Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
ilustras buku [pexels/Min An]

Di kelas-kelas SMA, buku paket adalah kompas setia, memandu siswa melalui lautan pengetahuan dengan halaman-halaman yang penuh coretan dan stabilo. Namun, di dunia kuliah, platform e-learning seperti Moodle atau Google Classroom menjadi peta baru, menawarkan akses tak terbatas ke materi, kuis daring, dan forum diskusi.

Peralihan ini bukan sekadar pergantian alat, melainkan revolusi cara belajar, di mana teknologi menjanjikan efisiensi namun juga membawa tantangan. Bagaimana buku paket dan e-learning membentuk pengalaman belajar? Apa dampak teknologi terhadap efektivitas pembelajaran? Dan, adakah harga yang harus dibayar untuk kemudahan digital? Seperti sungai yang beralih dari aliran lambat ke arus deras, teknologi mengubah lanskap belajar dengan pesona sekaligus rintangan.

Keberhasilan e-learning bergantung pada penerimaan dan kesiapan penggunanya, sebuah fakta yang ditegaskan oleh penelitian teknologi pendidikan. Dalam studi berjudul Using the Technology Acceptance Model in Understanding Academics’ Behavioural Intention to Use Learning Management Systems, Alharbi dan Drew (2014) menemukan bahwa efektivitas e-learning dipengaruhi oleh kemudahan penggunaan dan manfaat yang dirasakan, seperti fleksibilitas akses dan interaktivitas.

Penelitian ini menunjukkan bahwa platform e-learning dapat meningkatkan keterlibatan belajar jika dirancang dengan baik, namun tantangan seperti keterbatasan teknis atau kurangnya keterampilan digital dapat menghambat. Di Indonesia, di mana teknologi pendidikan berkembang pesat, temuan ini relevan untuk memahami transisi dari buku paket ke e-learning.

Di masa SMA, buku paket adalah raja tanpa mahkota, mengatur ritme belajar dengan teks yang terstruktur dan latihan yang wajib diselesaikan. Setiap bab adalah peta jalan, dari rumus matematika hingga kronologi sejarah, dicerna melalui catatan tangan dan diskusi kelas.

Di Indonesia, buku paket dari pemerintah, seperti yang diterbitkan Kemendikbud, menjadi tulang punggung pembelajaran, dengan 80% siswa SMA mengandalkannya sebagai sumber utama menurut data 2024. Belajar terasa nyata, dengan aroma kertas dan berat buku di tas, namun juga kaku—siswa terbatas pada apa yang tercetak, tanpa ruang untuk eksplorasi di luar halaman.

Memasuki kuliah, e-learning mengambil alih seperti angin segar yang membawa perubahan. Mahasiswa kini belajar melalui video kuliah di YouTube, modul PDF di Learning Management Systems, atau kuis interaktif di Kahoot. Platform ini menawarkan fleksibilitas—materi dapat diakses kapan saja, dari kos atau kafe, tanpa perlu membawa tumpukan buku.

Di Indonesia, adopsi e-learning melonjak sejak pandemi, dengan 70% perguruan tinggi menggunakan platform seperti Edmodo atau Moodle menurut survei Kompas 2024. Namun, belajar digital ini ibarat pedang bermata dua: membebaskan, tetapi menuntut disiplin diri dan literasi teknologi yang tidak semua mahasiswa miliki.

Dampak teknologi pada efektivitas belajar adalah seperti lukisan dengan warna-warna kontras. E-learning, seperti yang dicatat Alharbi dan Drew (2014), meningkatkan keterlibatan melalui fitur interaktif, seperti forum diskusi yang memungkinkan mahasiswa berbagi ide dari jarak jauh.

Di Indonesia, platform seperti Ruangguru telah membantu mahasiswa mengakses tutor daring, memperluas pemahaman di luar buku paket. Namun, buku paket menawarkan kejelasan dan fokus yang sering hilang dalam banjir informasi digital. E-learning memungkinkan pembelajaran mandiri, tetapi tanpa bimbingan, mahasiswa bisa tersesat di labirin konten daring, sementara buku paket, meski kaku, memberikan struktur yang kokoh.

Tantangan e-learning muncul seperti bayang-bayang di balik cahaya. Kesenjangan akses teknologi—dari internet yang lambat hingga kurangnya perangkat memadai—masih menjadi masalah di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, dengan 40% mahasiswa menghadapi kendala konektivitas menurut data OJK 2024.

Selain itu, distraksi digital, seperti notifikasi media sosial, sering mengganggu fokus, sesuatu yang jarang terjadi dengan buku paket. Mahasiswa juga harus belajar mengelola waktu tanpa struktur kelas tradisional, sebuah keterampilan yang tak diajarkan di SMA. Ironis, bukan, ketika teknologi yang menjanjikan kemudahan justru menuntut kedisiplinan ekstra?

Peralihan dari buku paket ke e-learning adalah seperti menukar peta kertas dengan GPS—keduanya membawa ke tujuan, namun dengan cara yang berbeda. Teknologi membuka pintu ke dunia pengetahuan yang luas, tetapi juga menguji kemampuan kita untuk tetap fokus di tengah gemerlap digital. Buku paket mengajarkan kedisiplinan, e-learning mengajarkan adaptasi.

Jadi, saat kamu membuka buku atau mengakses modul daring, ingatlah: belajar adalah seni menavigasi, apa pun alatnya. Ayo, rangkul teknologi, tetapi jaga esensi belajar yang telah membawa manusia sejauh ini!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sherly Azizah