas di Indonesia, diduga mengeluarkan komentar yang menghina profesi penjual es teh dalam salah satu ceramahnya.
Kasus ini memunculkan perdebatan terkait pentingnya menghormati sesama manusia, terlepas dari latar belakang profesi, status sosial, atau ekonomi. Lalu, apa kaitannya antara adab, ilmu, dan kasus ini?
Dalam tradisi Islam, ilmu dan adab adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan hidup, tetapi adab adalah pelindung yang menjaga agar ilmu digunakan dengan benar.
Tanpa adab, ilmu bisa menjadi tajam seperti pedang yang bisa melukai, bukan menyembuhkan. Adab mengajarkan kita untuk menghormati orang lain, menyayangi, dan tidak merendahkan profesi atau posisi seseorang.
Kasus Gus Miftah ini memberikan pelajaran penting mengenai peran adab dalam setiap ucapan dan tindakan, terutama bagi mereka yang memiliki pengaruh di masyarakat.
Sebagai seorang penceramah, Gus Miftah tidak hanya dituntut untuk memiliki ilmu agama yang luas, tetapi juga harus memperhatikan cara penyampaiannya.
Dakwah yang efektif tidak hanya berasal dari ilmu yang dalam, tetapi juga dari adab yang baik, serta kemampuan untuk mengedepankan rasa hormat kepada orang lain, terutama kepada mereka yang mungkin berada di lapisan sosial yang lebih rendah.
Sebagai tokoh publik, setiap kata yang diucapkan Gus Miftah tentu akan mendapat perhatian luas. Ucapan yang dianggap merendahkan atau menghina profesi tertentu bisa berdampak besar terhadap citra dirinya dan bahkan bisa menimbulkan perpecahan.
Menghormati sesama manusia, tanpa memandang profesi atau latar belakang mereka, adalah bagian dari etika dasar dalam agama dan kehidupan bermasyarakat.
Gus Miftah sendiri sudah mengeluarkan klarifikasi dan meminta maaf atas komentarnya yang menyinggung itu. Namun, permintaan maaf tersebut tidak serta-merta menghapuskan dampak dari ucapan yang sudah terlanjur viral.
Dalam hal ini, masyarakat kembali diingatkan tentang pentingnya menjaga adab, terutama bagi mereka yang berada di depan publik.
Kasus Gus Miftah ini mengingatkan kita bahwa adab adalah faktor yang sangat menentukan dalam menciptakan hubungan yang harmonis di masyarakat.
Ilmu yang tinggi tanpa disertai adab yang baik bisa menimbulkan kesalahan dan ketidaknyamanan. Menghormati sesama manusia, tidak peduli apapun profesinya, adalah bagian dari adab yang harus dijaga dalam setiap interaksi.
Di saat banyak orang bekerja keras dengan cara yang halal untuk menghidupi keluarganya, kita semua perlu belajar untuk tidak merendahkan profesi siapa pun.
Sebaliknya, kita harus saling menghormati dan mendukung, karena keberhasilan seseorang sering kali merupakan hasil dari kerja keras dan kejujuran mereka, bukan dari status sosial atau gelar yang mereka miliki.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Menimbang Peran Artificial Intelligence dalam Kontestasi Pemilu Masa Depan
-
Femisida dan Tantangan Penegakan Hukum yang Responsif Gender di Indonesia
-
Sirine Bahaya Krisis Iklim Berbunyi Keras: Saatnya Pendidikan Jadi Garda Terdepan!
-
Menyongsong Transformasi Perpustakaan Berbasis Kecerdasan Buatan
-
Menakar Ulang Peran Militer dalam Demokrasi Pascareformasi
Artikel Terkait
-
Tak Terima, Begini Reaksi Anak Yati Pesek usai Sang Ibu Direndahkan Gus Miftah
-
Diduga Karakter Asli Gus Miftah Sebelum Terkenal Terkuak, Disebut Suka 'Mengemis'
-
Sindiran Menohok Ustaz Derry Sulaiman Buat Gus Miftah Seorang Wali: Dia Wali Murid Anaknya dan Wali Nikah Putrinya!
-
Beredar Pamflet Aliansi Santri Jalanan Tolak Miftah Maulana Mundur dari Utusan Khusus Presiden
-
Gus Miftah Disarankan Minta Maaf ke Yati Pesek, Tanpa Kamera dan Dokumentasi
Kolom
-
Budaya Me Time: Self-Care, Self-Reward, atau Konsumerisme Terselubung?
-
Dekonstruksi Stereotip Gender Perempuan: Antara Menjadi Cantik atau Pintar
-
Desain Kebijakan yang Lemah: Pelajaran dari Program Makan Bergizi Gratis
-
Tragedi Sunyi Pendidikan Indonesia: Saat Nikel Lebih Viral dari Siswa SMP Tak Bisa Baca
-
Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?
Terkini
-
Ulasan Lagu Answer oleh ATEEZ: Pesan Kuat dari Perjalanan Mencari Jati Diri
-
Tragisnya Pemain Keturunan Malaysia, Dinaturalisasi Hanya untuk Bermain di JDT!
-
Dampak Nikel terhadap Ikan Pari dan Penyu: Raja Ampat Sudah Tak Aman
-
Debut 23 Juni, THEBLACKLABEL Perkenalkan Member Grup Co-ed ALLDAY PROJECT
-
Review Film Love and Leashes, Eksperimen Cinta yang Unik di Dunia Kerja