Sentilan Luhut dan Demokrasi Sopan Santun: Ketika Kritik Dianggap Ancaman

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Sentilan Luhut dan Demokrasi Sopan Santun: Ketika Kritik Dianggap Ancaman
Luhut Binsar Pandjaitan (Instagram/@luhut.pandjaitan)

Di negara yang mengaku demokratis, kritik seharusnya menjadi napas, bukan musuh. Tapi entah mengapa, semakin ke sini, suara kritis justru sering dianggap ancaman. Bahkan yang terbaru, peringatan datang dari Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan.

Luhut menyampaikan imbauan tentang pentingnya menjaga sopan santun dalam demokrasi kepada wartawan setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Solo, pada hari terakhir Ramadan 1446 H, Senin (31/3/2025).

“Demokrasi itu betul, tapi jangan demokrasi itu jadi merusak budaya sopan santun kita,” ujar Luhut.

Sekilas, pesannya terdengar baik, tapi maknanya menggigit—seolah-olah rakyat yang bersuara dianggap tidak tahu etika.

Lucu, bukan?

Rakyat yang mempertanyakan kebijakan disuruh diam dengan alasan "tidak sopan". Padahal pemerintah sendiri tidak segan-segan melontarkan ucapan tajam, kasar, dan melecehkan nalar publik.

Kita masih ingat ucapan “ndasmu” dan "anjing menggonggong" yang dilontarkan kepada akademisi, atau komentar merendahkan dari pejabat terhadap warganet yang menyampaikan kegelisahan mereka. Tapi saat rakyat marah karena subsidi dipangkas, harga naik, atau janji tinggal janji—mereka yang protes dianggap memperkeruh suasana.

Bukankah hal ini justru bertolak belakang dengan pesan untuk menjaga etika dan tata krama? Jika pejabat tidak mampu menjadi contoh, bagaimana mungkin masyarakat bisa diminta untuk menahan diri?

Mari kita bicara jujur—apa sebenarnya yang ditakutkan dari kritik?

Kritik bukan serangan. Ia adalah bentuk perlawanan terhadap ketimpangan. Ia adalah upaya rakyat untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak berjalan seenaknya.

Tapi dalam sistem yang mulai alergi terhadap suara berbeda, kritik justru dianggap duri. Tidak peduli seberapa logis atau datanya sekuat apa, jika tidak sejalan dengan narasi penguasa, maka langsung dicap destruktif.

Ketika kritik tidak bisa diserang lewat logika, maka yang digunakan adalah moralitas. "Jangan kasar", "jaga etika", "sopan dong"—semuanya terdengar bijak, tapi sebenarnya alat untuk membuat orang ragu bersuara.

Rakyat kecil yang setiap hari dihantam naiknya harga, sulitnya akses layanan publik, hingga kebijakan yang membingungkan, justru disuruh bicara dengan kalimat manis.

Pemerintah boleh membuat keputusan tanpa transparansi, tapi rakyat dilarang bertanya terlalu keras. Pemerintah boleh janji A, realisasi Z, tapi rakyat diminta tetap sabar dan “berprasangka baik”.

Bukan hanya tidak adil, tapi juga merendahkan kecerdasan publik.

Ketika rakyat mempertanyakan program seperti makan bergizi gratis, misalnya, bukan karena mereka tidak suka anak-anak sehat.

Tapi karena mereka punya hak bertanya: anggarannya dari mana? Pelaksanaannya bagaimana? Apakah ini benar-benar prioritas atau sekadar pencitraan? Tapi lagi-lagi, pertanyaan seperti ini dijawab dengan tuduhan “tidak sabar”, “tidak konstruktif”, atau “tidak punya sopan santun”.

Inilah bahayanya. Ketika etika dijadikan alat untuk menekan kebebasan berpikir, maka demokrasi yang dibangun menjadi semu.

Lebih berbahaya lagi, ketika pejabat yang menuntut rakyat bersikap sopan, justru tidak bisa menahan ego mereka sendiri. Kritik dibalas dengan amarah, pertanyaan dijawab dengan sinisme.

Ini bukan lagi soal etika, ini soal kekuasaan yang terlalu nyaman duduk di singgasananya—sampai lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan tameng.

Jika sopan santun terus dijadikan senjata untuk membungkam kritik, maka jangan heran kalau suatu hari rakyat memilih untuk diam. Tapi diam bukan berarti menerima. Diam bisa berarti muak. Dan saat kemuakan itu meluap, jangan salahkan siapa pun kalau suara yang keluar bukan lagi sekadar kritik, tapi kemarahan.

Demokrasi bukan taman bermain satu arah. Ia harus memberi ruang bagi yang setuju dan yang tidak. Karena dari suara yang berbeda, lahir solusi yang lebih kuat. Pemerintah harus siap dikritik. Dan rakyat berhak marah. Bukan karena benci, tapi karena mereka peduli.

Jadi, berhentilah memakai “sopan santun” sebagai tameng kekuasaan. Kalau pemerintah ingin dihormati, maka belajarlah untuk menghormati rakyat terlebih dahulu.

Jika sopan santun hanya berlaku untuk rakyat, bukan penguasa, masih pantaskah kita menyebut ini demokrasi—atau hanya ilusi kekuasaan yang takut dikritik?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak