Literasi di Indonesia berada di urutan kedua terbawah. Angka statistik ini menunjukkan bahwa hanya 0,001% masyarakat yang rajin membaca di Indonesia pada tingkat literasi di dunia, hal ini sesuai dengan data yang diberikan oleh UNESCO pada tahun 2011 dan 2012.
Rendahnya literasi di Indonesia dipicu oleh cara pandang masyarakat terhadap proses belajar. Salah satu akibat menurunnya kemampuan literasi di Indonesia yaitu masih terdapat suatu anggapan bahwa seseorang yang bisa menjawab pertanyaan dengan tepat dan cepat maka dianggap lebih unggul.
Berbeda hal nya dengan seseorang yang sering kali bertanya dianggap minim literasi dan tidak mampu untuk berpikir kritis dalam menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Beberapa penyebab lainnya yaitu merasa tidak dihargai dan bahkan dimarahi karena tidak memahami atau mendengarkan penjelasan sebelumnya.
Sebenarnya kemampuan bertanya juga merupakan bagian dari literasi. Contohnya rasa ingin tahu yang tinggi membuat siswa bertanya akan materi yang diajarkan. Dalam contoh konkret yaitu seorang siswa sedang belajar materi sistem tata surya dan proses terjadinya gerhana. Tetapi siswa mungkin ada yang bertanya, "apakah mungkin gerhana terjadi di planet selain Bumi?" dan berbagai pertanyaan lainnya yang masih berhubungan.
Saat siswa bertanya seperti itu, tentu sudah sempat membaca bagian materi proses terjadi gerhana. Setelahnya, rasa ingin tahu muncul dan siswa itu mengeluarkannya dalam sebuah bentuk pertanyaan. Seharusnya inilah yang penting untuk diapresiasi karena tidak semua siswa berani mengajukan pertanyaan.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari Jurnal Universitas Sebelas Maret menyatakan bahwa sekitar 46% siswa memiliki kemampuan untuk bertanya di ruang kelas dalam pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata masih ada siswa yang malu bertanya.
Selain itu, ada pula stigma yang membuat siswa malas untuk bertanya adalah adanya anggapan pertanyaan bodoh atau tidak berbobot. Pemikiran seperti itu menjadikan siswa tak mau bertanya karena khawatir pertanyaan yang diajukan sangat konyol dan tidaklah penting.
Pepatah mengatakan tidak ada pertanyaan bodoh, yang ada hanya jawaban bodoh. Maksudnya, kita harus menggali wawasan terus menerus dan tanyakan bila ada suatu hal yang tak dimengerti agar makin banyak ilmu yang didapatkan. Maka dari itu, buang persepsi jika bertanya itu harus berbobot.
Melalui pertanyaan yang ditanyakan oleh siswa mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang sesuai dengan pedoman 6 Dimensi Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka, khususnya dengan meningkatkan daya literasi siswa untuk memahami dan mengelola informasi sehingga menjadi sebuah pertanyaan utuh.
Peran teknologi juga ikut membantu dalam mencarikan informasi dengan topik apa pun, dimulai dari menjawab berbagai pertanyaan, memberikan jawaban yang kompleks, dan mengelola begitu banyak informasi sehingga mudah untuk mendapatkannya.
Literasi bisa kembali meningkat secara perlahan, salah satu caranya asalkan siswa dibolehkan bertanya dan dihargai akan kepercayaan dirinya meski pertanyaannya hanya mengulang-ulang pembicaraan dan tidak perlu dijawab. Bertanya perlu dijadikan budaya, sebab tidak ada pertanyaan yang tidak penting karena semua pertanyaan itu penting.
Dengan demikian, pertanyaan merupakan hal yang penting untuk dapat ditanggapi. Bertanya harus lebih diutamakan pula dibandingkan sebatas hanya menanggapi, karena dengan bertanya kita perlu melalui proses berpikir panjang dan bernalar kritis.
Oleh karena itu, mari kita mulai belajar memberanikan diri sendiri untuk bertanya kepada orang lain, khususnya pendidik atau pengajar agar mendapatkan wawasan yang luas dan berkembang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Kecurangan Pelaksanaan TKA 2025: Cermin Buram Rapuhnya Nilai Integritas?
-
Menimbang Kesiapan TKA 2025: Dari Gangguan Server hingga Suara Siswa
-
Dana Masyarakat: Antara Transparansi Pemerintah dan Tanggung Jawab Warga
-
Evaluasi Program MBG: Transparansi, Kualitas, dan Keselamatan Anak
-
Ketika Whoosh Bikin Anggaran Bengkak, Kereta Konvensional Jadi Anak Tiri?
Artikel Terkait
-
Redaksi Project: Inisiasi Tiga Wanita Menyemai Cinta Literasi di Bangka
-
Dorong Program SICANTIKS untuk Perkuat Literasi Keuangan Syariah, OJK Gandeng AO PNM
-
BUMN Pelabuhan Makin Gencar Beri Literasi Industri Maritim
-
Buku dan Martabat Bangsa: Saatnya Belajar dari Rak yang Sering Dilupakan
-
Dorong Ekonomi Daerah, OJK Genjot Generasi Muda Melek Keuangan
Kolom
-
Menikah Tak Punya Batas Waktu: Saatnya Berhenti Bertanya Kapan?
-
Masalahnya Bukan di Netflix, tapi di Literasi Digital Kita
-
Mengapa Remaja Perempuan Jadi Target Favorit Kekerasan Digital? Yuk Simak!
-
Eco-Anxiety Bukan Penyakit: Saat Kecemasan Iklim Menggerakkan Perubahan
-
Antara Keluarga dan Masa Depan, Dilema Tak Berujung Sandwich Generation
Terkini
-
Bukan Cuma Bikin Melek, Ini 6 'Sisi Gelap' Kopi yang Jarang Kamu Sadari
-
4 Serum Arbutin untuk Atasi Dark Spot Membandel, Harga Rp30 Ribuan Saja
-
Syifa Hadju Beberkan Alasannya Jarang Pakai Cincin Tunangan: Dory Abis!
-
Ulasan Novel Selamat Tinggal, Kisah Sintong dalam Menjaga Prinsip Hidupnya
-
Netflix Siapkan Serial Trigger Point, Joel Edgerton Jadi Bintang Utama