Dulu, angkringan adalah tempat paling nyaman buat siapa pun di Jogja. Mau mahasiswa, bapak-bapak tukang parkir, seniman, sampai dosen, semua bisa duduk melingkar, makan nasi kucing, dan ngobrol santai di bawah temaram lampu petromaks. Tapi sekarang, pemandangan itu mulai jarang kelihatan.
Anak muda Jogja sekarang lebih banyak nongkrong di cafe. Tempatnya ber-AC, ada Wi-Fi, kursinya empuk, dan pastinya Instagramable. Nggak heran sih, karena menurut survei UPN Veteran Yogyakarta dan Bank Indonesia tahun 2024, mahasiswa Jogja rata-rata ngeluarin sekitar Rp153 ribu per bulan cuma buat nongkrong di cafe. Itu jadi pengeluaran gaya hidup terbesar kedua setelah makan pokok.
Kultur cafe memang lagi naik daun. Tahun 2014, jumlah kedai kopi di Jogja masih sekitar 350. Tapi cuma dalam lima tahun, jumlahnya meledak jadi lebih dari 3.500! Dan sampai sekarang, pertumbuhannya masih stabil. Bahkan menurut data Kadin DIY, pelaku usaha kopi di Jogja tahun 2023 udah tembus 9.000 orang. Bisa dibilang, hampir di tiap sudut kota, pasti ada cafe baru buka.
Sementara itu, angkringan justru makin tersisih. Jumlahnya nggak jelas, karena kebanyakan angkringan masuk ke kategori usaha informal, jadi nggak tercatat resmi. Tapi yang jelas, dari data Dinas Pariwisata DIY, jumlah rumah makan kecil termasuk angkringan kalah banyak dibanding cafe dan restoran yang jumlahnya lebih dari 1.500 unit di tahun 2023.
Masalah lainnya, kualitas dan fasilitas angkringan juga mulai ketinggalan. Menurut survei yang dilakukan tim ECHO, hampir 43% PKL angkringan di Kota Jogja masuk kategori “rawan tapi aman” dalam hal makanan. Artinya, masih ada kekhawatiran soal kebersihan, walaupun belum membahayakan. Ini bikin orang, terutama generasi muda, makin ragu mampir.
Padahal, angkringan bukan cuma tempat makan murah. Ia pernah jadi ruang diskusi paling jujur dan terbuka. Banyak obrolan penting, dari politik, filsafat, sampai curhat galau, lahir dari bangku kayu dan gelas teh manis panas. Tapi sekarang, ruang-ruang itu tergeser oleh cafe yang lebih nyaman secara fisik, tapi kadang terlalu mahal dan eksklusif buat semua kalangan.
Nggak sedikit wisatawan yang dulu datang ke Jogja buat “mencicipi suasana angkringan” sekarang lebih sering upload foto kopi latte di cafe tematik. Penelitian soal wisata kuliner bahkan mencatat, minat wisatawan terhadap angkringan mulai menurun dibanding lima tahun lalu.
Kalau tren ini terus dibiarkan, bisa-bisa angkringan tinggal jadi romantisme masa lalu. Yang tersisa cuma nama dan cerita, tanpa ada ruang nyata buat jadi tempat kumpul masyarakat lagi. Sayang banget, kan? Jogja yang katanya kota budaya dan kota pelajar, malah kehilangan salah satu ruang sosial terbaiknya
Mungkin memang sudah waktunya kota ini ngelirik lagi ke angkringan. Tapi bukan cuma dilestarikan sebagai “barang kuno” yang dipajang di brosur wisata, lalu dibiarkan begitu aja. Angkringan butuh diberi nafas baru—bukan diubah jadi cafe kecil-kecilan, tapi disegarkan dengan cara yang tetap menjaga rohnya sebagai ruang kumpul rakyat.
Bayangin kalau angkringan punya fasilitas dasar yang lebih layak. Ada penerangan yang cukup, tempat duduk yang nyaman tapi tetap sederhana, akses air bersih, bahkan mungkin colokan listrik atau Wi-Fi gratis ala kampung digital. Bukan buat bikin jadi “kekinian”, tapi biar pengunjung, terutama generasi muda, merasa bahwa nongkrong di angkringan bukan hal yang ketinggalan zaman.
Coba pikir, di tengah banyaknya ruang publik yang makin komersil dan eksklusif, angkringan justru bisa jadi alternatif yang lebih manusiawi. Tempat di mana orang bisa ngobrol tanpa harus beli kopi seharga makan siang. Tempat di mana ide-ide besar bisa lahir dari obrolan santai sambil makan nasi kucing dan tempe mendoan.
Dari angkringan, siapa tahu muncul lagi budaya diskusi terbuka—yang nggak cuma hidup di ruang kelas atau seminar formal, tapi juga di trotoar, di bawah langit malam Jogja, ditemani suara ceret mendidih. Karena pada akhirnya, yang bikin kota ini istimewa bukan sekadar gedung megah atau cafe estetik, tapi ruang-ruang kecil yang membentuk keakraban, yang bikin orang merasa pulang.
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE