Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Muhammad Ilyas Samando
Seniman Yos Suprapto menurunkan lukisannya di Galeri Nasional, Jakarta, Senin (23/12/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Berita nasional diramaikan dengan gagalnya pameran lukisan Yos Suprapto dengan tema "Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” yang jika terlaksana akan dimulai tanggal 20 Desember 2024 dan berakhir tanggal 19 Januari 2025 di Galeri Nasional, Jakarta.

Usut punya usut pameran tersebut gagal terlaksana, menurut Yos Suprapto penyebabnya adalah sang kurator yang ditunjuk oleh Galeri Nasional terkait pameran tersebut yakni Suwarno Wisetrotomo menyuruh untuk menurunkan lima lukisan dari 30 lukisan yang akan ditampilkan.

Di lain sisi Suwarno menyebutkan ada dua karya yang tidak sesuai dengan tema yang dibawa dengan menggambarkan dua lukisan itu sebagai makian semata, terlalu vulgar dan berpotensi merusak fokus terhadap pesan yang kuat dari tema.

Namun Yos beranggapan bahwa lukisan tersebut justru merupakan rangkaian akhir dari lukisan-lukisannya dengan menggambarkan penguasa dan kekuasaan yang menurutnya kedaulatan pangan tanpa kekuasaan hanyalah omong kosong.

Hubungan Negara dengan Karya Seni Pada Era Orla dan Orba

Michael Bodden dalam jurnalnya yang berjudul Rap in Indonesian Youth Music of the 1990s: "Globalization," "Outlaw Genres," and Social Protest menjelaskan bahwa semenjak Era Soekarno kehidupan sosial budaya Indonesia berada dalam satu karakter kepribadian bangsa Indonesia yang membangkitkan semangat nasionalisme.

Salah satu kritik Soekarno terkait karya seni ialah saat mengkritik lagu ala The Beatles yang dianggap sebagai musik “ngak ngik ngok” dan bahkan menyebutkan dalam pidatonya pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1959 sebagai bentuk imperialisme kebudayaan.

Selaras dengan Orde Lama yang dipimpin Soekarno, di Era Orde Baru besutan Soeharto karya seni pun harus dibuat sedemikian rupa sesuai dengan “kepribadian bangsa” yang dibangun oleh pemerintah. Menurut Michael Bodden Orde Baru juga berupaya mengendalikan wacana publik dan produksi budaya dengan berbagai cara, termasuk regulasi pers, pedoman sensor film, dan pelarangan surat kabar, buku, serta pertunjukan teater dan musik. Iwan Fals misalnya, konsernya disabotase sehingga aliran listriknya dipadamkan di tahun 1980-an bahkan pernah ditangkap dan diinterogasi karena lagunya dianggap meresahkan masyarakat.

Sejatinya dalam hal ini beberapa kasus diatas terlihat negara mengatur karya seni sedemikian rupa agar sesuai dengan keinginan pemerintah dan bertujuan untuk menjaga stabilitas nasional.

Harmoko dan Lagu “Hati Yang Luka”

Pemerintah Indonesia pernah berupaya melarang lagu-lagu "menyedihkan" dari televisi pada akhir tahun 1980-an menyusul naik daunnya salah satu lagu yang dinyanyikan Betharia Sonata yakni "Hati Yang Luka". Lagu ini membahas mengenai masalah kehidupan rumah tangga yang diwarnai perilaku kasar suami terhadap istri. Menurut Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, lagu-lagu "cengeng" yang dianggap sebagai lagu yang kurang menarik, melemahkan semangat rakyat, dan melemahkan komitmen mereka terhadap upaya nasional untuk mencapai kemajuan.

Pernyataan Harmoko ini menarik untuk kita cermati, Harmoko sebagai seorang menteri penerangan dalam setiap kata yang diucapkannya menjadi representasi bagaimana negara menganggap sebuah karya seni. Bahkan lagu “Hati Yang Luka” dianggap sebagai lagu yang menghambat pembangunan suatu bangsa.

Menyikapi Pameran Lukisan Yos Suprapto

Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan mengatakan bahwa pemerintah tidak menghalangi kebebasan berekspresi

"Saya kira kita semua sangat mendukung kebebasan berekspresi, tetapi tentu kebebasan berekspresi jangan sampai melampaui batas kebebasan orang lain" dikutip laman Kompas tv pada 12 desember 2024.

Senada dengan Fadli Zon, Natalius Pigai selaku Menteri HAM dalam akun X @NataliusPigai2 yang diunggah pada tanggal 24 Desember 2024 menjelaskan bahwa pameran Yos Suprapto merusak moral bangsa.

“Saya membenarkan Kemneterian Kebudayaan Dr. @fadlizon. Berdasarkan Prinsip Siracuse tentang Pembatasan Hak Asasi Manusia (Limitation of Human Rights) dan UU HAM Nasional kita. Negara dapat melakukan pembatasan Hak Asasi Manusia dalam hal, sesuatu yang “merusak moralitas bangsa atau integritas nasional” seperti mempertontonkan hal2 yang sifatnya atau konten PORNO. PORNOGRAFIS Itu merusak moral dan sudah diatur dalam UU. Tindakan Itu tidak berarti memberangus kreativitas manusia atau mengekang nilai kebudayaan. Kita tetap mengedepankan nilai2 Kebudayaan dan menghormati kreativitas secara holistik.”

Dua pernyataaan dari dua Menteri ini tentu menjadi polemik disatu sisi ada yang pro maupun kontra. Hal ini membuat kita sadar bahwa sebuah karya seni yang merupakan bagian dari ekspresi masyarakat tidak lepas dari pantauan negara apakah sesuai ataupun tidak sesuai dengan “kepribadian bangsa” yang dibangun sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.

Sekali lagi kita sebagai masyarakat tentu kita harus bijak menyikapi setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh tiap individu. Dan tentu dari kasus pelarangan pameran lukisan Yos Suprapto menjadi tanda tanya apakah ini menjadi alarm kebebasan berpendapat atau justru memang karya tersebut yang dalam tanda kutip berlebihan.

Muhammad Ilyas Samando