Di tengah arus besar transformasi dunia pendidikan yang bergerak cepat dan menuntut efisiensi, sering kali sorotan hanya jatuh pada para dosen, peneliti, dan mahasiswa sebagai wajah utama institusi. Padahal, di balik keberlangsungan sistem akademik yang tertata dan fungsional, berdiri sosok-sosok yang tidak kalah penting: tenaga kependidikan. Mereka adalah para operator administrasi, petugas layanan akademik, pengelola laboratorium, dan staf pendukung lainnya yang, meskipun bekerja di balik meja, ikut membentuk denyut kehidupan kampus. Namun ironisnya, pengakuan terhadap kontribusi mereka kerap datang dengan setengah hati. Lebih dari itu, yang kerap menjadi isu mendasar adalah bagaimana mereka memandang dirinya sendiri kerap merasa terpinggirkan dan kurang percaya diri dalam menampilkan kapasitas profesionalnya.
Persoalan kepercayaan diri bukanlah sesuatu yang remeh. Di lingkungan kerja yang dinamis seperti perguruan tinggi, staf kependidikan dihadapkan pada beragam tuntutan mulai dari pelayanan cepat, akurasi administratif, hingga komunikasi yang baik dengan berbagai pihak, dari mahasiswa hingga dosen dan pimpinan. Namun tidak semua staf memiliki rasa percaya diri yang cukup untuk menjalankan tugas ini secara maksimal. Rasa ragu terhadap kemampuan diri, perasaan rendah diri karena bukan “tenaga pengajar,” dan minimnya pelatihan pengembangan diri menjadi kendala yang menyelinap sunyi namun berdampak besar terhadap kualitas kerja dan pelayanan.
Di sinilah personal branding muncul sebagai konsep yang menjanjikan jalan keluar. Selama ini, personal branding lebih banyak diasosiasikan dengan dunia selebritas, pemasaran, atau media sosial. Namun, studi ilmiah yang dilakukan oleh Nofrianda, Fadzlul, dan Periantalo (2025) mengangkat konsep ini dalam konteks yang berbeda sebagai strategi pengembangan diri bagi tenaga kependidikan untuk mengenali potensi diri, membangun citra profesional yang positif, dan pada akhirnya meningkatkan kepercayaan diri. Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Pembelajaran, Bimbingan, dan Pengelolaan Pendidikan ini melibatkan 20 orang staf kependidikan di lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi, yang dibagi dalam dua kelompok: 10 orang dalam kelompok eksperimen yang mengikuti pelatihan personal branding, dan 10 orang dalam kelompok kontrol yang tidak mengikuti pelatihan. Hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan ini secara signifikan meningkatkan kepercayaan diri peserta.
Namun sebelum membahas hasil itu lebih jauh, kita perlu memahami terlebih dahulu makna personal branding dalam konteks tenaga kependidikan. Personal branding bukanlah upaya manipulatif untuk menciptakan citra palsu. Ia adalah seni dan proses mengidentifikasi keunikan diri, mengasahnya, lalu menampilkan nilai itu dengan cara yang konsisten dan autentik di lingkungan kerja. Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif dan fleksibel, individu dituntut tidak hanya bekerja dengan baik, tetapi juga mampu memproyeksikan nilai tambah dirinya. Inilah yang sering kali luput dari perhatian staf kependidikan. Bekerja baik saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kesadaran akan potensi diri dan kemampuan untuk menyampaikannya dengan percaya diri.
Pelatihan personal branding yang dirancang dalam penelitian ini berfokus pada beberapa aspek inti: menggali kekuatan dan nilai personal, mengenali persepsi orang lain terhadap diri, membangun komunikasi yang jelas dan percaya diri, serta mengelola citra diri secara positif di lingkungan kerja. Dengan pendekatan interaktif, reflektif, dan aplikatif, para peserta tidak hanya diajak merenungi kekuatan pribadinya, tetapi juga berlatih menampilkan diri dalam simulasi situasi kerja nyata. Salah satu materi yang paling berdampak adalah sesi refleksi nilai personal, di mana peserta menyadari bahwa banyak keahlian dan pencapaian mereka selama ini tidak pernah mereka anggap berharga sekadar tugas rutin belaka.
Ada satu kisah dari peserta pelatihan yang cukup membekas. Seorang staf administrasi akademik dengan masa kerja lebih dari 15 tahun mengaku bahwa selama ini ia hanya fokus pada menyelesaikan tugas-tugas harian, tanpa pernah merasa dirinya memiliki “keunikan” atau “kekuatan khusus.” Namun dalam pelatihan, ketika ia diminta menyusun peta keunggulan diri, barulah ia menyadari bahwa kemampuannya dalam menjalin komunikasi hangat dengan mahasiswa selama ini telah menjadi faktor yang membuatnya sangat disukai dan dipercaya oleh mahasiswa. Momen pengakuan terhadap nilai personal seperti inilah yang menjadi titik balik bagi kepercayaan diri seseorang. Ini bukan sekadar teori; ini tentang menyadari bahwa dirinya berharga dan layak dihargai.
Secara ilmiah, pengaruh pelatihan ini diukur menggunakan desain quasi-eksperimental dengan pendekatan pretest dan posttest. Dengan alat ukur berdasarkan teori kepercayaan diri Lauster yang mencakup lima dimensi (keyakinan diri, optimisme, objektivitas, tanggung jawab, serta sikap rasional dan realistis), penelitian oleh Nofrianda, Fadzlul, dan Periantalo (2025) menemukan bahwa kelompok yang mendapatkan pelatihan mengalami peningkatan skor kepercayaan diri secara signifikan dibanding kelompok kontrol. Nilai signifikansi statistik sebesar 0,009 menegaskan bahwa perubahan ini bukan sekadar kebetulan.
Namun, yang lebih menarik dari angka-angka itu adalah narasi personal yang muncul setelah pelatihan. Para peserta melaporkan bahwa mereka merasa lebih percaya diri saat berinteraksi dengan dosen, lebih siap menyampaikan pendapat dalam rapat, dan bahkan mulai berani memimpin proyek kecil di unit kerja masing-masing. Dampaknya meluas: bukan hanya pada individu, tetapi juga pada iklim kerja. Kolega mulai melihat mereka dengan cara yang baru, lebih menghargai kontribusinya, dan ini memperkuat siklus kepercayaan diri yang positif.
Tentu saja, satu pelatihan singkat tidak cukup untuk mengubah segalanya. Tapi ia bisa menjadi pemantik. Layaknya api kecil yang memulai nyala, pelatihan ini membuka jalan bagi perubahan sikap dan perspektif yang lebih besar. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah keberlanjutan. Institusi harus menyadari bahwa pengembangan tenaga kependidikan bukanlah pengeluaran, tetapi investasi. Menyediakan ruang refleksi, mentoring, serta pelatihan lanjutan adalah langkah yang harus segera disusul, jika kita ingin tenaga kependidikan berkembang sejajar dengan tenaga akademik.
Kita juga harus kritis terhadap tantangan implementasi personal branding di lingkungan birokrasi pendidikan. Di satu sisi, ada anggapan bahwa “branding” itu terlalu “komersial” untuk diterapkan di dunia akademik. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa menonjolkan diri akan dianggap pamer atau tidak etis. Namun pemahaman ini perlu diluruskan. Personal branding bukan tentang narsisme, melainkan tentang mengelola persepsi profesional dengan kesadaran penuh. Seperti yang dikatakan oleh Haroen (2014), branding personal pada dasarnya adalah persepsi yang terbentuk di benak orang lain. Jika kita tidak membentuk persepsi itu dengan sadar, maka orang lain akan membentuknya untuk kita dan belum tentu sesuai dengan nilai sejati yang kita miliki.
Tenaga kependidikan bukanlah pelengkap. Mereka adalah bagian integral dari mutu layanan pendidikan tinggi. Ketika mereka percaya pada kapasitas dirinya, merasa dihargai, dan mampu menyuarakan kontribusinya dengan percaya diri, maka mereka bukan hanya menjalankan peran administratif, tetapi juga menjadi motor perubahan organisasi. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya menguntungkan individu, tetapi juga institusi secara keseluruhan.
Kita juga tidak bisa mengabaikan dimensi digital dalam personal branding saat ini. Dunia kerja modern, termasuk lingkungan kampus, telah bergeser ke ruang digital. Kehadiran profesional di media sosial seperti LinkedIn, forum diskusi daring, dan bahkan grup WhatsApp kerja menjadi bagian dari cara membangun citra diri. Sayangnya, banyak tenaga kependidikan yang masih gagap dalam memanfaatkan ruang ini. Di sinilah pentingnya pelatihan yang juga mencakup literasi digital dan etika komunikasi daring. Personal branding di era digital bukan hanya tentang estetika visual, tetapi juga konsistensi nilai, kredibilitas informasi yang dibagikan, dan ketepatan interaksi. Ini semua bisa dipelajari, jika kita memberikan ruangnya.
Personal branding juga menyentuh aspek identitas dan harga diri. Ketika seseorang mampu menyatakan dengan bangga siapa dirinya, apa keahliannya, dan kontribusi apa yang bisa ia berikan, maka itu bukan sekadar pernyataan luar, melainkan refleksi kedewasaan personal. Untuk tenaga kependidikan, yang selama ini lebih banyak bekerja di belakang layar, kemampuan ini sangat penting untuk melampaui sekat-sekat hierarki yang tidak perlu, dan menunjukkan bahwa kontribusi mereka tidak kalah bernilai.
Penelitian ini juga memberikan pesan yang jelas bagi para pemimpin institusi: jangan menunggu staf untuk mengembangkan dirinya sendiri. Tugas organisasi adalah menciptakan ekosistem yang memungkinkan pengembangan itu terjadi. Memberikan pelatihan personal branding secara berkala, membuka ruang partisipasi dalam pengambilan keputusan, serta mengakui pencapaian staf dengan terbuka adalah langkah-langkah nyata yang bisa dilakukan. Kepercayaan diri tumbuh bukan hanya dari dalam individu, tetapi juga dari bagaimana lingkungan memelihara dan menghargainya.
Sebagai penutup, pelatihan personal branding bagi tenaga kependidikan bukan sekadar program tambahan, melainkan kebutuhan strategis dalam pengembangan sumber daya manusia perguruan tinggi. Penelitian oleh Nofrianda, Fadzlul, dan Periantalo (2025) menunjukkan bahwa perubahan sikap dimulai dari pengakuan diri, yang diperkuat oleh lingkungan yang suportif. Jika kita ingin melihat kampus sebagai ruang profesional yang sehat dan dinamis, maka kita harus memulainya dari orang-orang yang menjaga ritmenya sehari-hari tenaga kependidikan yang percaya pada dirinya, dan pada peran penting yang mereka emban.
Baca Juga
-
Menikmati Mie Rebus Bengkalis, Kuliner Tradisional yang Memikat
-
Generasi Layar, Ketika Game Online Mengganti Dunia Nyata
-
Secawan Kopi, Menikmati Kopi dan Hidangan Khas Bengkalis di Pekanbaru
-
Rasa Tak Bohong: Pempek Uduy, Sensasi Kuliner yang Wajib Dicoba di Jambi
-
Work-Family Enrichment, Menemukan Keseimbangan bagi Perempuan Pekerja
Artikel Terkait
-
Peringati Hardiknas, Pemprov DKI Tebus 381 Ijazah yang Tertahan karena Tunggakan Biaya Sekolah
-
Sejuta Anak Punya Cerita: Menjadikan Pendidikan sebagai Hak, Bukan Impian
-
Sarana Prasarana Digital jadi Motor Penggerak Kualitas SDM Masa Depan RI
-
Peringati Hardiknas, Prabowo: Terima Kasih Para Guru
-
Anggaran Pendidikan Gede, Tapi Sekolah Minim Toilet, Prabowo: Bagaimana Bisa?
Kolom
-
Parenting Hanya untuk Orang Berpendidikan, Benarkah?
-
Menyibak Tabir Kemerosotan Pendidikan: Indonesia Perlu Berbenah
-
Menjaga Senja yang Ramah: Saat Lansia Tak Lagi Jadi Prioritas
-
Kalau AI Bisa Baca, Tulis, Ngoding, Lalu Sarjana Ngapain?
-
Sekolah Bocor di Negeri 'Prioritas Pendidikan': Kapan Janji Jadi Kenyataan?
Terkini
-
5 Drama China Tentang Dinamika Kehidupan Pernikahan, Ada Drama Begin Again
-
Bucin Tanpa Batas, Intip Isi Hati Member SEVENTEEN Lewat Lagu 'Crush'
-
Bergenre Action Komedi, Drama Korea Good Boy Umumkan Deretan Pemain
-
Sering Dibandingkan, Kevin Diks atau Dion Cools yang Lebih Unggul saat Keduanya Bertarung?
-
Unik, Simbolisme Lagu TWS 'If I'm S, Can You Be My N': Naksir Tapi Gengsi