Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama demokrasi. Tanpa pers yang bebas, transparan, dan independen, masyarakat akan kehilangan akses terhadap informasi yang jujur dan akurat.
Sayangnya, di Indonesia, kebebasan pers terus mendapat tekanan, baik melalui intimidasi, kekerasan, hingga regulasi yang membatasi kebebasan berekspresi.
Salah satu insiden terbaru yang mencerminkan ancaman ini adalah kasus pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor Tempo—salah satu media yang dikenal kritis terhadap pemerintah dan berbagai kebijakan yang merugikan publik.
Kasus ini bukan sekadar teror biasa. Ini adalah simbol bagaimana kebebasan pers di Indonesia semakin terancam, terutama bagi media yang berani berbicara lantang. Jika situasi ini dibiarkan, ke mana rakyat harus mencari kebenaran?
Pada 19 Maret 2025, kantor redaksi Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, menerima paket misterius. Paket tersebut ternyata berisi kepala babi yang sudah membusuk, dikirim dalam sebuah kotak kardus yang berlapis styrofoam.
Tidak hanya itu, ada juga bangkai tikus yang dikirim, semakin memperjelas bahwa ini bukan sekadar ancaman biasa, melainkan bentuk teror nyata terhadap media.
Menurut Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), tindakan ini merupakan bentuk teror yang berbahaya dan mengancam keselamatan jurnalis di Indonesia.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sasmito Madrim, juga menyatakan bahwa insiden ini menambah daftar panjang kekerasan terhadap pers di Indonesia, yang semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Kasus Tempo hanyalah satu dari banyak contoh bagaimana kebebasan pers di Indonesia semakin terancam. Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, sepanjang tahun 2024, terdapat 87 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Bentuk kekerasan ini beragam, mulai dari ancaman fisik, doxing, peretasan, hingga serangan digital terhadap media yang berani mengkritik kebijakan pemerintah atau kelompok tertentu.
Bahkan, ancaman terhadap jurnalis kini tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga di dunia digital. Wahyu Dhyatmika, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), mengungkapkan bahwa serangan siber terhadap media kritis meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.
Serangan ini sering kali berupa Distributed Denial of Service (DDoS) yang bertujuan melumpuhkan situs web media agar tidak dapat diakses oleh masyarakat.
Ancaman terhadap kebebasan pers juga muncul dalam bentuk regulasi yang membatasi kebebasan berekspresi. Sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sering kali digunakan untuk menekan jurnalis dan media yang dianggap "terlalu kritis."
Alih-alih melindungi kepentingan publik, aturan-aturan ini justru semakin mempersempit ruang gerak pers dalam menjalankan tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi.
Masyarakat harus sadar bahwa kebebasan pers bukan hanya urusan jurnalis atau media, tetapi juga hak setiap warga negara untuk memperoleh informasi yang jujur dan akurat.
Jika tekanan terhadap media terus dibiarkan, kita bukan hanya kehilangan berita yang objektif, tetapi juga kebebasan untuk mengetahui kebenaran.
Kasus teror terhadap Tempo adalah alarm bagi kita semua. Jika media terus ditekan, maka rakyat akan kehilangan akses terhadap informasi yang transparan dan jujur. Pers yang bebas adalah milik kita semua, bukan hanya milik para jurnalis.
Kita tidak boleh tinggal diam. Kebebasan pers harus terus diperjuangkan, karena tanpa pers yang kritis, masyarakat akan sulit mendapatkan informasi yang benar. Jika ini terjadi, demokrasi kita akan semakin melemah, dan Indonesia akan semakin jauh dari prinsip keterbukaan dan keadilan.
Saatnya kita bertanya: Jika media terus dibungkam, ke mana kita harus mencari kebenaran?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Defisit Rp662 T: Dampak Nyata Janji Politik yang Tak Terkendali
-
35 Ribu Lapangan Kerja atau Sekadar Angka Pemanis Proyek Baterai Kendaraan Listrik?
-
Parade Robot Polisi: Antara Janji Modernisasi dan Kritik Publik
-
Pahlawan Devisa atau Korban Kebijakan? Kritik Saran Kerja ke Luar Negeri
-
Kopi Bikin Awet Muda? Studi Harvard Buktikan Manfaat Tak Terduga
Artikel Terkait
-
Lebih Mahal dari Xiaomi 15: Light Phone 3 Sajikan Fitur agar Orang Bisa Pensiun dari Media Sosial
-
Represi Aparat dan Hilangnya Ruang Demokrasi: Akankah Sejarah Berulang?
-
Femisida Intim di Balik Pembunuhan Jurnalis Juwita oleh Anggota TNI AL
-
Rincian Isi PP Tunas, Aturan Baru Prabowo untuk Batasi Anak Main Medsos
-
AMSI Sebut Demo RUU TNI Picu Eskalasi Kekerasan Pers: Bungkam Media dan Jurnalis
Kolom
-
Kamu Lelah, Aku Juga: Beban Mental Seumur Hidup bagi Perempuan dan Laki-Laki
-
Manusia vs Notifikasi: Tradisi Multitasking dan Fokus yang Tak Punya Ruang
-
Zero Waste demi Estetika? Saat Aktivisme Lingkungan Kehilangan Akar Sosial
-
Jempol Lincah, Otak Rebahan: Fenomena Nyinyir Zaman Now
-
Ketika Hustle Culture Jadi Standar Nilai Diri: Salahkah Jika Diam Sejenak?
Terkini
-
Erick Thohir Soroti Mental Liga Indonesia All Star saat Lawan Oxford United
-
Kepindahan Struick ke Liga Indonesia, dan Ketakutan Bakal Melekatnya Nasib Pemain Terdahulu
-
Potret Pria 50-an dalam Novel Tube: Menjadi Baik Tak Berarti Berubah Total
-
Bukan Overthinking Biasa, Ini Makna Lagu Insomnia oleh Craig David
-
Bergabung ke Dewa United, Rafael Struick Punya 3 Modal untuk Sukses di Liga Indonesia