Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi Pengunjung Museum (Pexels/Clem Onojeghuo)

Setiap 18 Mei, dunia memperingati Hari Museum Internasional. Tapi jujur saja, berapa banyak dari kita yang benar-benar mengingat tanggal itu—apalagi memaknainya?

Museum kerap dipersepsikan sebagai tempat berdebu yang hanya dikunjungi saat ada tugas sekolah. Padahal, di era yang bergerak cepat ini, museum justru tengah bertransformasi menjadi ruang yang hidup, reflektif, dan mendalam.

Tahun 2025, Dewan Museum Internasional (ICOM) mengangkat tema yang cukup mencolek kesadaran: The Future of Museums in Rapidly Changing Communities. Ini bukan hanya jargon tahunan. Tema ini mengajak kita berpikir ulang: masihkah museum relevan di tengah masyarakat yang lebih sibuk swiping layar ketimbang menyusuri lorong pameran?

Museum bukan lagi ruang pasif. Ia tengah berubah menjadi ruang interaktif, kolaboratif, bahkan imersif. Tapi, pertanyaannya: mampukah museum mengejar laju perubahan komunitas di luar temboknya?

Museum dan Mediasi Baru — Dari Pajangan ke Pengalaman

Dalam lanskap budaya kontemporer, museum sedang mengganti kulitnya. Jika dulu museum identik dengan koleksi yang diam dan narasi tunggal, kini banyak institusi budaya itu mendorong bentuk interaksi yang lebih dialogis.

Kefi et al. (2024) menyebut proses mediasi museum mulai berubah dari reseptif menjadi interaktif. Pengunjung tidak hanya diajak melihat, tetapi juga merasa, berinteraksi, bahkan ikut mencipta.

Fenomena omni-visit adalah kata kunci baru dalam dunia museologi. Pengalaman mengunjungi museum tidak lagi terbatas secara fisik, tetapi meluas secara digital dan hibrida.

Pengunjung bisa menikmati koleksi dari rumah, mendalami narasi kurator lewat podcast, atau bahkan ikut menyusun pameran digital. Ini bukan hanya tambahan fitur, tapi bentuk pendekatan baru yang memungkinkan museum hadir lebih relevan.

Namun, transisi ini tentu bukan tanpa tantangan. Perlu infrastruktur, SDM yang melek digital, hingga kemauan untuk membuka ruang partisipatif yang lebih luas.

Tidak semua museum siap berubah. Tapi kalau tidak mulai berbenah, museum bisa tertinggal jauh, tak ubahnya monumen kenangan yang hanya dikunjungi nostalgia.

Di titik ini, museum ditantang untuk menjadi storyteller sekaligus facilitator pengalaman. Ia harus pandai memediasi antara masa lalu yang dijaga dan masa depan yang sedang dibentuk. Menjadi jembatan, bukan hanya gudang.

Teknologi sebagai Alat, Bukan Tujuan Akhir

Ketika realitas virtual, kecerdasan buatan, hingga peta interaktif masuk ke ruang museum, publik kadang bertanya: apakah museum masih butuh pemandu manusia? Atau cukup robot dan layar sentuh?

Izzo et al. (2023) menunjukkan bahwa teknologi baru memang bisa meningkatkan nilai yang diciptakan museum, baik bagi pengunjung maupun institusinya sendiri.

Tapi mari hati-hati: teknologi bukan mantra sakti. Ia bisa memperkaya narasi dan memperluas akses, tapi tidak bisa menggantikan makna yang lahir dari interaksi antarmanusia.

Handoko & Nugroho (2023) mengingatkan bahwa pemangku kepentingan tetap melihat kontak fisik dan emosional sebagai aspek krusial dari pengalaman museum.

Museum adalah ruang kontemplatif. Ia bekerja bukan hanya lewat apa yang terlihat, tapi juga apa yang dirasakan. Sensor emosi, percakapan dengan kurator, atau sekadar duduk diam di depan karya seni, adalah bagian dari pengalaman yang tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh layar.

Karena itu, teknologi harus diposisikan sebagai alat bantu yang mendukung narasi besar museum, bukan menggantikan peran kurator atau pengunjung itu sendiri. Jangan sampai museum berubah menjadi taman hiburan digital yang kehilangan ruh sejarah dan edukasinya.

Museum dan Komunitas — Menguatkan Koneksi Sosial

Di tengah komunitas yang berubah cepat—baik karena urbanisasi, krisis iklim, maupun transformasi digital—museum ditantang bukan hanya untuk bertahan, tapi juga untuk hadir secara bermakna. Bukan sebagai menara gading budaya, tapi sebagai ruang dialog sosial.

Quiñones Vilá (2020) memantik diskusi menarik soal apakah museum daring bisa disebut "museum". Di satu sisi, digitalisasi memperluas akses. Tapi di sisi lain, museum sejatinya bukan hanya soal koleksi, tapi konteks, interpretasi, dan hubungan antarmanusia. Di sinilah pentingnya museum sebagai simpul komunitas.

Museum bisa menjadi ruang aman bagi narasi-narasi yang terpinggirkan, tempat healing kolektif, atau bahkan laboratorium ide-ide baru. Ketika museum membuka diri terhadap komunitas—bukan hanya sebagai pengunjung, tapi juga sebagai kontributor narasi—di situ museum menemukan makna sosialnya.

Program kuratorial partisipatif, pameran lintas identitas, atau proyek berbasis lokal adalah beberapa cara agar museum tidak terasing dari masyarakatnya. Museum yang hidup adalah museum yang mau mendengar, bukan hanya memamerkan.

Merawat Masa Lalu, Menyambut Masa Depan

Museum masa depan tidak hanya berisi benda-benda dari masa lalu, tapi juga gagasan untuk masa depan. Ia menjadi ruang di mana sejarah, teknologi, dan masyarakat saling bersua. Tapi untuk itu, museum harus berani berubah—tanpa kehilangan akar.

Momentum Hari Museum Internasional bukan hanya seremonial. Ini adalah pengingat bahwa budaya harus dijaga, tapi juga dihidupkan. Di era yang bergerak cepat, museum bisa menjadi ruang perlambatan yang penting: tempat kita mengingat, merenung, dan membayangkan ulang dunia.

Anak muda, pemimpin komunitas, pembuat kebijakan, dan pelaku seni—semua punya peran dalam menghidupkan museum. Mari kita tidak hanya datang ke museum saat liburan atau studi tour. Tapi jadikan museum sebagai ruang bersama untuk tumbuh dan berpikir.

Karena di balik dindingnya, museum tidak hanya menyimpan artefak, tapi juga masa depan kita bersama.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yudi Wili Tama