Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi sistem pendidikan di Indonesia (Pexels/Monstera Production)

Kabar terbaru dari dunia pendidikan bikin kita angkat alis: pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) berencana mengembalikan sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA.

Yes, jurusan yang dulu pernah jadi identitas anak SMA: “anak IPA pasti pinter, anak IPS katanya santai, anak Bahasa katanya seni banget”—akan balik lagi setelah sebelumnya dihapuskan pada era Menteri Nadiem Makarim.

Alasannya? Untuk mendukung Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan menggantikan Ujian Nasional. Katanya, karena TKA berbasis mata pelajaran, maka siswa perlu “difokuskan” lewat penjurusan sejak awal agar hasilnya mencerminkan kemampuan mereka. Simpelnya, biar tesnya lebih nyambung sama pelajaran yang mereka dalami.

Tapi… tunggu dulu.

Sistem Pendidikan: Uji Coba atau Uji Nyali?

Banyak masyarakat—khususnya guru, siswa, dan orang tua—mulai geleng-geleng kepala. Rasanya, setiap kali menteri baru datang, kurikulum juga ikut ganti.

Pendidikan kita jadi kayak sandbox experiment: dicoba, diganti, terus balik lagi ke ide lama. Jurusan dihapus, sekarang dihidupkan kembali. Esok lusa? Mungkin diganti lagi. Sampai kapan?

Komentar dari warganet dan pengamat pendidikan cukup nyentil. Mereka menyebut sistem pendidikan kita seperti "laboratorium kebijakan", siswa dan guru dijadikan "kelinci percobaan".

Kebijakan silih berganti tanpa transisi matang, padahal yang terkena dampaknya bukan hanya angka di laporan, tapi masa depan anak-anak.

Bukannya fokus memperbaiki sistem yang sudah ada, yang mungkin masih punya kekurangan tapi punya fondasi yang jelas, pemerintah malah putar balik ke sistem lama. Apa artinya semua perubahan selama ini?

Buat kamu yang mungkin lupa (atau belum ngerasain), sistem penjurusan ini dulunya membagi siswa ke dalam tiga jalur: IPA (sains), IPS (sosial), dan Bahasa. Setiap jalur fokus pada mata pelajaran tertentu dan cukup menentukan arah karier atau kuliah nanti.

Masalahnya, sistem ini sering kali membatasi eksplorasi minat siswa. Banyak siswa yang sebenarnya suka campuran—misalnya suka Biologi dan Sosiologi, atau suka Fisika tapi juga Bahasa Jepang. Tapi mereka harus memilih satu jalur, dan itu mengunci pelajaran yang mereka bisa pelajari lebih dalam.

Belum lagi soal labeling sosial: anak IPA dianggap “lebih pintar”, anak IPS sering distigma sebagai “pemalas”, dan anak Bahasa malah jarang disebut-sebut. Ini bikin tekanan sosial tinggi, padahal kenyataannya semua bidang penting dan butuh orang-orang hebat.

Sering kali dalam diskusi soal pendidikan, kita lupa satu pihak penting: para guru. Mereka adalah ujung tombak dari semua kebijakan, tapi sayangnya jarang dilibatkan dalam penyusunan kebijakan itu sendiri.

Kebijakan berubah, mereka yang harus menyesuaikan—mulai dari materi, metode pengajaran, sampai administrasi. Semua itu dilakukan sambil tetap dituntut “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Padahal, sebagian dari mereka masih berjuang dengan gaji minim dan fasilitas terbatas.

Ingin Maju? Butuh Konsistensi, Bukan Eksperimen Terus

Pendidikan bukan ajang coba-coba. Pendidikan adalah proses panjang, butuh konsistensi, evaluasi menyeluruh, dan partisipasi semua pihak—bukan keputusan instan berbasis logika atau hanya karena “keinginan pihak atas”.

Kita perlu sistem pendidikan yang adaptif, tapi juga berkelanjutan. Tidak masalah ada evaluasi dan revisi, tapi harus berbasis data, pengalaman di lapangan, dan kebutuhan siswa di masa depan—bukan sekadar mengganti karena menteri baru duduk di kursi lama.

Kalau pendidikan ingin membawa Indonesia ke masa depan yang cerah, jangan jadikan kebijakan pendidikan seperti lembaran origami yang terus dilipat dan dibentuk ulang, tapi nggak pernah selesai jadi bentuk yang utuh. Kita butuh arah yang jelas, bukan kompas yang goyang tiap lima tahun.

Semoga ke depan, pendidikan tak lagi jadi ajang coba-coba, tapi jadi ladang tumbuhnya harapan. Karena anak-anak kita bukan pion eksperimen, mereka adalah masa depan.

Kalau kamu guru, siswa, atau orang tua, apa pendapatmu soal ini?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs