Libur sekolah di bulan Ramadan selama satu bulan sudah pernah dilakukan di era pemerintahan Presiden Gus Dur pada tahun 1999. Hal tersebut ditujukan agar para pelajar dapat lebih fokus menjalani ibadah di bulan Ramadan dengan mendalami ajaran agama yang lebih baik.
Rumor yang mencuat ini menghebohkan sebagian orang tua siswa, sebab dengan libur selama satu bulan mampu membuat anaknya untuk menjadi bermalas-malasan dan bukan menjadi gemar beribadah. Padahal, libur ini seharusnya dimanfaatkan sebagai ajang memperbanyak ibadah, baik salat, puasa, zikir, membaca Al-Qur'an, berselawat, membantu orang tua di rumah, dan lain sebagainya.
Mari kita bicara di sisi lain, salah satu dampak terhadap siswa bila sekolah menerapkan jam belajar yang singkat, pastinya beberapa siswa tentu berpeluang untuk terlibat dalam perilaku atau tindakan negatif, seperti contohnya adalah tawuran. Lalu, bagaimana jika libur satu bulan penuh? Akankah siswa memanfaatkannya dengan baik? Bahkan, walau jam belajar normal pun tetap saja terjadi tindakan yang tidak baik.
Memang tak semua siswa berperilaku seperti itu, tetapi tentu ada saja yang melakukan. Inilah langkah preventif yang dapat dilakukan di bulan puasa agar tetap bersekolah di bulan Ramadan melalui pesantren kilat atau kegiatan keagamaan. Oleh karena itu, kebijakan libur selama satu bulan penuh perlu dikaji kembali.
Jika siswa libur sekolah selama sebulan, belum tentu akan melaksanakan ibadah secara penuh selain daripada berpuasa. Bahkan, pesantren kilat secara online saja dengan mengirimkan dokumentasi setiap harinya, seperti tadarus dan salat duha bisa saja bertindak tidak jujur. Misalnya, foto berkali-kali diambil dalam satu hari untuk diunggah di hari-hari selanjutnya.
Minimnya kesadaran para pelajar dalam mengamalkan ibadah di bulan Ramadan penting untuk ditumbuhkan. Tidaklah cukup hanya dengan melakukan ibadah dan mengunggah buktinya saja, tetapi perlu adanya rasa kesadaran yang tumbuh di setiap diri mereka masing-masing.
Bukan persoalan mungkin atau tidaknya penerapan libur dalam satu bulan penuh, justru inilah yang perlu dikaji ulang apa saja yang dilakukan siswa selama satu bulan itu. Pastikan libur tersebut digunakan dengan perilaku atau tindakan yang membuahkan nilai positif.
Walau saat ini hanya menjadi wacana belaka, kita harus peduli dengan isu yang muncul seperti ini jika diterapkan di kemudian hari. Dengan demikian, libur puasa selama satu bulan penuh perlu dievaluasi dan diperhitungkan kembali oleh pemerintah.
Baca Juga
-
Ada Presentasi di Kelas? Ini 5 Tips Jitu dari Angga Fuja Widiana
-
Sungai Tungkal Meluap Deras, Begini Nasib Pemudik Sumatra di Kemacetan
-
AI Ambil Alih Estetika, Apakah Pertanda Proses Kreatif Mulai Terpinggirkan?
-
Pendidikan di Era Digital: Bagaimana Jika Ki Hajar Dewantara Tahu AI?
-
Tamansiswa dan Merdeka Belajar: Sejalan atau Berseberangan?
Artikel Terkait
-
Refleksi Taman Siswa: Sekolah sebagai Arena Perjuangan Pendidikan Nasional
-
Pertamina Sukses Penuhi Lonjakan Permintaan Energi saat Ramadan dan Idul Fitri
-
Taman Siswa: Mimpi dan Perjuangan Ki Hadjar Dewantara
-
Bolehkah Membayar Hutang Puasa Orang Tua yang Sudah Meninggal? Ini Penjelasan Lengkapnya
-
Periode Satgas Ramadan Idulfitri 2025 Ditutup, Pengguna MyPertamina Meningkat
Kolom
-
Kartini di Antara Teks dan Tafsir: Membaca Ulang Emansipasi Lewat Tiga Buku
-
Refleksi Taman Siswa: Sekolah sebagai Arena Perjuangan Pendidikan Nasional
-
Kartini dan Gagasan tentang Perjuangan Emansipasi Perempuan
-
Nilai Tukar Rupiah Anjlok, Laba Menyusut: Suara Hati Pengusaha Indonesia
-
Mengulik Pacaran dalam Kacamata Sains dan Ilmu Budaya
Terkini
-
Final AFC U-17: Uzbekistan Lebih Siap untuk Menjadi Juara Dibandingkan Tim Tuan Rumah!
-
Media Asing Sebut Timnas Indonesia U-17 akan Tambah Pemain Diaspora Baru, Benarkah?
-
Ulasan Novel Monster Minister: Romansa di Kementerian yang Tak Berujung
-
Ulasan Novel The Confidante Plot: Diantara Manipulasi dan Ketulusan
-
Taemin Buka Suara Soal Rumor Kencan dengan Noze, Minta Fans Tetap Percaya