Di era anak-anak dijejali dengan les coding sebelum mereka lancar mengikat tali sepatu, Hari Bermain Internasional 2025 datang seperti tamparan halus. Tema "Choose Play – Every Day" terdengar seperti slogan iklan sneaker, tapi sejatinya adalah protes terhadap dunia yang menganggap bermain sebagai "aktivitas sampingan".
Padahal, bermain bukan hanya tentang bersenang-senang. Ia adalah fondasi perkembangan anak yang sehat—sebuah ruang di mana kreativitas, imajinasi, dan kemampuan sosial tumbuh dengan alami.
PBB melalui Konvensi Hak Anak sudah lama menegaskan bahwa bermain adalah hak dasar, setara dengan pendidikan dan perlindungan. Namun sayangnya, banyak orang dewasa—termasuk kita—masih memandang bermain sebagai hadiah setelah PR selesai atau sebagai pengisi waktu luang semata.
Padahal, penelitian menunjukkan bahwa bermain membantu anak-anak mengembangkan keterampilan kognitif, emosional, fisik, dan sosial yang mereka butuhkan untuk menghadapi dunia yang terus berubah.
Lebih dari itu, bermain juga berperan penting dalam pemulihan trauma, membangun resiliensi, dan memperkuat ikatan dengan orang lain. Anak-anak yang bermain lebih mampu mengelola stres, menyelesaikan konflik, dan bahkan belajar lebih efektif.
Dalam konteks pendidikan, pendekatan belajar berbasis permainan terbukti meningkatkan motivasi, daya ingat, dan partisipasi aktif siswa di kelas—hal yang seringkali tak didapat dari metode pembelajaran yang terlalu serius.
Jadi, 11 Juni yang merupakan Hari Bermain Internasional bukan sekadar perayaan simbolik. Ia adalah ajakan untuk kita semua—orang tua, guru, pembuat kebijakan—untuk berhenti menganggap bermain sebagai kegiatan sisa waktu.
Dunia anak adalah dunia bermain. Dan saat kita memberi ruang untuk itu, kita bukan hanya membiarkan mereka bahagia, tapi juga tumbuh menjadi pribadi yang utuh, tangguh, dan siap menghadapi masa depan.
Bermain: Laboratorium Mini Kehidupan
Jangan remehkan anak yang sedang sibuk bermain pura-pura jadi pahlawan super atau ibu rumah tangga. Menurut penelitian
Sukhikh et al. (2024), aktivitas pretend play seperti itu sebenarnya adalah latihan serius untuk fungsi eksekutif—kemampuan otak tingkat tinggi yang berperan dalam menyusun rencana, mengatur strategi, dan mengelola emosi. Fungsi ini yang nantinya dibutuhkan saat memimpin tim, menghadapi konflik, atau mengambil keputusan penting.
Jadi, saat anak-anak bermain imajinatif, mereka sedang membangun keterampilan yang kelak bisa membuat mereka tampil percaya diri di ruang rapat, bukan cuma di panggung sekolah.
Lebih dari itu, bermain juga mengasah kecerdasan sosial. Penelitian oleh D’Adamo & Lozada (2024) menemukan bahwa anak-anak yang sering terlibat dalam permainan kelompok, seperti petak umpet atau main peran bersama teman sebaya, cenderung lebih pandai berbagi, mendengarkan, dan bekerja sama.
Mereka juga lebih mampu membaca emosi orang lain dan mengelola konflik secara sehat. Ini bukan hanya penting untuk masa kecil mereka, tapi juga menjadi fondasi yang kuat dalam pergaulan dewasa—terutama di dunia yang kini penuh dengan drama digital dan komentar pedas di media sosial.
Sayangnya, masih banyak orang dewasa yang menganggap bermain sebagai kegiatan yang harus “dikorbankan” demi pelajaran atau prestasi akademik. Anak yang tidak duduk manis mengerjakan soal dianggap malas atau tidak fokus.
Padahal, saat mereka bermain, otak mereka sedang aktif-aktifnya membentuk koneksi, belajar mengambil peran, dan mengembangkan empati. Berhenti bermain bukanlah tanda kedewasaan dini, melainkan kehilangan kesempatan belajar yang paling alami dan menyenangkan.
Jadi bayangkan dunia di mana semua orang dewasa pernah punya masa kecil yang penuh tawa, permainan, dan imajinasi liar—bukan sekadar les privat dan drill ujian.
Dunia seperti itu mungkin tidak utopis; ia bisa tercipta jika kita mulai menghargai bermain sebagai bagian penting dari tumbuh kembang, bukan gangguan. Mari izinkan anak-anak bermain, karena dari situlah masa depan yang lebih sehat, bijak, dan damai bisa bertunas.
Orang Tua, Stop Jadi "Manager" Anak!
Di tengah tren parenting yang makin kompetitif—di mana balita sudah bisa membaca Al-Quran sambil memainkan lagu Mozart—terkadang kita lupa bahwa anak-anak bukan portofolio berjalan.
Penelitian Hoyne & Egan (2024) menekankan bahwa bermain bersama anak jauh lebih bermakna dibanding sekadar memamerkan perkembangan mereka di grup WhatsApp keluarga.
Sayangnya, banyak orang tua tanpa sadar berubah menjadi “event organizer” yang sibuk mengatur jadwal anak dari pagi sampai malam, tapi justru kehilangan momen kebersamaan yang paling sederhana, yaitu tertawa bersama.
Alih-alih menikmati waktu bermain, anak-anak malah hidup dalam ritme padat seperti karyawan magang—les musik, les matematika, kelas renang, dan kompetisi ini-itu.
Bukan berarti kegiatan itu buruk, tapi ketika semuanya digelar tanpa ruang untuk bermain bebas, kita sedang mencuri waktu penting dari masa kecil mereka.
Padahal, dari bermainlah anak belajar memahami dunia, mengenali diri sendiri, dan membangun hubungan yang hangat dengan orang tua. Ironisnya, orang tua sering hadir secara fisik tapi absen secara emosional, terlalu sibuk mencentang checklist prestasi harian.
Bayangkan jika anak-anak punya serikat buruh atau “union”, mungkin mereka sudah turun ke jalan dengan poster bertuliskan: "Kami mau main tanah, bukan ikut lomba matematika tingkat kecamatan!" Terdengar lucu, tapi sebenarnya cukup menyentil.
Anak-anak bukan proyek prestise, dan bukan juga cerminan kesuksesan orang tua. Mereka butuh orang tua yang mau mendengarkan, bermain bersama, dan hadir tanpa tuntutan. Kehadiran yang tulus jauh lebih bermakna daripada sekadar jadi penonton di barisan paling depan saat mereka pentas.
Waktu bermain bersama adalah bentuk cinta yang tidak bisa dibeli. Saat orang tua turun bermain—bukan cuma mengawasi dari bangku taman—itulah saat anak merasa dilihat dan diterima sepenuhnya.
Maka, mari kurangi jadwal, longgarkan target, dan biarkan rumah berantakan sedikit. Karena di balik tumpukan lego dan tanah di baju, sedang tumbuh hubungan yang hangat, rasa percaya diri, dan kenangan masa kecil yang akan mereka kenang seumur hidup.
Gadget Bukan Musuh, Tapi Alam Bisa Jadi Sekutu
Di tengah kekhawatiran orang tua tentang screen time yang berlebihan, muncul kabar baik dari sains: solusi sehat tak harus berarti memusuhi gadget, tapi bisa dimulai dari mengenalkan kembali anak pada dunia nyata.
Penelitian Zhu et al. (2024) menunjukkan bahwa bermain di luar ruangan—berinteraksi dengan sinar matahari, udara segar, dan bahkan tanah—dapat meningkatkan working memory (memori kerja) dan kemampuan regulasi emosi anak.
Artinya, bermain kotor justru bikin otak bersih dan hati lebih tenang. Sayangnya, banyak anak hari ini lebih hafal suara notifikasi YouTube ketimbang suara daun bergesek diterpa angin.
Tapi mari kita jujur, gadget bukan satu-satunya tersangka. Kita juga perlu menyoroti bagaimana ruang terbuka untuk bermain makin menghilang, digantikan oleh aspal panas dan lahan parkir digital.
Taman kota yang dulu jadi tempat kejar-kejaran kini lebih sering jadi spot konten atau disulap jadi kafe estetik. Anak-anak pun kehilangan akses pada alam, dan pelan-pelan, kehilangan ruang untuk jadi anak-anak seutuhnya. Tidak adil jika gadget terus disalahkan sementara kita sendiri yang menutup akses mereka ke dunia luar.
Solusinya? Ya, mari pikir kreatif. Bukankah sudah waktunya pemerintah menganggarkan pembangunan playground sebagaimana mereka bersemangat membangun mal? Bayangkan kota yang menyediakan ruang bermain aman, rindang, dan gratis di setiap sudutnya—tempat anak bisa main petak umpet tanpa harus beli tiket.
Atau, kenapa tidak beri insentif bagi guru TK yang mengajak anak bermain lompat tali, alih-alih hanya menargetkan anak harus bisa menyebutkan warna dalam tiga bahasa asing sebelum usia lima tahun?
Karena pada akhirnya, masa kecil yang sehat bukan hanya tentang skor IQ, tapi juga tentang kebebasan berlarian tanpa dilarang, rasa penasaran yang terasah lewat interaksi langsung dengan alam, dan memori sederhana seperti mencuci kaki kotor setelah main hujan.
Jika kita ingin anak-anak tumbuh seimbang, mari kita beri mereka waktu dan ruang—untuk bermain, menjelajah, dan menemukan dunia nyata, bukan hanya dunia virtual.
Bermain Pura-Pura = Terapi Gratis
Bermain peran bukan sekadar hiburan lucu untuk mengisi waktu luang anak-anak. Penelitian terbaru dari Veraksa et al. (2025) membuktikan bahwa kegiatan seperti role play—berpura-pura menjadi dokter, astronot, atau karakter lain—dapat secara signifikan mengurangi kecemasan pada anak.
Lewat bermain peran, anak-anak punya ruang aman untuk menjelajahi ketakutan mereka, melatih kontrol diri, dan membangun kepercayaan diri. Dan yang paling menarik? Ini gratis, tidak butuh biaya konseling, dan justru menyenangkan.
Saat anak berpura-pura “mengobati” bonekanya yang demam, mereka sedang memproses dunia nyata dengan cara yang bisa mereka pahami. Emosi-emosi seperti takut jarum suntik atau takut gelap perlahan dikelola lewat permainan.
Tidak mengherankan jika banyak psikolog anak juga memasukkan bermain sebagai bagian dari pendekatan terapi. Yang kita butuhkan bukan mainan mahal, tapi ruang dan waktu agar anak bisa menjadi siapa pun yang mereka inginkan—dan memproses perasaan mereka dengan bebas.
Sayangnya, di banyak lingkungan, kita masih terjebak dalam budaya overprotektif. Kalimat seperti “Jangan naik pohon, nanti jatuh!” atau “Jangan lari-lari, nanti luka!” mungkin terdengar penuh kasih, tapi sering kali justru membatasi kesempatan anak untuk belajar menghadapi risiko.
Padahal, jatuh dari pohon bukan akhir dunia—itu bisa jadi pelajaran langsung soal gravitasi, batas tubuh, dan cara bangkit setelah gagal. Ketahanan mental tidak dibentuk lewat larangan, tapi lewat kesempatan untuk mencoba dan keliru.
Jika kita terus membungkus anak-anak dalam gelembung keamanan, kita bukan melindungi mereka, melainkan mempersempit ruang belajar mereka tentang dunia. Bermain peran, jatuh, tertawa, menangis, lalu mencoba lagi—itulah bagian dari proses tumbuh yang sehat.
Dunia memang tidak selalu ramah, tapi lewat permainan, anak-anak belajar bahwa mereka bisa menghadapinya, satu peran imajinatif pada satu waktu.
Main Itu Investasi, Bukan Hiburan Sampah
Bermain bukan sekadar hiburan kosong yang dilakukan anak-anak untuk mengisi waktu luang. Ia adalah bahasa universal yang digunakan anak untuk memahami dunia: dari cara kerja benda, interaksi sosial, hingga mengenal emosi diri sendiri.
Namun dalam masyarakat yang terobsesi dengan produktivitas dan pencapaian, bermain sering diremehkan. Kita terburu-buru mengajarkan anak coding dan bahasa asing, seolah bermain hanya buang waktu. Padahal, justru dari permainan itulah kecerdasan emosional, kreativitas, dan rasa ingin tahu tumbuh subur.
Ketika anak diberi ruang untuk bermain, mereka sebenarnya sedang belajar membuat keputusan, menyelesaikan masalah, bahkan membangun narasi dan makna.
Permainan menyuburkan imajinasi—sesuatu yang kelak akan menentukan kemampuan berinovasi dan berpikir out of the box. Tapi jika sejak kecil mereka dicekoki rutinitas dan target tanpa ruang untuk bermain, kita mungkin mencetak generasi yang cekatan mengetik, tapi canggung berimajinasi. Pintar secara teknis, tapi bingung saat harus berpikir kreatif di dunia yang tak ada jawaban bener-salahnya.
Hari Bermain Internasional hadir bukan sebagai seremoni satu hari penuh gimmick. Ia adalah momen refleksi global tentang betapa krusialnya bermain bagi tumbuh kembang anak. Ia mengingatkan bahwa masa kecil yang bahagia tidak dibangun dari tumpukan sertifikat, tapi dari tawa lepas, kaki kotor, dan cerita-cerita seru hasil permainan liar.
Anak yang diberi hak bermain bukan hanya lebih bahagia, tapi juga lebih siap menghadapi dunia yang kompleks—karena mereka terbiasa menciptakan dunia mereka sendiri dari nol.
Maka mari ubah sudut pandang kita bahwa bermain bukan aktivitas sampingan yang bisa dicoret dari agenda. Bermain adalah investasi jangka panjang, yang hasilnya tidak terlihat hari ini, tapi terasa puluhan tahun kemudian—saat anak tumbuh menjadi pribadi yang utuh, kreatif, dan tangguh.
Jika ingin masa depan yang lebih cerdas dan penuh empati, mari mulai dengan hal paling sederhana, yaitu beri anak waktu untuk bermain. Bukan setelah PR selesai. Tapi setiap hari.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?
-
Mangrove Tak Goyah: Tangguh Menahan Badai, Tahan Jejak Karbon
-
Rayakan Hari Lari Sedunia: Langkah Kecil untuk Sehat dan Bahagia
-
Tanam Pohon Serentak, Geopark Kaldera Toba Siap Dinilai UNESCO
-
Kota Masa Depan: Alam, Limbah, dan Aksi Iklim yang Terintegrasi
Artikel Terkait
-
Dedi Mulyadi Hapus PR untuk Siswa: Strategi Pendidikan atau Sekadar Dorongan Populis Semata?
-
5 Rekomendasi Mobil Anak Muda di Bawah Rp200 Jutaan, Irit Bahan Bakar dan Stylish!
-
Review Buku Kitty sang Pahlawan Super: Mengatasi Ketakutan dalam Diri
-
Momen Anak Dedi Mulyadi Lengket dengan Sherly Tjoanda dan Akui Kecantikannya
-
Sensasi Bermain Bowling dengan Tema Futuristik yang Menghipnotis Semua Usia!
Kolom
-
Viral dan Vital: Memaknai Ulang Nasionalisme dalam Pendidikan Digital
-
Boros karena FOLU: Waspada Perilaku Konsumtif dari TikTok Shop
-
Pantai Teluk Asmara: Miniatur Raja Ampat yang Sama-Sama Tersakiti
-
Sepiring Nasi Telur di Pagi Hari: Sesuap Ungkapan Bisu Kasih Sayang Ibu
-
Jurusan Kuliah Bukan Tongkat Sulap, Kenapa Harus Dibohongi?
Terkini
-
Awit Sinar Alam Darajat, Lokasi Terbaik untuk Staycation di Garut
-
6 OOTD Simpel ala Vidi Aldiano untuk Inspirasi Tampil Kece saat Hangout
-
Gustavo Franca Resmi Hengkang, Wajah Baru Persib Bandung Menarik Ditunggu?
-
Lepas Ze Valente, Persik Kediri Siapkan Gebrakan Besar di Musim 2025/2026?
-
Lolos ke Ronde Keempat Kualifikasi, Indonesia Bikin Negara-Negara Asia Tenggara Makin Susah