Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi perempuan membuat mini vlog (Pexels/Alena Darmel)

Di tengah lautan digital yang berkilau, Generasi Z menaburkan potongan-potongan keseharian mereka melalui mini vlogs di Instagram Stories. Sekilas kopi pagi, denting musik di perjalanan, atau tawa spontan bersama teman—semua diabadikan dalam klip 15 detik yang lenyap dalam sehari.

Ini adalah lukisan hidup yang cepat, namun penuh makna, seolah setiap story adalah puisi singkat tentang eksistensi mereka. Apakah mini vlogs ini sekadar dokumentasi jurnal modern, atau panggilan halus untuk validasi dari dunia maya?

Dan, bagaimana kebiasaan ini menggoyahkan batas-batas privasi? Seperti bunga yang mekar di layar, mini vlogs Gen Z adalah cerminan jiwa yang haus berbagi.

Daya tarik mini vlogs berpijak pada dorongan manusia untuk mengekspresikan diri, yang diperkuat oleh desain platform media sosial.

Dalam studi berjudul Instagram: Motives for Its Use and the Relationship with Narcissism and Contextual Age, Sheldon dan Bryant (2016) menemukan bahwa pengguna Instagram, terutama generasi muda, termotivasi oleh kebutuhan untuk dokumentasi diri dan pengakuan sosial.

Penelitian ini menunjukkan bahwa berbagi konten visual, seperti stories, memungkinkan pengguna merasa terhubung dan dihargai oleh audiens mereka. Bagi Gen Z, mini vlogs menjadi kanvas untuk merekam momen sehari-hari, sekaligus panggung untuk menarik perhatian, menjadikannya perpaduan kompleks antara ekspresi pribadi dan performa publik.

Mengapa Gen Z begitu terpikat pada mini vlogs? Jawabannya ada pada kebebasan dan spontanitas yang ditawarkan Instagram Stories. Dengan fitur yang sederhana—filter, stiker, atau teks berwarna—mereka bisa mengubah rutinitas biasa, seperti makan mi di warung, menjadi narasi yang estetis.

Di Indonesia, pengguna Instagram mencapai 100 juta pada 2024 menurut Statista, Gen Z menggunakan stories untuk menangkap budaya lokal, dari pasar malam hingga tren fesyen hijab. Sifat sementara stories, yang hilang setelah 24 jam, memberi mereka keberanian untuk berbagi tanpa takut penilaian abadi, seperti menulis di pasir yang akan diterpa ombak.

Apakah mini vlogs ini bentuk dokumentasi atau pencarian validasi? Pertanyaan ini ibarat koin dengan dua sisi yang saling bertaut. Di satu sisi, mini vlogs adalah jurnal digital, tempat Gen Z mencatat fragmen kehidupan—seperti senja di pantai atau tumpukan buku kuliah—untuk dikenang suatu saat nanti.

Namun, di sisi lain, dorongan untuk mendapatkan like atau balasan dari penonton sering kali mengintai. Sheldon dan Bryant (2016) mencatat bahwa pengakuan sosial adalah motivasi utama di Instagram, dan Gen Z tak luput dari godaan ini.

Ketika story tentang brunch di kafe mendapat puluhan view, ada kepuasan halus yang membuat mereka ingin berbagi lagi, menjadikan validasi sebagai bahan bakar yang tak terucapkan.

Dampak mini vlogs pada privasi adalah seperti menari di tepi jurang. Dengan berbagi momen pribadi—dari rutinitas pagi hingga keluh kesah di close friends—Gen Z secara tak sadar membuka pintu kehidupan mereka untuk dilihat dunia.

Tantangan lain muncul dari tekanan untuk tampil sempurna di mini vlogs. Ironis, bukan, ketika kebebasan berekspresi justru membelenggu Gen Z dalam standar estetika yang tak realistis? Membuat story yang “Instagramable” sering kali membutuhkan waktu dan usaha, mengubah momen spontan menjadi produksi mini.

Selain itu, kecanduan memeriksa view atau respons bisa memicu kecemasan, terutama jika story tak mendapat perhatian yang diharapkan. Di Indonesia, budaya komunitas masih kuat, Gen Z juga menghadapi dilema antara berbagi autentik dan menjaga privasi demi menghormati nilai-nilai keluarga atau sosial.

Mini vlogs di Instagram Stories adalah cerminan jiwa Gen Z: ekspresif, rentan, dan selalu mencari keseimbangan antara berbagi dan menyimpan. Seperti lukisan yang hanya bertahan sehari, mini vlogs mengajarkan bahwa kehidupan adalah kumpulan momen kecil yang layak dirayakan.

Namun, Gen Z diajak untuk bijak: nikmati kebebasan berekspresi, tetapi jaga privasi seperti harta yang rapuh. Jadi, lain kali kamu merekam story tentang hujan di jendela, ingatlah—setiap klip adalah puisi, tetapi kamu yang memilih seberapa banyak dunia boleh membacanya. Ayo, Gen Z, ciptakan cerita yang indah, dalam dan di luar layar!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah