Organisasi mahasiswa sejatinya dilahirkan sebagai wadah mengasah potensi, membentuk karakter sebagai pemimpin dan mengasah nalar kritis. Meninjau dari aspek historis, organisasi mahasiswa menjadi kawah candradimuka dalam membangun kesadaran kolektif, sumbu perubahan sosial serta obor keadilan.
Namun, saat ini tak sedikit orang mempertanyakan relevansi, arah perjuangan hingga praktik internal organisasi-organisasi mahasiswa. Gelombang kritik ini bukan diperuntukkan untuk membubarkan, melainkan sebagai langkah muhasabah diri agar organisasi-organisasi mahasiswa dengan tulus merelakan dirinya untuk kembali ke khitah sebagai pilar intelektual serta moral bangsa.
1. Pragmatisme politik vs Independensi
Kritik yang paling gencar dilakukan serta acap kali digunakan sebagai bahan lelucon baik di sosial media maupun gelanggang diskusi jalanan ialah persoalan pragmatisme politik. Tak sedikit orang menilai bahwa organisasi mahasiswa yang dianggap mesra dengan kekuatan politik tertentu telah kehilangan idealisme dan kemandiriannya.
Alih-alih menjadi kontrol sosial dalam tiap-tiap kebijakan pemerintah dan institusi tertentu, mereka justru menjadi pion kepentingan politik jangka pendek. Tuduhan ini bukan tanpa dalil yang kuat, tak sedikit organisasi mahasiswa yang menyatakan secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi mendukung tokoh politik tertentu. Hal tersebut tentu menciderai cita-cita awal organisasi mahasiswa sebagai kawah candradimuka anggota untuk berfikir kritis dan membangun karakter.
2. Degradasi Budaya Intelektual
Lemahnya budaya intelektual organisasi mahasiswa saat ini tak luput menjadi sorotan. Organisasi-organisasi mahasiswa saat ini terlalu menyibukkan diri dengan agenda-agenda seremonial belaka ketimbang bergelut mengembangkan diskursus akademis yang penuh kritis dan substantif.
Diskusi ilmiah, penelitian, kajian kebijakan hingga riset sosial saat ini kalah pamor dengan rapat internal, pelantikan pengurus hingga agenda simbolik lainnya. Tak ayal, lini masa media sosial organisasi mahasiswa dipenuhi dengan ucapan hari besar, sementara diskursus kritis hingga konten edukatif semakin jarang terlihat. Dampaknya, organisasi mahasiswa kehilangan daya tawar sebagai kelompok intelektual kritis yang diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.
3. Feodalisme dan Sistem Kaderisasi yang Problematik
Internal organisasi mahasiswa juga tak luput dari sorotan dan kritikan. Organisasi mahasiswa masih melanggengkan budaya senioritas yang menekan, hierarki yang kaku serta sistem kaderisasi yang tidak inklusif menjadi catatan penting bagi organisasi-organisasi mahasiswa. Tak sedikit organisasi mahasiswa yang terjebak dalam zona feodalisme dan menumbuhkan ketakutan di kalangan anggota baru.
Ironinya, hingga menjadi doktrin barang siapa yang melawan dianggap sebagai pembangkang. Tentu, hal tersebut bertolak belakang dengan prinsip mayoritas organisasi mahasiswa yang mengedepankan demokrasi dan keterbukaan pandangan, paradigma berfikir hingga argumentasi. Lantas, bagaimana dengan nasib roh organisasi sebagai gelanggang pertarungan ide dan gagasan?
4. Minimnya Kolaborasi Hingga Terciptanya Fragmentasi Gerakan Antar Organisasi Mahasiswa
Kolaborasi yang minim hingga tertutupnya organisasi mahasiswa juga masih menjadi persoalan yang pelik. Alih-alih bersinergi antar organisasi, banyak organisasi mahasiswa yang masih terjebak dalam rivalitas sempit, saling menjatuhkan dengan mengatasnamakan perbedaan ideologi, arah gerakan hingga kaderisasi.
Dampaknya, tiap organisasi mahasiswa masih melanggengkan prinsip eksklusivitas organisasinya masing-masing. Padahal jika kita mau jujur dan rasional, tantangan bangsa saat ini sangat membutuhkan sinergitas antar kelompok, antar entitas. Eksklusivitas antar organisasi mahasiswa acap kali menjadi tembok sosial yang tinggi, akhirnya kekuatan kolektif di kalangan mahasiswa menjadi sangat lemah, bahkan rapuh.
6. Akar Masalah dan Pembenahan
Namun, dirasa tak adil jika kritik diutarakan tanpa melihat akar masalah dalam jangkauan yang lebih luas. Pada kenyataannya, saat ini organisasi mahasiswa berjalan dalam sistem perguruan tinggi yang tak cukup ideal untuk bersikap demokratis. Tekanan dari birokrasi kampus, senior pemangku kepentingan, pembungkaman kritik, pembatasan peran organisasi mahasiswa juga menjadi tantangan tersendiri.
Selain itu, budaya individualisme yang berkembang secara masif menjadi salah satu alasan mahasiswa untuk enggan mengikuti organisasi. Saat ini, mahasiswa jauh lebih banyak membangun "personal branding" dibanding mengikuti gerakan kolektif yang penuh tantangan dan pengorbanan.
Sebab itu, pembenahan organisasi mahasiswa harusnya menjadi hal yang mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Dari faktor internal organisasi, perlunya evaluasi besar-besaran terhadap sistem kaderisasi, arah gerakan hingga budaya organisasi. Pembenahan sistem kaderisasi yang bersifat inklusif, demokratis serta meritokrasi menjadi keharusan yang mutlak.
Organisasi mahasiswa haruslah memaksakan dirinya untuk mengembalikan budaya diskusi, membaca buku hingga aksi yang berbasiskan data valid serta analisis yang tajam. Selain itu, dari faktor eksternal juga harus mulai membenahi diri, kampus sebagai media kritis mahasiswa perlu memberikan ruang lebih luas bagi organisasi mahasiswa untuk berkembang. Bukankah saat organisasi mahasiswa berkembang, kampus juga mendapatkan dampak positifnya?
Organisasi mahasiswa bukanlah alat mobilisasi kepentingan bagi senior dan alumni pemangku kepentingan, melainkan media pendidikan intelektual, karakter, politik hingga kepemimpinan. Segala kritik yang tersampaikan bukanlah dimaksudkan untuk menggembosi semangat berorganisasi, melainkan untuk menyadarkan organisasi mahasiswa dari tidur panjang mereka, bahwa mereka memiliki tanggung jawab historis dan moral yang besar.
Ditengah masyarakat yang kehilangan kepercayaannya terhadap instansi, organisasi mahasiswa harusnya mampu menjadi obor perubahan, asal organisasi mahasiswa dapat membersihkan praktik-praktik menyimpang serta tulus kembali ke cita-cita awal, yakni membela kebenaran, memperjuangkan keadilan serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga diksi "Mahasewa" hinga narasi "Gerakan pesanan" tak menjadi tudingan yang masif dilontarkan saat organisasi mahasiswa benar-benar tulus menyuarakan keadilan.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Kuliah Lapangan di Arab Melayu, Mahasiswa UNJA Perkuat Pemahaman Indigenous
-
Diduga Abai Hasil Otopsi Tewasnya Mahasiswa UKI, Kapolres Jaktim Dilaporkan ke Propam
-
Mahasiswa Resah Lihat Situasi Ekonomi era Prabowo, Sindir dengan Bagi-bagi Beras ke Rakyat
-
Menarik, Dormitori Universitas Tarumanagara Menerima Mahasiswa Nasional dan Global!
-
Terdapat 14 Kasus Kecurangan Pelaksanaan UTBK 2025, Panitia Buka Opsi Laporkan Pelaku
Kolom
-
Bahasa Zilenial: Upaya Generasi Muda Berkomunikasi dan Mendefinisikan Diri
-
Ketika AI Masuk ke Ruang Kelas: Guru Akan Tergantikan atau Diperkuat?
-
Hari Buruh Internasional: Seruan Perubahan untuk Dunia Kerja
-
Usulan Pencopotan Gibran: Ironi Nasib Wapres Kontroversial
-
Orang Tua dan Guru: Dua Pilar Pendidikan yang Sering Tak Searah
Terkini
-
Tayang Mei, Dedikasi Park Bo Gum untuk Drama Good Boy Bikin Terharu!
-
Review Anime Medalist, Keterbatasan Menjadi Kekuatan untuk Meraih Mimpi
-
Laga Kontra China, dan Kans Besar Skuat Garuda Bungkam Rasa Overconfidence sang Lawan
-
Rilis Trailer, Now You See Me 3 Kembali Hadirkan Geng The Four Horsemen
-
Debut 2 Mei, no na Jadi Girl Group Indonesia Pertama dari 88rising