Mengemis atau meminta-minta kepada orang lain sebenarnya bukanlah perbuatan yang baik untuk dilakukan. Hal ini sering memunculkan pandangan negatif dari orang lain, seolah para pengemis tidak mau bekerja keras dan memilih bermalas-malasan. Akibatnya, muncul kesimpulan bahwa memberi uang kepada pengemis sama saja dengan mendukung pola hidup seperti itu.
Tanpa kita sadari, mungkin ada cerita atau unggahan di media sosial yang memperlihatkan bahwa seorang pengemis bisa mendapatkan banyak uang setiap harinya. Bayangkan saja, di sebuah lampu lalu lintas, ada 10 mobil dan 15 motor yang berhenti. Jika masing-masing kendaraan memberikan Rp2.000, pengemis tersebut sudah bisa mengantongi sekitar Rp50.000.
Namun, jika tidak semua pengendara memberi, hal itu sebenarnya bukan masalah yang perlu dipersoalkan. Setiap orang berhak untuk menolak memberi, asalkan dilakukan dengan cara yang sopan, halus, dan tetap menghormati sesama. Seburuk apa pun kondisi pengemis, mereka tetap memiliki hak asasi untuk hidup dan menjaga martabat dirinya.
Masalahnya muncul ketika kita melihat pemuda yang masih kuat dan sehat memilih mengamen atau menjadi manusia silver di pinggir jalan, padahal mereka sebenarnya mampu bekerja atau berusaha dengan cara lain, dibandingkan sekadar meminta-minta. Bahkan, pemulung yang mengumpulkan barang bekas untuk memenuhi kebutuhan hidup patut lebih dihargai karena mereka menunjukkan tekad dan usaha.
Berbeda halnya jika yang mengemis adalah orang lanjut usia atau penyandang disabilitas yang mungkin sudah tidak mampu bekerja dan memikul beban berat. Apalagi jika mereka hidup sebatang kara, tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain mengandalkan belas kasihan. Dalam kondisi seperti ini, memberi tentu lebih layak dilakukan. Menurut saya, penting untuk memperhatikan siapa yang kita beri.
Bukan soal bagaimana uang itu digunakan, tetapi jika kita memberi kepada pemuda yang hanya mengandalkan meminta-minta, hal ini bisa menanamkan pola pikir bahwa mereka bisa memperoleh uang tanpa harus bekerja keras.
Jika dibiarkan, lama-kelamaan pola pikir mereka akan berubah, membuat mereka kehilangan harga diri dan ketergantungan pada belas kasihan orang lain. Karena itu, diperlukan pembinaan dari pemerintah bagi para gelandangan dan pengangguran, sebab memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar adalah tanggung jawab negara.
Memberi uang kepada pengemis sebenarnya tidak salah secara etika. Namun, ini perlu menjadi pengingat bahwa kita harus mendorong pola pikir pemuda agar tidak malas. Sebaliknya, mereka harus berjuang dan berusaha untuk mendapatkan penghasilan dari kerja keras mereka sendiri. Dengan membangun pola pikir seperti ini, akan tercipta dampak positif bagi kehidupan sosial secara keseluruhan.
Sekitar tahun 2019, enam tahun sebelumnya, jumlah gelandangan dan pengemis mencapai 5,84 juta jiwa, bahkan kemungkinan lebih. Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk tidak hanya memandang fenomena pengemis ini dari permukaan saja.
Kita harus menyadari bahwa di balik angka jutaan gelandangan dan pengemis itu, ada berbagai faktor penyebab, seperti kemiskinan, kurangnya lapangan kerja, rendahnya akses pendidikan, hingga masalah keluarga atau kesehatan mental yang belum tertangani dengan baik.
Selain itu, kita juga bisa berperan dengan cara yang lebih bijak, seperti menyumbang melalui lembaga resmi yang memiliki program khusus untuk membantu gelandangan dan pengemis. Dengan begitu, bantuan yang kita berikan akan lebih tepat sasaran, terukur, dan berkelanjutan.
Dengan membangun kesadaran bersama, baik di tingkat individu maupun pemerintah, kita bisa menciptakan lingkungan sosial yang lebih berdaya, di mana setiap orang dihargai bukan hanya karena belas kasihan, tetapi juga karena usaha dan tekad mereka untuk memperbaiki hidup.
Baca Juga
-
Pejabat Asal Bicara: Apakah Tanda Krisis Retorika yang Tumpul?
-
CERPEN: Catatan Krisis Demokrasi Negeri Konoha di Meja Kantin
-
Kecurangan Pelaksanaan TKA 2025: Cermin Buram Rapuhnya Nilai Integritas?
-
Menimbang Kesiapan TKA 2025: Dari Gangguan Server hingga Suara Siswa
-
Dana Masyarakat: Antara Transparansi Pemerintah dan Tanggung Jawab Warga
Artikel Terkait
-
Jenis Kelelahan yang Sering Disalahpahami sebagai Rasa Malas
-
Tebar Manfaat Bagi Anak Yatim Piatu dan Tahfidz Quran, Perum Bulog Gelar Bakti Sosial HUT ke-58
-
Momen Dedi Mulyadi Buka Kedok Pengemis Jalanan: Pura-pura Cacat, Bisa Dapat Rp500 Ribu Sehari
-
Tips Mengajari Anak Tentang Berbagi Rasa Peduli
-
Suruh Wartawan Keluar, Prabowo Tunjuk Para Bos BUMN Malas dan Koruptif: Saya Minta Ganti!
Kolom
-
Marissa Anita dan Perfeksionisme: Tak Ada Ruang untuk Setengah-Setengah
-
Drone Dilarang, Tambang Bebas Jalan: Ada Apa dengan Konservasi Kita?
-
Banjir Sumatra dan Mimpi Indonesia Emas: Mau Lari ke Mana Kalau Lantainya Amblas?
-
Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan
-
Meninjau Ulang Peran Negara dalam Polemik Arus Donasi Bencana
Terkini
-
4 Cleanser Korea dengan Kandungan Yuja untuk Wajah Sehat dan Glowing
-
Menopause Bukan Akhir, tapi Transisi yang Butuh Dukungan
-
Rilis Trailer, Film Alas Roban Kisahkan Teror Mistis di Hutan Angker
-
Totalitas Tanpa Batas: Deretan Aktor yang Rela Ubah Penampilan Demi Peran
-
5 Ide Mirror Selfie ala Ji Chang Wook, Kunci Tampil Cool dan Karismatik!