Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fitri Widyaningrum
Ilustrasi Alat Melukis (Pexels/Steve Johnson)

Dalam sejarah panjang peradaban manusia, seni seringkali menjadi cerminan kebebasan berpikir dan berekspresi. Namun, di tangan rezim otoriter, seni justru dianggap ancaman yang harus dibungkam. Lukisan, patung, musik, puisi, hingga film telah berulang kali menjadi target sensor, karena memiliki kekuatan yang lebih besar dari sekadar hiburan, ia mampu menyentuh hati, menginspirasi perlawanan, dan membangkitkan kesadaran kolektif.

Seni telah lama digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi kekuasaan. Dalam penelitian tentang Biennale Jatim, seni rupa digital digunakan sebagai medium perlawanan terhadap hegemoni budaya yang menindas masyarakat (Supriatna, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa seni tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi pribadi, tetapi juga sebagai bentuk kritik terhadap ketidakadilan sosial dan politik.

Tak hanya dalam seni rupa, dunia sastra juga menjadi saksi bisu bagaimana kata-kata dapat menjadi alat perlawanan. Karya-karya seperti puisi Wiji Thukul yang lantang menyuarakan perlawanan terhadap rezim otoriter membuktikan bahwa seni memiliki kekuatan untuk menggerakkan massa. Begitu pula dengan musik protes, seperti yang dibawakan oleh Iwan Fals atau musisi folk di berbagai belahan dunia, yang merepresentasikan suara rakyat tertindas.

Dengan segala potensinya, seni tetap menjadi medium yang kuat dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Ia tidak hanya menjadi bentuk ekspresi, tetapi juga alat untuk mengedukasi, membangkitkan empati, dan membangun solidaritas. Seni adalah suara mereka yang dibungkam, perlawanan bagi mereka yang tertindas, serta harapan bagi mereka yang mendambakan dunia yang lebih adil dan bebas.

Seni sebagai Bentuk Perlawanan yang Sunyi tapi Menusuk

Diktator takut pada seni bukan tanpa alasan. Seni memiliki kekuatan untuk menyampaikan kritik secara halus, menyamarkan protes dalam estetika, dan menghindari sensor yang lebih mudah diterapkan pada wacana verbal atau tertulis. Ketika kata-kata dibungkam dan suara diredam, seni tetap bisa berbicara dengan cara yang subtil tetapi mendalam. Contohnya, mural-mural yang muncul di dinding kota saat Revolusi Arab menjadi simbol perlawanan diam-diam terhadap rezim yang menindas. Begitu pula dengan lukisan-lukisan satir yang menggambarkan pemimpin otoriter sebagai sosok konyol dan serakah, sebuah cara efektif untuk menggerogoti citra kekuasaan tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun.

Di Indonesia, seni juga menjadi ruang perlawanan bagi mereka yang ingin bersuara melawan ketidakadilan. Musik protes, misalnya, telah memainkan peran besar dalam sejarah politik tanah air. Dari lagu-lagu yang dinyanyikan secara sembunyi-sembunyi di masa Orde Baru hingga musik yang menggema lantang saat era Reformasi, seni musik selalu memiliki daya untuk membangkitkan kesadaran kolektif. 

Penelitian dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa musik protes pada era Reformasi tidak hanya menjadi sarana ekspresi, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan mendobrak ketakutan terhadap otoritas negara (Santoso, 2022). Melodi dan lirik yang tajam bisa menanamkan keberanian dalam diri masyarakat, memberikan mereka keyakinan bahwa suara mereka tetap memiliki makna. Seni adalah perlawanan yang sunyi tetapi menusuk, yang tetap hidup meskipun kekuasaan mencoba meredamnya.

Mengapa Otoritarianisme Membenci Seni?

  1. Seni Menginspirasi Kesadaran dan Perlawanan : Seorang diktator hanya bisa bertahan selama rakyatnya tetap dalam ketidaktahuan dan ketakutan. Seni, dengan kekuatannya yang emosional, mampu membangunkan kesadaran kolektif dan menanamkan gagasan bahwa perubahan mungkin terjadi. Dalam kajian habitus dan komodifikasi seni, dijelaskan bahwa seni selalu beradaptasi dengan situasi sosial dan politik, sehingga mampu menjadi alat perlawanan yang terus berkembang (Wibowo, 2020).
  2. Seni Sulit Dikontrol dan Dibungkam: Kata-kata bisa disensor, buku bisa dibakar, dan jurnalis bisa ditahan, tetapi seni menemukan jalannya sendiri. Karya seni bisa diselundupkan, disebarkan secara digital, atau bahkan dibuat dengan makna ganda yang sulit ditafsirkan langsung oleh aparat sensor.
  3. Seni Mempermalukan Kekuasaan: Diktator membangun citra diri yang kuat, tak terkalahkan, dan dihormati. Ketika seorang seniman menggambarkan mereka dalam karikatur atau menyusun lagu satire, otoritas mereka bisa runtuh hanya dengan satu gambar atau nada. Hal ini yang membuat banyak pemimpin otoriter merasa perlu menindas para seniman.

Seni Tidak Akan Pernah Mati

Ilustrasi Mural (Pexels/Brett Sayles)

Sepanjang sejarah, seni kerap menjadi medium perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Di era Stalin di Uni Soviet, seniman hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Banyak di antara mereka yang dipenjara, bahkan dibunuh, karena karya-karya mereka dianggap melawan ideologi negara. Lukisan yang tidak sejalan dengan prinsip realisme sosialisme dihancurkan, dan mereka yang menolak tunduk pada aturan seni resmi dipaksa menghilang tanpa jejak. Seni, dalam konteks ini, bukan hanya bentuk ekspresi, tetapi juga menjadi senjata yang mengancam rezim.

Fenomena serupa juga terjadi di Tiongkok, di mana sensor terhadap seni kontemporer menjadi hal yang lazim. Seniman seperti Ai Weiwei menjadi simbol perlawanan karena karyanya yang lantang mengkritik kebijakan pemerintah. Karyanya diawasi, dibatasi, bahkan dihapus dari ruang publik dan media sosial. Sementara itu, di Mesir selama Revolusi Arab, dinding-dinding kota menjadi kanvas perlawanan. Mural-mural grafiti yang menggambarkan semangat rakyat kerap dihapus oleh pemerintah, namun selalu muncul kembali, seolah menjadi bukti bahwa suara rakyat tak bisa dibungkam sepenuhnya.

Di Indonesia, bentuk perlawanan semacam itu juga hadir dalam dunia sastra. Novel Para Bajingan yang Menyenangkan karya Puthut EA menghadirkan narasi perlawanan terhadap rezim Orde Baru melalui tokoh-tokohnya yang kompleks dan penuh humor. Penelitian oleh Haryanto (2021) menunjukkan bahwa kritik sosial dalam novel ini disampaikan secara simbolik, menyusup lewat ironi dan kelakar yang tajam. Dengan demikian, seni dalam berbagai bentuknya terus menunjukkan daya hidup sebagai alat perlawanan, bahkan di tengah tekanan dan represi.

Sehingga, seni adalah cerminan kebebasan yang melekat pada hak asasi manusia. Ia lahir dari pemikiran, emosi, dan pengalaman yang tidak dapat dibungkam oleh kekuatan apa pun. Sejarah telah mencatat bagaimana seni menjadi bentuk ekspresi yang melampaui batas-batas kebijakan represif. Ketika suara dibungkam, seni berbicara melalui simbol, metafora, dan warna-warna yang membakar semangat. Ia hadir dalam puisi yang dibisikkan di lorong-lorong gelap, dalam mural-mural yang diam-diam menghiasi tembok-tembok kota, dan dalam nada-nada musik yang mengobarkan perlawanan.

Penindasan terhadap seni sama dengan menindas kebebasan berpikir, namun seni selalu menemukan jalannya untuk bertahan. Tidak peduli seberapa keras kekuasaan berusaha membungkam, seni tetap tumbuh, seperti akar yang menembus celah-celah beton. Dalam setiap goresan kuas, setiap lirik lagu, dan setiap adegan teater yang tersembunyi, ada keberanian untuk melawan ketidakadilan. Seni bukan hanya bentuk ekspresi, tetapi juga alat perlawanan yang tak dapat dihancurkan. Selama masih ada manusia yang berani bermimpi, seni akan terus menjadi suara mereka.

Sejarah membuktikan bahwa seni lebih abadi daripada tirani. Diktator boleh takut pada lukisan, penguasa boleh menyensor kata-kata, tetapi ide yang tertanam dalam seni tidak bisa dihapus begitu saja. Seni tidak hanya bertahan, tetapi juga menginspirasi generasi berikutnya untuk terus memperjuangkan kebebasan. Karya-karya besar yang pernah dilarang kini menjadi saksi bahwa kebenaran selalu menemukan jalannya. Selama manusia memiliki hati yang merdeka, seni akan terus hidup, menjadi perlawanan, harapan, dan kebebasan yang tidak akan pernah mati.

Fitri Widyaningrum