Selamat datang di dunia pasca-pandemi, ketika ruang tamu berubah jadi ruang rapat, kasur menyatu dengan jadwal kerja, dan batas antara “jam kantor” dan “jam hidup” larut dalam satu layar monitor. Dulu, kita percaya bahwa bekerja dari rumah adalah surga efisiensi. Kini, banyak yang mendapati rumah justru menjadi ladang senyap dari krisis kesejahteraan psikologis.
Kisah para pekerja jarak jauh (remote workers) setelah pandemi COVID-19 adalah ironi kontemporer. Di satu sisi, mereka merayakan fleksibilitas dan kebebasan. Di sisi lain, mereka menggenggam kesepian, kelelahan yang tak bertepi, dan konflik sunyi antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Dunia kerja tak lagi memiliki pintu dan banyak yang kini kehilangan kunci untuk keluar darinya.
Artikel ilmiah berjudul The relationship between work-life conflict, workforce agility, and subjective well-being among remote employees: The underlying mechanism of job stress yang terbit di jurnal Psikohumaniora Vol. 10, No. 1 (2025) oleh Sari dkk, menjadi pengingat penting bahwa masalah ini bukan sekadar asumsi. Ia adalah kenyataan empiris yang kini mengintai jutaan pekerja di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Namun, tulisan ini tidak akan membedah data atau model statistik. Saya ingin mengajak Anda menyelami persoalan yang lebih luas, lebih humanistik, dan lebih nyata: bagaimana kita sedang menyaksikan bentuk baru dari penderitaan kerja yang bersembunyi di balik label fleksibilitas digital.
Remote working awalnya datang dengan janji manis: efisiensi waktu, penghematan biaya, keseimbangan kerja-hidup, hingga harapan produktivitas tinggi tanpa perlu mengorbankan kenyamanan. Banyak perusahaan dari korporasi raksasa hingga rintisan digital berlomba mengadopsinya sebagai simbol modernitas dan adaptabilitas.
Namun, realitas segera menyusul: meningkatnya jam kerja tanpa batas, tuntutan kehadiran digital tanpa henti, serta tekanan untuk selalu online dan responsif bahkan di luar jam kerja. Zoom fatigue menjadi kosakata baru dalam psikologi organisasi. Kalender digital padat, tetapi hidup sosial semakin sunyi. Dalam banyak kasus, rumah bukan lagi tempat pulang, tetapi medan kerja yang tak mengenal jam pulang.
Dalam kondisi ini, lahirlah fenomena baru: work-life conflict versi digital. Dulu, kita bisa memisahkan kantor dan rumah dengan pagar fisik dan sosial. Kini, pembedaan itu runtuh. Banyak pekerja terutama perempuan yang menghadapi beban ganda: menjaga anak sambil memimpin rapat daring, menyelesaikan laporan sambil mengurus makan malam.
Kondisi ini memperburuk kesejahteraan psikologis. Ketika pekerjaan menyusup ke dalam ruang privat, stres tak lagi punya batas geografis. Ia menetap, mengendap, dan pada titik tertentu, meledak dalam bentuk kelelahan mental, kecemasan, bahkan depresi.
Istilah workforce agility atau kelincahan tenaga kerja menjadi jargon populer belakangan ini. Ia merujuk pada kemampuan adaptif individu terhadap perubahan termasuk perubahan teknologi, sistem kerja, dan tantangan tak terduga. Dalam logika manajemen modern, agility adalah nilai yang harus dimiliki, diasah, bahkan dipuja.
Namun, pertanyaannya: apakah kita benar-benar menjadi “lincah”, ataukah kita hanya menjadi “terpaksa lentur” dalam situasi yang tak memungkinkan pilihan?
Agility seringkali dimaknai dari sudut pandang organisasi: pekerja yang cepat beradaptasi adalah pekerja ideal. Tapi dari sudut pandang psikologi, tuntutan menjadi agile tanpa dukungan emosional dan struktural yang cukup dapat menjadi bumerang. Alih-alih merasa tangguh, pekerja justru merasa rapuh karena setiap adaptasi menguras energi psikis yang tak pernah diganti.
Dan ini bukan hanya soal kemampuan. Ini soal beban. Dalam banyak kasus, agility dijadikan pembenaran untuk memperpanjang jam kerja, menambah beban tanpa kompensasi, atau bahkan menghapus hak untuk lelah. Akhirnya, agility berubah menjadi jerat baru yang mempercepat kelelahan emosional.
Konsep subjective well-being (SWB), atau kesejahteraan subjektif, mengacu pada bagaimana seseorang menilai kehidupannya secara keseluruhan: apakah ia merasa puas, bahagia, dan bermakna. Dalam konteks kerja jarak jauh, SWB semestinya meningkat karena adanya fleksibilitas dan otonomi. Namun, realita justru berbalik.
Fenomena presenteeism digital (hadir secara online, meski secara mental absen) menjadi umum. Pekerja “hadir” di ruang rapat virtual, tapi pikirannya lelah. Mereka memasang senyum dalam frame Zoom, tapi menyimpan amarah, cemas, dan rasa jenuh yang menumpuk. Mereka bekerja, tapi tak lagi merasakan makna dari pekerjaan.
Ini menandai satu hal penting: SWB tidak hanya ditentukan oleh waktu dan tempat kerja, tapi juga oleh kualitas relasi sosial, kontrol atas pekerjaan, dan dukungan emosional yang tersedia. Dalam kerja jarak jauh yang minim interaksi manusia, dimensi-dimensi itu hilang. Yang tersisa hanyalah target, tenggat waktu, dan layar tanpa ekspresi.
Lantas, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, perusahaan perlu mengakui bahwa kerja jarak jauh bukan solusi ajaib. Ia bukan satu-satunya bentuk masa depan kerja, dan tidak cocok bagi semua orang. Pilihan kerja hibrida (kombinasi daring dan luring) perlu difasilitasi dengan fleksibilitas, bukan paksaan.
Kedua, manajemen perlu mengubah logika kinerja dari jam ke hasil. Jangan ukur produktivitas dari seberapa sering seseorang “terlihat online”, tetapi dari kualitas output dan kesehatan mental yang terjaga.
Ketiga, penting untuk membangun budaya organisasi yang mendukung kesehatan mental. Ini bukan soal seminar satu kali, tetapi integrasi nilai-nilai kesejahteraan dalam sistem kerja: waktu istirahat yang dihormati, empati dari atasan, supervisi yang suportif, dan ruang aman untuk menyuarakan kelelahan.
Keempat, negara perlu hadir. Regulasi tentang jam kerja digital, hak untuk “disconnect”, dan perlindungan bagi pekerja informal berbasis daring perlu segera dibentuk. Dunia kerja telah berubah dan hukum ketenagakerjaan tidak boleh tertinggal.Tulisan ini bukan keluhan, tetapi seruan. Kita sedang hidup di era yang mengaburkan batas antara kerja dan kehidupan. Teknologi memberi kemudahan, tapi juga menyimpan jebakan. Di balik fleksibilitas digital, ada manusia-manusia yang pelan-pelan kehilangan makna, koneksi, dan kesejahteraan.
Sudah saatnya kita berhenti memuja kerja tanpa batas. Sudah saatnya kita membangun sistem kerja yang lebih manusiawi, adil, dan berkelanjutan. Karena pada akhirnya, kesejahteraan subjektif bukan tentang seberapa cepat kita bekerja, tetapi seberapa utuh kita hidup.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Tag
Baca Juga
-
Nine Chicken Jambi, Surganya Pecinta Ayam Pedas Kekinian di Kota Jambi
-
Mengubah Budaya, Menyalakan Semangat Kerja
-
Semedja Javanese Cuisine, Surga Kuliner Jawa di Tengah Kota Jambi
-
Bahas Evaluasi Formatif, Dr. Elfis Isi Kuliah Umum di UIN Bukittinggi
-
Ledakan Rempah di Setiap Suapan, Mengintip Lezatnya Kebuli Jannah Jambi
Artikel Terkait
-
Mengubah Budaya, Menyalakan Semangat Kerja
-
Penyebab Gagal Dapat BSU dan Solusinya, Karyawan Lakukan Ini Agar Tak Menyesal
-
Jakarta Mau Bebas Macet: Siapkah Karyawan Swasta Naik Transum Tiap Rabu?
-
Daftar Gaji Karyawan Mie Gacoan per Level, Mulai dari Rp1 Jutaan
-
Mungkinkah Karyawan Swasta di Jakarta Diwajibkan Naik Angkutan Umum Tiap Rabu?
Kolom
-
Semangkuk Soto Ayam: Bahasa Cinta Ibu yang Selalu Menyambutku
-
Kesenjangan Perpustakaan: Kota Penuh Bacaan, Desa Masih Kekurangan
-
Sisi Gelap Internship di Industri Kreatif: Magang atau Kerja Rodi?
-
Mengubah Budaya, Menyalakan Semangat Kerja
-
Dari Dapur Bibi ke Dapur Ibu: Seporsi Nasi 3T dan Rindu yang Tak Selesai
Terkini
-
Masuki Era Baru, ENHYPEN Dinobatkan sebagai Duta Hubungan Masyarakat Seoul
-
Futuristik Abis, Allday Project Unjuk Popularitas di MV Lagu 'Famous'
-
Pecat Imran Nahumarury, Malut United FC Bakal Rekrut Pelatih Asing?
-
Nine Chicken Jambi, Surganya Pecinta Ayam Pedas Kekinian di Kota Jambi
-
15 Tahun Berlalu, Will Smith Akui Nyesal Menolak Main di Film Inception