Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ridho Hardisk
Ilustrasi keberagaman (freepik.com)

Pernah nggak sih, kamu nonton film atau serial yang katanya "inklusif", tapi karakter dari kelompok minoritas cuma muncul sekilas, ngomong beberapa kalimat, terus hilang tanpa jejak? Atau tokohnya ada terus tapi terasa dipaksakan, nggak nyatu sama jalan cerita? Kalau iya, kemungkinan besar kamu sedang menyaksikan yang disebut sebagai cultural tokenism.

Di era industri hiburan yang makin sadar isu keberagaman, banyak rumah produksi berlomba-lomba memunculkan karakter dari berbagai latar belakang—etnis, gender, orientasi seksual, hingga disabilitas. Sekilas terlihat positif. Tapi kalau kita telisik lebih dalam, kadang keberagaman ini cuma jadi pemanis. Nggak substansial, dan justru makin terlihat sebagai formalitas belaka. Nah, itulah inti dari tokenisme budaya.

Representasi atau Strategi Pemasaran?

Tokenisme budaya adalah praktik menghadirkan karakter minoritas hanya demi “tampil inklusif” tanpa benar-benar mengembangkan karakter atau memberikan ruang cerita yang layak. Misalnya di beberapa film blockbuster Hollywood, kita sering lihat karakter LGBTQ+ yang disisipkan, tapi perannya minim, dialognya pendek, dan eksistensinya mudah dilupakan. Marvel sempat dikritik soal ini saat memunculkan karakter gay di Eternals, tapi kisahnya sama sekali nggak jadi poros utama.

Dalam serial seperti Glee dan New Girl, banyak karakter dari ras atau orientasi berbeda memang ada, tapi sering dijadikan sumber humor atau stereotip semata. Di Indonesia, sinetron kadang menghadirkan karakter dari latar budaya tertentu hanya sebagai latar eksotis, tapi penokohan dan dialognya miskin representasi yang bermakna. Seperti ditulis dalam salah satu ulasan akademik di Academia.edu, kebudayaan lokal lebih sering jadi ornamen visual ketimbang substansi cerita.

Apa sih yang bikin praktik ini marak? Jawabannya bisa jadi karena tekanan sosial. Masyarakat makin vokal menuntut keberagaman di layar kaca. Tapi sayangnya, banyak rumah produksi yang buru-buru “memenuhi kuota keragaman” tanpa menyusun narasi yang kuat dan bermakna.

Dampaknya? Penonton minoritas bukannya merasa terwakili, malah makin kecewa. Mereka merasa jadi tempelan, bukan bagian dari cerita. Selebriti transgender Inggris, Talulah-Eve, pernah mengkritik dunia fashion karena dirinya sering diundang hanya sebagai “pemanis inklusif”, tapi tak pernah diberi posisi strategis di dalam narasi industri. Dalam artikel Teen Vogue, dia bilang, “We’re here, but we’re invisible.”

Lebih jauh lagi, tokenisme ini juga menimbulkan beban psikologis bagi para aktor yang berasal dari kelompok minoritas. Dalam laporan dari Health.com, disebutkan bahwa individu yang merasa menjadi satu-satunya representasi kelompoknya sering mengalami tekanan untuk “selalu tampil sempurna”. Kalau mereka gagal, maka citra satu komunitas ikut terbawa-bawa.

Kita Butuh Representasi yang Jujur

Yang perlu kita sadari adalah keberagaman itu bukan soal kuantitas, tapi kualitas. Bukan seberapa banyak karakter minoritas yang muncul, tapi seberapa dalam mereka dikembangkan. Apakah mereka punya konflik? Apakah mereka punya ruang untuk berkembang? Apakah penonton bisa merasa terhubung dengan kisah mereka, bukan cuma melihat dari kejauhan?

Munculnya karakter dari berbagai latar belakang budaya dan identitas itu bagus. Tapi kalau tujuannya cuma untuk mencentang kotak “keragaman” tanpa narasi yang kuat, ya jadinya hambar. Inklusif, tapi palsu.

Industri hiburan punya pengaruh besar dalam membentuk cara kita memandang dunia. Maka, representasi yang autentik dan bermakna itu penting. Kita butuh cerita yang jujur, karakter yang hidup, dan narasi yang menggambarkan kompleksitas manusia dari berbagai latar belakang.

Sebagai penonton, kita juga punya peran. Jangan langsung terbuai kalau ada keberagaman visual di layar. Tanyakan apakah karakter ini penting? Apakah ceritanya kuat? Kalau belum, mungkin kita hanya sedang menyaksikan tokenisme berkedok representasi.

Ridho Hardisk