Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi obat-obatan (Pixabay)

Rasanya kita perlu menarik napas dalam-dalam sebelum mencerna kabar terbaru ini: TNI berencana membangun pabrik farmasi. Ya, betul. Bukan markas baru, bukan pelatihan pasukan, tapi pabrik obat-obatan.

Katanya sih demi membantu menurunkan harga obat dan memperkuat ketersediaan di apotek milik Koperasi Desa Merah Putih. Konsepnya seperti gado-gado: ada rasa nasionalisme, sentuhan kesehatan masyarakat, dan tentu saja—bumbu pertahanan negara. Campur aduk.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin yang mengumumkan langsung rencana ini dalam rapat bersama DPR. Beliau menyebut harga obat yang mahal sebagai alasan utama. Maka solusinya: laboratorium farmasi militer akan direvitalisasi, lalu dikembangkan menjadi produsen obat-obatan lokal.

Kedengarannya seperti misi mulia, bukan? Tapi kalau kita buka-buka kembali lembar logika, rasanya ada yang ganjil di sini.

Pertama-tama, kita harus akui, harga obat di Indonesia memang nggak masuk akal. Menurut riset dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), perbedaan harga obat generik dan paten bisa mencapai 10 kali lipat.

Di sisi lain, akses terhadap obat di pelosok masih rendah, apalagi bagi masyarakat miskin yang menggantungkan hidup pada BPJS atau puskesmas seadanya. Jadi, wacana soal produksi obat lokal memang penting dan urgen.

Tapi kenapa harus TNI?

Apakah negara sudah kehabisan lembaga yang lebih relevan untuk urusan farmasi, sampai akhirnya harus memanggil institusi pertahanan untuk turun tangan?

Kita punya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), kita punya Kementerian Kesehatan, ada juga BUMN farmasi seperti Kimia Farma dan Indofarma. Bahkan universitas-universitas punya pusat riset farmasi yang mumpuni.

Namun, tiba-tiba TNI—lembaga yang secara utama bertugas menjaga kedaulatan dan keamanan negara—memutuskan untuk masuk ke ranah farmasi.

Logikanya mirip seperti menyuruh pasukan marinir membuka kedai kopi di tengah medan tempur karena rakyat lelah dan butuh kafein. Lucu, bukan?

Tentu saja, akan ada yang bilang, “Ini bentuk kontribusi TNI untuk rakyat.” Tapi masalahnya, keterlibatan militer dalam urusan sipil sering kali menghasilkan tumpang tindih peran, potensi konflik kepentingan, dan—yang paling berbahaya—minimnya akuntabilitas.

Dan jangan lupakan soal tata kelola. Mengelola pabrik farmasi bukan cuma soal memproduksi pil atau kapsul, tapi juga menyangkut riset ilmiah, sertifikasi kualitas, distribusi logistik, hingga uji klinis.

Industri ini super kompleks dan diatur ketat secara hukum dan etika. Bahkan perusahaan swasta yang sudah puluhan tahun bermain di bidang ini pun masih bisa salah langkah, apalagi institusi yang spesialisasinya bukan di bidang kesehatan.

Dan bicara kualitas, siapa yang akan mengawasi produk obat dari pabrik militer ini? Apakah BPOM akan punya ruang untuk mengaudit dan meninjau secara objektif? Atau malah akan segan karena berhadapan dengan lembaga yang punya hierarki komando?

Transparansi adalah kunci dalam industri farmasi, dan kita tahu betul, dunia militer tidak dikenal sebagai rumah bagi keterbukaan data.

Sementara itu, masyarakat sipil—yang mestinya jadi pusat dari solusi ini—malah hanya diposisikan sebagai pengguna akhir: menerima, mengonsumsi, dan percaya saja.

Padahal, akar dari mahalnya harga obat juga menyangkut struktur rantai pasok, regulasi, dan insentif riset yang minim bagi industri farmasi lokal. Ini bukan soal siapa yang bikin obat, tapi kenapa industri kita selama ini tidak dilindungi dan diperkuat secara tepat.

Kalau niatnya memang ingin memperkuat kedaulatan kesehatan, mengapa tidak fokus membesarkan BUMN farmasi? Mengapa tidak memberikan insentif riset untuk kampus dan lembaga riset independen? Mengapa tidak memperbaiki regulasi distribusi agar obat bisa sampai ke pelosok dengan harga yang adil?

Karena pada akhirnya, kita tidak sedang kekurangan obat—kita kekurangan kebijakan yang tepat sasaran. Dan ketika kebijakan dicampuradukkan dengan semangat militeristik, hasilnya bisa jadi justru makin membingungkan. Apalagi kalau semua serba "dari atas", tanpa ruang diskusi yang melibatkan masyarakat sipil, tenaga medis, dan ilmuwan.

Jadi sebelum kita terlalu semangat membangun pabrik obat berbendera loreng, mungkin kita perlu bertanya dulu: ini benar-benar solusi, atau hanya penambal yang terlihat gagah tapi tidak menyentuh akar persoalan?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs