Pernyataan Yesrun Eka Setyabudi soal terancamnya angkringan oleh kafe di Jogja, memang menarik. Dalam artikel yang diterbitkan di Yoursay.id, seakan-akan angkringan, si ikon budaya yang melekat erat dengan kota gudeg, akan tergilas oleh tren kekinian.
Namun, benarkah angkringan akan kehilangan tempat di hati masyarakat Jogja, khususnya generasi muda? Faktanya, angkringan tetap tegak berdiri, bahkan semakin kuat, melampaui arus zaman dan menawan hati berbagai kalangan.
Jangan salah, kafe memang menawarkan suasana nyaman, eksklusif, dan estetis, yang mungkin lebih menarik bagi sebagian generasi muda. Namun, angkringan punya pesonanya sendiri, semacam magnet yang tak lekang oleh waktu.
Kusumawati dkk. (2021) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa Generasi Z, yang notabene adalah mahasiswa, justru menjadi pelanggan setia Kopi Joss di angkringan. Ini membuktikan bahwa angkringan mampu beradaptasi dengan selera generasi muda dengan menghadirkan menu makanan dan minuman yang sesuai.
Penelitian Bobby Rahman, dkk (2024) juga menegaskan bahwa angkringan di Yogyakarta bukan hanya disukai mahasiswa, tetapi juga turis dan kelas pekerja. Angkringan menjadi karakter budaya Jogja yang menarik wisatawan luar daerah, sekaligus menjadi tempat nongkrong yang terjangkau bagi kaum menengah ke bawah.
Jika dibandingkan dengan kafe, angkringan justru lebih berhadapan dengan warung makan, warmindo, dan tempat makan kaki lima lainnya. Ini menunjukkan bahwa angkringan memiliki segmen pasar yang berbeda dengan kafe. Angkringan bukan hanya sekadar tempat nongkrong, tapi juga bagian integral dari kehidupan masyarakat Jogja, melekat erat dengan tradisi dan budaya lokal.
Penelitian Taufiq dan Purnomo (2018) serta Prasetyo (2018) juga menegaskan bahwa angkringan di Jogja tidak pernah mati. Justru sebaliknya, angkringan mengalami perkembangan yang pesat sejak tahun 1950 dan terus meluas hingga ke wilayah pinggiran kota. Model pemberdayaan aset wakaf masjid dengan konsep angkringan masjid seperti yang diteliti Taufiq dan Purnomo (2018) juga menjadi bukti bahwa angkringan memiliki nilai sosial dan budaya yang kuat di Jogja.
"Angkringan adalah ruang publik yang demokratis, tempat orang dari berbagai latar belakang dapat berkumpul dan berinteraksi," ungkap seorang antropolog yang meneliti budaya Jogja.
Angkringan memang tidak hanya tempat nongkrong biasa. Di sana, berkumpul berbagai kisah hidup, kegembiraan, dan kesedihan. Di sana, segelas teh hangat dan seporsi nasi kucing dapat menghilangkan lelah setelah sepanjang hari beraktivitas. Di sana, tercipta kebersamaan yang unik dan menghangatkan.
Angkringan juga terus berinovasi, menyesuaikan diri dengan zaman. Konsep dan menu angkringan sudah naik level, dengan tempat yang lebih rapi dan menyediakan menu yang lebih beragam. Angkringan kini tak hanya di pinggir jalan, tapi juga di tempat nongkrong orang berduit. Angkringan menunjukkan bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan.
Angkringan: Cerminan Ketahanan Budaya Jogja
Maka, bukan kafe yang menjadi ancaman bagi angkringan di Jogja, melainkan justru faktor-faktor lain seperti peralihan fungsi lahan, peningkatan biaya operasional, dan persaingan dari tempat makan lainnya. Angkringan di Jogja masih memiliki potensi yang besar untuk berkembang, asalkan para pemilik angkringan terus berinovasi dan mempertahankan nilai budaya yang melekat pada angkringan.
"Angkringan akan tetap eksis asalkan mampu menjaga keunikannya dan beradaptasi dengan zaman," ungkap seorang pemilik angkringan legendaris di Jogja. Angkringan bukan sekadar tempat nongkrong, tapi juga sebuah wajah dari budaya Yogyakarta. Ia adalah kisah tentang ketahanan, adaptasi, dan kebersamaan. Angkringan akan terus berkisah, menemani generasi demi generasi menikmati kehangatan kota gudeg.
Angkringan, dengan budaya dan nilai-nilai yang melekat padanya, telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Jogja. Ia bukan hanya tempat makan, tapi juga ruang publik yang demokratis, tempat berkumpul, berinteraksi, dan berbagi cerita. Angkringan juga menunjukkan ketahanan budaya Jogja yang mampu beradaptasi dengan zaman, tetap eksis di tengah gempuran modernitas.
Memahami Fenomena Angkringan di Era Milenial
Generasi milenial, dengan kecenderungan mereka terhadap tren kekinian dan gaya hidup modern, ternyata juga memiliki tempat khusus di hati angkringan. Angkringan, dengan segala keunikan dan nilai-nilai budayanya, mampu menarik perhatian generasi muda. Hal ini menunjukkan bahwa angkringan bukan hanya milik generasi tua, tetapi juga memiliki tempat di hati generasi milenial.
Terlepas dari tren kekinian, angkringan di Jogja masih memiliki potensi untuk berkembang. Namun, beberapa faktor, seperti peralihan fungsi lahan, peningkatan biaya operasional, dan persaingan dari tempat makan lainnya, tetap menjadi tantangan yang harus dihadapi. Angkringan harus terus berinovasi, menyesuaikan diri dengan zaman, dan menjaga nilai-nilai budayanya agar tetap eksis dan terus menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Jogja.
Angkringan, sebagai warisan budaya Jogja, harus terus dijaga dan dilestarikan. Inovasi menjadi kunci keberlangsungan angkringan di era modern. Dengan menjaga keunikan dan nilai-nilai budayanya, sambil beradaptasi dengan zaman,mangkringan akan terus berkisah, menemani generasi demi generasi menikmati kehangatan kota gudeg.
Pesan Moral dari Kisah Angkringan
Kisah angkringan di Jogja mengajarkan kita tentang pentingnya ketahanan budaya, adaptasi, dan kebersamaan. Angkringan, dengan segala keunikan dan nilai-nilai budayanya, telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Jogja. Ia telah menjadi cerminan dari budaya yang kuat dan mampu bertahan di tengah arus zaman. Angkringan adalah bukti bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan, dan bahwa nilai-nilai budaya dapat terus hidup dan berkembang di era modern.
Kesimpulan
Angkringan di Jogja bukan hanya tempat makan, tetapi juga cerminan budaya yang kuat dan mampu bertahan di tengah arus zaman. Angkringan telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Jogja, dan akan terus berkisah, menemani generasi demi generasi menikmati kehangatan kota gudeg.
Artikel Terkait
-
Jogja Film Pitch and Fund 2024 Digelar, Terpilih 4 Film Karya Sineas Lokal yang Menggugah Sanubari
-
Kecanduan Layar, Kemunduran Budaya: Sisi Gelap Popularitas TikTok
-
Lowongan Kerja untuk Baladewa, Ahmad Dhani Rekrut Fans Jadi Barista di Kopi Dewa 19
-
Narasi Angkringan di Yogyakarta yang Tenggelam oleh Kultur Cafe
-
Saat Anak Muda dan Budaya Bertemu di 'Laras Hati Mangkunegaran'
Kolom
Terkini
-
Ingin Studi ke Luar Negeri? Ini 4 Buku Inspiratif yang Wajib Kamu Baca
-
Mengeringkan Luka yang Basah: Refleksi atas Lagu 'Membasuh' Milik Hindia
-
Masuk Pekan Kedua, Sinners Bertahan di Puncak Box Office dengan Rp758 M
-
Jadwal F1 GP Miami 2025: McLaren Makin Bersinar, Ferrari Apa Kabar?
-
Dean James Kecanduan Lihat Atmosfer Fans Timnas, Tak Nyesal Dinaturalisasi?