Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Teaser Poster Film Ozora – Penganiyaan Brutal Penguasa Jaksel (Instagram/umbarabrothers)

Kasus Mario Dandy bakal diangkat jadi film layar lebar dengan judul: Ozora – Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel, yang disutradarai Anggy Umbara dan Bounty Umbara direncanakan rilis 2025. 

Reaksi pertama saat mengetahui pengumuman rumah produksi Umbara Brothers Film pastinya campur aduk. Bukan karena kaget, tapi lebih ke rasa nggak yakin. Industri film Indonesia memang makin sering nyentuh isu-isu sosial akhir-akhir ini, tapi memfilmkan kasus nyata dan viral yang belum lama terjadi, memangnya harus sekarang?

Kasus Mario Dandy bukan sekadar cerita kriminal biasa. Itu tragedi yang sempat bikin satu Indonesia panas karena semua lapisan masalah yang ikut terbuka: Privilege anak pejabat, kesenjangan keadilan, sampai gimana sistem hukum kita kadang masih pilih-pilih siapa yang patut dibela. 

Nama-nama seperti Mario Dandy dan David Ozora jadi semacam cerminan nyata. Yang satu wajah dari kekuasaan yang disalahgunakan, yang satu lagi korban nyata dari kejahatan dan (mungkin) ketidakadilan yang dibungkus rapi.

Makanya, pas ada kabar kalau rumah produksi Umbara Brothers Film bakal bikin film soal ini, aku langsung mikir: ini bisa jadi dua arah. Bisa jadi film yang kuat, berani, dan bikin orang nggak lupa sama kasus ini. Namun, juga bisa jadi tontonan yang terlalu cepat dibuat, terlalu sensasional, dan malah jadi luka baru buat korban dan keluarganya.

Judulnya sendiri, ‘Ozora – Penganiayaan Brutal Penguasa Jaksel’, itu nggak main-main ya. Provokatif, keras, dan jelas nggak pakai kata-kata manis. 

Dari judul saja sudah kelihatan kalau film ini nggak berniat membungkus cerita dengan nuansa netral. Namun, di satu sisi, aku paham, mungkin niatnya memang ingin menggambarkan betapa mengerikannya kekuasaan kalau sudah lepas kendali. 

Dan sekarang pertanyaannya: Bisa nggak film ini menyampaikan ‘semua itu’ tanpa kelihatan kayak ‘menjual tragedi’?

Nama-nama aktor yang muncul juga cukup besar. Chicco Jerikho, Mathias Muchus, sampai Muzzaki Ramdhan. Dari sisi produksi, ini pasti digarap serius. Dan semakin besar nama-nama yang terlibat, semakin tinggi juga ekspektasi publik. Maka, semakin tajam pula sorotan soal bagaimana cerita film ini akan dibawakan. Apakah tetap berpihak pada korban? Atau malah membelok ke arah yang abu-abu demi dramatisasi kayak Film Vina – Sebelum Tujuh Hari?

Aku pribadi percaya, film bisa jadi medium yang kuat banget buat menyuarakan keadilan. Banyak yang berhasil membangkitkan empati, bikin penonton mikir ulang, bahkan mendorong perubahan sosial. Akan tetapi, bikin film dari luka yang belum sembuh sepenuhnya itu rumit. Harus riset dalam-dalam, harus tahu batas, dan paling penting: Harus tahu siapa yang sebenarnya mau dibela!

Kekhawatiran lain yang muncul juga soal timing. Kasus ini baru dua tahun lewat (Februari 2023), dan David Ozora sendiri masih dalam proses pemulihan. Luka fisik, trauma mental, dan segala hal yang mungkin nggak pernah bisa sepenuhnya hilang. Di titik ini, penting banget buat diketahui publik: Apakah keluarga korban dilibatkan? Apakah mereka memberi restu? Karena kalau nggak, itu bisa jadi masalah etis yang besar. Film bisa sukses besar, tapi kalau dibangun dari rasa sakit yang belum ditanyakan izinnya, dampaknya bisa panjang.

terlepas dari itu, aku ingin berbaik sangka dan ngasih kesempatan. Karena kalau film ini digarap dengan hati-hati, riset mendalam, dan keberanian untuk benar-benar mengangkat sisi kemanusiaan yang paling dalam, ‘Ozora’ bisa jadi film yang sangat penting buat menolak kata ‘lupa’, sekaligus pengingat bahwa kekuasaan tanpa moral bisa menghancurkan hidup orang lain. Dan kalau bisa menyentuh sisi itu dengan jujur, bukan nggak mungkin film ini bisa jadi alat edukasi sosial yang berdampak.

Ujung-ujungnya, semua kembali ke niat dan eksekusi. Mau menyentuh nurani atau cuma headline clickbait versi bioskop, yang penting tuh tujuan paling jujur sang filmmaker. Karena dalam dunia perfilman, jarak antara keberanian dan kebablasan itu tipis banget. Dan ketika bicara soal luka yang nyata, yang dirasakan banyak orang, tanggung jawab pembuat film jauh lebih besar ketimbang cuma mengejar jumlah penonton demi cuan. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Athar Farha