Kita semua pasti pernah mendengar kalimat ini. “Nggak apa-apa nggak digaji, yang penting pengalaman.” Bagi mahasiswa yang tengah memburu sertifikat magang atau pengalaman kerja pertama, kalimat itu mungkin sudah jadi mantra abadi yang terus diulang oleh dosen, senior, bahkan HR. Tapi di balik itu, pernahkah kita bertanya benarkah pengalaman cukup untuk menggantikan upah?
Industri kreatif kerap tampil sebagai wajah modern dari dunia kerja. Kantor yang penuh bean bag, jam kerja yang fleksibel, suasana kerja yang katanya fun. Tapi di balik pencitraan itu, sering kali ada sisi yang tak dibicarakan banyak orang yaitu unpaid internship alias magang tanpa bayaran.
Fenomena ini tidak baru, tapi semakin hari kian normal dan dibiarkan menjadi tradisi. Dari rumah produksi film, agensi iklan, startup digital, hingga penerbitan buku, banyak yang menjadikan posisi magang sebagai tenaga kerja "sementara" yang sebenarnya mengerjakan pekerjaan tetap.
Di media sosial, keresahan ini sudah lama berseliweran. Tagar seperti #MagangTanpaBayaran atau #UnpaidInternshipIsExploitation muncul sebagai suara perlawanan generasi muda yang jengah dijadikan tumbal semangat “belajar sambil bekerja”.
Beberapa unggahan bahkan membongkar praktik lembur diam-diam yang dibebankan pada anak magang, lengkap dengan target, revisi, dan tekanan mental yang tidak kalah dari pegawai full-time. Bedanya? Mereka pulang tanpa sepeser pun upah.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu dua tempat. Sebuah studi dari Center for Global Development (2022) mengungkap bahwa praktik magang tidak dibayar memperlebar kesenjangan sosial.
Mahasiswa dari keluarga mampu bisa menjalaninya karena ada privilege ekonomi, sementara yang tidak mampu harus menyingkir dari persaingan. Artinya, pengalaman yang katanya setara itu pada kenyataannya tidak bisa diakses oleh semua orang.
Dalam konteks Indonesia, masalah ini semakin kompleks. Budaya ini membuat banyak mahasiswa diam ketika dihadapkan pada ekspektasi kerja tinggi tanpa kompensasi. Sering kali magang dianggap sebagai "tol gate" menuju pekerjaan tetap.
Padahal, tidak sedikit juga yang sudah mengabdi tiga bulan penuh tapi ujung-ujungnya hanya menerima ucapan terima kasih. Ironisnya, pekerjaan mereka tetap digunakan secara komersial oleh perusahaan.
Kasus aktual pernah menimpa rumah produksi film ternama pada tahun 2023, yang membuka posisi magang untuk divisi pascaproduksi. Para peserta diwajibkan datang ke kantor lima hari dalam seminggu, dengan beban kerja penuh, namun tanpa kompensasi.
Saat kasus ini mencuat di Twitter, sebagian membela dengan narasi "itu bagian dari seleksi alami". Tapi pertanyaannya, sejak kapan kerja keras tanpa dibayar dianggap sebagai kewajaran?
Sebenarnya, tak semua industri kreatif berlaku culas. Ada beberapa agensi yang mulai menyadari pentingnya kompensasi bagi pemagang, meskipun dalam bentuk transportasi atau uang makan. Namun tetap saja, ini masih minoritas.
Dalam kebanyakan kasus, unpaid internship masih menjadi dalih untuk memanfaatkan tenaga kerja muda yang belum berdaya tawar.
Lantas, apakah ini artinya magang tak berguna? Tentu tidak. Magang tetap penting, bahkan bisa jadi jalan masuk terbaik ke dunia profesional. Tapi pengalaman seharusnya tidak datang dengan biaya kemanusiaan. Setiap orang yang bekerja layak mendapatkan upah. Bukan cuma karena mereka butuh uang, tapi karena kerja mau betapa pun kecilnya, tetaplah kerja.
Jika kita terus membiarkan praktik magang tanpa bayaran menjadi budaya, maka yang kita wariskan bukan sekadar ketimpangan, tapi juga normalisasi eksploitasi. Kita butuh perubahan cara pandang. Bahwa profesionalisme bisa dimulai dari hal sederhana: menghargai waktu, tenaga, dan kontribusi, tak peduli siapa yang memberikannya.
Mungkin sudah waktunya kita berhenti berkata, “yang penting dapat pengalaman,” dan mulai bertanya, “mengapa pengalaman harus dibayar dengan pengorbanan?”
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Komunitas Seni sebagai Terapi Kota: Ketika Musik Menjadi Ruang Kelegaan
-
Penggusuran Digital: Saat Kelompok Rentan Hilang dari Narasi Publik
-
Penjarahan yang Membunuh Pesan: Apa Kabar Demokrasi Jalanan?
-
Pembangunan Hilir vs Pembangunan Hulu: Benarkah Desa Ikut Sejahtera?
-
Reading Tracker dan Obsesi Kuantitas: Apa Kabarnya Kenikmatan Membaca?
Artikel Terkait
-
Eupopria 2025: Panggung Kreatif Mahasiswa MICE PNJ Dorong Kolaborasi dan Inovasi Industri Event
-
Rekomendasi Printer Murah dengan Fitur Lengkap, Konsumsi Tinta Hemat!
-
Bahas Evaluasi Formatif, Dr. Elfis Isi Kuliah Umum di UIN Bukittinggi
-
Jurusan Kuliah Bukan Tongkat Sulap, Kenapa Harus Dibohongi?
-
5 Rekomendasi Laptop Harga Rp3 Jutaan untuk Mahasiswa: Spek Dewa, Ringan dan Elegan
Kolom
-
Menemukan Ketenangan di Tengah Dunia yang Selalu Online
-
Efisiensi Tanpa Overthinking: Menata Ulang Budaya Kerja Lembaga Mahasiswa
-
Singgung Profesionalisme: Vtuber ASN DPD RI, Sena Dapat Kritik Pedas Publik
-
Duet Ayah dan Anak di Pemilu: Sah secara Hukum, tapi Etiskah?
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
Terkini
-
Sinopsis Single Salma, Film India Terbaru Huma Qureshi dan Shreyas Talpade
-
Sosok Sabrina Alatas, Chef Muda yang Terseret Isu Perselingkuhan Hamish Daud
-
Fajar/Fikri Terhenti di Perempat Final Hylo Open 2025, Dihantui Rasa Lelah?
-
Kejutkan Penggemar, ALLDAY PROJECT Siap Rilis Single Baru di November ini
-
Film Terbaik 2025! 'No Other Choice Begitu Gila dan Mengesankan