Pernah nggak, kamu beli skincare yang diklaim “99,99% efektif mengatasi jerawat”? Tapi begitu dipakai, justru kulit kamu merah, panas, dan malah jerawatnya makin agresif kayak ditantang. Terus kamu protes ke customer service, eh malah dijawab, “Yah, itu kan cuma 0,01 persen kasus, berarti produk kami berhasil dong!” Lucu? Iya. Menjengkelkan? Banget.
Sekarang bayangkan, respons serupa datang dari Presiden Republik Indonesia. Bukan soal skincare, tapi soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang melibatkan jutaan anak.
Dalam pidato publiknya, Presiden Prabowo bilang bahwa kasus keracunan makanan akibat program MBG itu nggak sampai 1 persen dari total penerima. Artinya, 99,99 persen berhasil. Prestasi, katanya.
Kita bisa pahami bahwa program pemerintah memang selalu penuh tantangan. Tapi membela diri dengan statistik mentah untuk menjawab masalah nyawa anak-anak? Kayaknya itu bukan caranya, Pak.
Dalam dunia komunikasi publik, narasi seperti “99,99 persen berhasil” terdengar impresif di permukaan. Tapi begitu kita kulik dalam-dalam, angka itu bisa jadi selimut yang menutupi lubang besar dalam program ini: ketidaksiapan sistem, pengawasan longgar, dan minimnya evaluasi berbasis data yang bisa diakses publik.
Keracunan makanan, sekecil apa pun skalanya, bukan statistik yang bisa dibanggakan. Itu alarm. Sayangnya, bukan alarm pertama.
Kita semua sepakat bahwa ide memberi makan bergizi secara gratis itu mulia.
Nggak usah jauh-jauh ngomong soal angka stunting, bahkan di depan rumah kita mungkin ada anak yang makannya cuma nasi dan kerupuk tiap hari. Jadi ketika negara hadir dan mau menyiapkan makanan sehat untuk jutaan anak, itu langkah yang layak diapresiasi.
Tapi, ya jangan asal jalan. Jangan buru-buru karena dikejar janji kampanye. Karena makanan itu bukan stiker pemilu. Harus ada kualitas, pengawasan, dan sistem pelaporan yang jelas.
Sampai hari ini, kita belum dapat data lengkap: gimana sebenarnya distribusi MBG itu? Berapa sekolah yang sudah menerima? Apa makanan disiapkan oleh dapur profesional atau warung sebelah yang dadakan disewa? Lalu gimana kontrol kesehatannya?
Hal yang lebih penting: apa efeknya? Apakah status gizi anak meningkat? Atau program ini hanya berakhir di foto-foto anak makan nasi kotak sambil tersenyum ke kamera?
Kalau ada kritik dari publik soal keracunan makanan, itu bukan serangan politik. Itu jeritan kekhawatiran dari orang tua, guru, bahkan warganet yang peduli.
Bukan karena mereka benci Prabowo, tapi karena mereka peduli pada anak-anak yang makan makanan dari negara dengan penuh harap.
Tapi sayangnya, respons dari Presiden terkesan defensif, bukan reflektif. Padahal, pemimpin besar biasanya bukan diukur dari keberhasilannya saja, tapi dari cara dia merespons kegagalan—sekecil apa pun itu.
Sudah saatnya pemerintah mengeluarkan data terbuka soal ini. Berapa total kasus keracunan yang sudah dilaporkan? Bagaimana kronologinya? Siapa penyuplai makanannya? Apakah sudah dikenai sanksi? Setelah itu, apa langkah korektifnya?
Tanpa evaluasi yang transparan, kita cuma main tebak-tebakan sambil berharap nggak ada lagi anak yang jadi korban “kecelakaan kecil 0,01 persen”.
Kalau kamu termasuk orang yang merasa “ah, netizen lebay, masa satu dua anak keracunan aja ribut?”, coba pikir lagi.
Kamu pasti nggak akan bilang begitu kalau yang keracunan itu adikmu. Atau keponakanmu. Atau anak dari tetangga yang tiap hari main di halaman rumahmu.
Kritik dari publik bukan untuk menjatuhkan. Tapi untuk mengingatkan bahwa program besar butuh kontrol besar. Bahwa kita bukan cuma butuh niat baik, tapi juga eksekusi cermat. Karena program sosial bukan konten YouTube yang bisa di-take down kalau salah. Ini soal hidup dan mati. Seserius itu.
Kita semua ingin melihat Indonesia maju. Anak-anak sehat, pintar, dan kenyang. Tapi pembangunan bukan cuma soal jumlah. Bukan cuma soal klaim "berhasil". Tapi soal integritas dalam proses.
Jadi kalau Presiden bilang 99,99 persen berhasil, mari kita jawab dengan sopan tapi tegas: “Bagus, Pak. Tapi boleh kami tahu lebih detail 0,01 persen itu kenapa dan bagaimana solusinya?”
Karena dalam hal nyawa manusia—terutama anak-anak—nggak ada ruang untuk cuek-cuek santai ala statistik.
Setuju?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
UU BUMN Cabut Status Penyelenggara Negara: Apa Dampaknya untuk Rakyat?
-
Danantara dan Rp17 Ribu Triliun: Kekayaan Negara yang Tak Sampai ke Rakyat
-
Bank Dunia Bilang Kita 60% Miskin, BPS Cuma 8%: Siapa yang Salah Hitung?
-
Kampung Haji Indonesia di Mekkah: Proyek Nasionalis atau Pencitraan Semata?
-
Sarjana Nganggur: Ketika Gelar Tak Lagi Jadi Golden Ticket di Dunia Kerja
Artikel Terkait
-
Bakal Beri Bintang Kehormatan untuk Bill Gates di New York, Apa Alasan Prabowo?
-
Pengusaha H Isam Ikut Dampingi Prabowo Temui Bill Gates di Istana
-
Momen Bill Gates Beri Hadiah Boneka Paus ke Bobby Kertanegara, Suasana Langsung Cair
-
Danantara dan Rp17 Ribu Triliun: Kekayaan Negara yang Tak Sampai ke Rakyat
-
Sambil Tenteng Dokumen, Bill Gates Semringah Bertemu Prabowo di Istana Merdeka
Kolom
-
Produk Halal Tapi Merusak: Perlukah Makanan Tak Sehat Dicap Haram?
-
Pendidikan Karakter ala Militer di Jawa Barat: Solusi atau Masalah Baru?
-
UU BUMN Cabut Status Penyelenggara Negara: Apa Dampaknya untuk Rakyat?
-
Penahanan Ijazah Karyawan: Jaminan Keseriusan atau Modus Intimidasi Perusahaan?
-
Krisis Integritas: Normalisasi Menyontek dalam Pendidikan di Indonesia
Terkini
-
Kisah Lucu dan Haru dalam The Day the Earth Blew Up: A Looney Tunes Movie
-
Rilis Poster dan Teaser, Squid Game Season 3 Janjikan Lebih Mematikan?
-
Tentang Waktu: Kisah Cinta, Sejarah, dan Pilihan dalam Lintasan Waktu
-
Sinopsis Drama Spring of Youth, Dibintangi Park Ji Hu dan Ha Yu Jun
-
Ulasan Novel Sylvia's Letters: Kenangan yang Tidak Akan Menemukan Tujuan