Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | .Totok Suryanto.
Ilustrasi uang kertas Rupiah (DokPribadi/TotokSuryanto)

Idul Fitri yang dirayakan di beberapa daerah di Indonesia selalu dibarengi dengan acara sungkeman. Prosesi permohonan maaf yang dilakukan oleh anak-anak terhadap kedua orangtua mereka bersama seluruh anggota keluarga di rumah.

Setelah itu acara yang sama dilanjutkan dengan anjangsana atau saling berkunjung menyampaikan permohonan maaf ke rumah saudara, teman, atau tetangga. Di Jawa Timur tradisi turun temurun ini sering disebut dengan galak gampil.

Sebagai perwujudan rasa syukur pasca melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, tuan rumah akan menyambut kedatangan tamu cilik ini dengan jamuan ringan dan hadiah istimewa yang secara khusus hanya diberikan saat perayaan lebaran.

Hadiah istimewa berupa satu atau beberapa lembar uang kertas Rupiah yang dikemas dalam amplop bergambar tersebut sengaja disediakan oleh tuan rumah untuk menyalurkan zakat harta, atau sedekah yang nominalnya ditentukan dari seberapa besar kemampuan finansial mereka.

Meskipun tidak ada ketentuan dan kesepakatan tentang siapa yang paling layak menerima uang galak gampil tersebut tetapi pemberian lebih sering diprioritaskan buat anak-anak balita hingga anak-anak usia pra remaja yang belum bekerja.

Tidak dapat diketahui dengan pasti alasan apa yang digunakan untuk menentukan prioritas tersebut tetapi kemungkinan mengarah kepada pertimbangan bahwa anak-anak adalah tanggung jawab orangtua sehingga layak mendapatkan perhatian dari orang-orang dewasa di sekitarnya.

Dalam beberapa hari saja anak-anak bisa mengumpulkan sejumlah uang galak gampil yang nilainya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan uang saku mingguan sehingga secara instan kenaikan pendapatan yang diperoleh di hari lebaran tersebut bisa meningkatkan daya beli mereka.

Karena secara finansial mereka belum memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola keuangan maka dengan sedikit euforia uang galak gampil yang memang telah menjadi hak pribadinya tersebut akan dibelanjakan sesuai keinginan demi memenuhi hasrat konsumtifnya.

Seperti membeli makanan dan minuman secara berlebihan, membeli mainan yang disukai, menambah biaya selancar di dunia maya, serta sengaja membakar uang tersebut dengan membeli puluhan petasan atau belajar mengisap rokok bersama teman-teman mereka. 

Tetapi tidak semuanya demikian karena beberapa anak yang lain masih dapat mengendalikan dirinya dengan baik. Atas inisiatif sendiri atau dengan bimbingan orangtua mereka sanggup membelanjakan uang tersebut sesuai kebutuhan dan menyimpan saldonya sebagai tabungan.

Beruntung penerapan tradisi galak gampil tersebut berlangsung dalam jangka pendek sehingga secara perlahan-lahan perilaku konsumtif anak-anak dapat dikendalikan meskipun dalam beberapa saat  sebagian besar di antara mereka sedikit mengeluh. 

Karena pemberian uang galak gampil tersebut mulai dihentikan ketika anak-anak sedang bertransformasi menjadi seorang remaja dengan pesatnya tumbuh kembang yang membutuhkan biaya lebih besar dari sebelumnya sementara mereka belum bekerja. 

Salah satu contoh, pertumbuhan dan perkembangan seksual pada masa remaja akan diikuti dengan tuntutan peran gender sebagai laki-laki dan perempuan yang dibarengi dengan pengeluaran sejumlah biaya tertentu untuk perawatan diri demi pergaulan.

Kata mereka: "lumayan kan kalau ada uang galak gampil, setidaknya bisa buat tambahan beli parfum."

Tetapi sikap para orangtua sebagai donatur musiman ketika menghentikan pemberian paket galak gampil tersebut juga patut diapresiasi karena inisiatif mereka dilandasi oleh beberapa alasan yang tepat dan realistis, bukan alasan-alasan yang diskriminatif.

Mereka menilai bahwa para remaja harus memiliki kesiapan mental untuk belajar menjadi seorang individu dengan kemandirian kuat, dan mampu mengurangi ketergantungan finansial dengan cara bekerja. Terputusnya galak gampil harus dipahami sebagai pintu masuk menjadi seorang manusia dewasa. 

Selamat Idul Fitri, semoga bermanfaat.

.Totok Suryanto.