Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (Instagram/@gibran_rakabuming)

Kadang dunia politik Indonesia terasa seperti sinetron yang nggak mau tamat. Baru juga pesta demokrasi selesai—walau sebagian bilang pestanya lebih mirip acara keluarga yang sudah diset dengan katering dan MC jauh-jauh hari—tiba-tiba muncul episode baru: usulan pencopotan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan wakil presiden oleh Forum Purnawirawan TNI.

Serius? Baru juga dilantik, sudah mau ditarik kursinya?

Kalau ini bukan politik, mungkin kita akan bilang ini lucu. Tapi karena ini politik tingkat tinggi, mari kita serius sejenak, sambil tetap menjaga agar kepala tak terlalu panas.

Forum Purnawirawan TNI—sekumpulan orang-orang yang pernah memegang senjata dan kini memegang suara—tiba-tiba angkat bicara dan meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil Pilpres 2024.

Alasannya? Proses pemilu dinilai tidak jujur dan adil. Sosok Gibran, sang wakil presiden termuda dalam sejarah RI, jadi sasaran utama karena dinilai “naik pangkat” lewat jalan pintas, bahkan mungkin jalur khusus.

Ya, publik tentu belum lupa bagaimana Gibran bisa melenggang jadi cawapres setelah MK—yang waktu itu diketuai oleh paman sendiri—mengubah aturan soal batas usia. Banyak yang bilang ini contoh nyata bahwa nepotisme bukan hanya hidup, tapi sudah lari sprint.

Tapi tetap saja, ketika muncul usulan mencopot wakil presiden hanya beberapa bulan setelah dilantik, aroma politisnya terlalu menyengat.

Lalu pertanyaannya: apakah ini soal hukum, atau dendam politik yang belum kelar? Forum purnawirawan ini memang punya catatan keras terhadap rezim saat ini, bahkan sejak masa kampanye. Mereka banyak mengkritik soal netralitas aparat, penyalahgunaan kekuasaan, hingga politik dinasti.

Di sisi lain, apakah pencopotan wakil presiden itu mungkin dilakukan?

Menurut UUD 1945, pencopotan presiden atau wakil presiden bukan perkara gampang. Harus ada pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi besar-besaran, atau tindakan tidak bermoral.

Bukan sekadar soal keluhan bahwa “naiknya nggak etis.” Etika memang penting, tapi sayangnya, hukum kita tidak cukup tajam menindak hal yang hanya “terasa tidak etis.” Maka kritik semacam ini sering berhenti di ruang diskusi publik—atau di media sosial yang penuh debat tapi minim solusi.

Maka inilah dilema kita: di satu sisi, publik merasa ada yang tidak beres dalam proses Pilpres 2024. Tapi di sisi lain, sistem hukum kita tidak cukup gesit untuk mengejar rasa tidak adil yang terasa tapi sulit dibuktikan.

Hal yang menarik, justru rakyat biasa yang tampaknya paling lelah. Setelah drama pemilu, banyak yang cuma ingin hidup tenang, harga sembako stabil, dan listrik nggak mati-mati.

Sementara para elite masih sibuk main catur kekuasaan, rakyat kecil justru harus terus bertahan di papan permainan yang mereka sendiri tidak pernah ikut atur.

Hal yang paling penting, kita sebagai rakyat jangan sampai terpancing jadi korban pecah belah antarkubu elite. Gibran bisa saja simbol dari politik dinasti, tapi kalau lawannya juga main di ranah yang sama, akhirnya semua ini jadi pertunjukan politik murahan, bukan perjuangan demokrasi.

Hal yang harus kita jaga adalah kesadaran: bahwa demokrasi bukan cuma soal siapa menang, tapi bagaimana proses itu bisa dipercaya dan diawasi bersama. Bukan hanya dengan mencopot satu tokoh, tapi dengan membenahi sistem yang membiarkan keanehan itu terjadi sejak awal.

Rakyat pantas mendapatkan lebih dari sekadar episode-episode baru drama politik—mereka butuh cerita yang lebih bermartabat: tentang kepemimpinan yang bekerja untuk kesejahteraan rakyat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs