Dapur kecil di rumah ini selalu penuh kenangan, aroma bawang goreng bercampur kopi pagi yang bikin hati hangat. Aku, ibu tunggal yang udah bertahun-tahun membesarkan empat anak, tiga putri dan satu putra—dengan tawa dan air mata, selalu menemukan keajaiban dalam hal-hal sederhana.
Anak-anakku kini udah besar: putri sulungku udah bahagia dengan keluarga barunya, putri keduaku sibuk urusan lamaran, putra satu-satunyaku sedang merantau di Jember mengejar gelar akhir kuliahnya, dan putri bungsuku, yang masih tinggal bersamaku, udah semester 6 di kampus dekat rumah.
Rumah yang dulu riuh kini terasa sepi, tapi tiap lewat warung mie ayam atau masak di dapur, aku selalu teringat putraku di Jember. Mie ayam buatanku, kesukaannya, bukan cuma makanan—it’s a piece of home that keeps us connected.
Dulu, waktu anak-anak masih kecil, masak buat mereka seperti petualangan seru. Dengan bujet terbatas, aku harus jago ngatur menu biar semua senang. Tapi, ada satu momen yang selalu bikin aku tersenyum: putraku, dengan mata berbinar dan senyum lebar, bilang, “Bu, mie ayam, dong!”
Suaranya penuh semangat, dan meski kadang uang belanja cuma cukup buat kebutuhan pokok, aku selalu usaha bikin mie ayam buat dia. Aroma kuah gurih, mie kenyal, dan taburan daun bawang selalu bikin dia lahap, dan senyumnya itu? Itu hadiah terbesar buatku sebagai ibu.
Mie ayam buatanku bukan cuma soal rasa. Itu seperti buku kenangan yang hidup. Tiap aku aduk kuah di panci atau iris daun bawang, aku teringat masa-masa rumah penuh tawa. Putri sulungku yang nyanyi-nyanyi sambil makan, putri keduaku yang pendiam tapi selalu bantu adiknya ambil sambal, putraku yang selalu minta tambah bakso dengan muka manja, dan putri bungsuku yang ikut-ikutan cicip.
Sekarang, putraku udah jauh di Jember, tapi tiap aku masak mie ayam, hatiku kayak dipeluk kenangan. Rasanya hangat, tapi ada rindu yang bikin dada sesak, tahu anak laki-lakiku sedang berjuang sendiri di sana.
Putraku di Jember, meski udah gede dan kuliah semester akhir, masih punya sisi anak-anak yang bikin aku kangen. Dia bisa lupa nelpon berhari-hari, tapi tiap video call, pasti cerita, “Bu, mie ayam di sini nggak ada yang seenak punya Ibu.”
Aku cuma ketawa, tapi dalam hati, aku bersyukur banget. Mie ayam buatanku kayak jembatan kecil yang nyambungin kami, ngingetin aku bahwa meski dia jauh, dia masih anak laki-lakiku yang suka ngeluh kalau kuahnya kurang gurih. Momen-momen kecil ini bikin aku ngerasa dia masih dekat, meski cuma lewat layar ponsel.
Kadang aku mikir, apa sih spesialnya mie ayam buatanku? Bukan cuma kuah gurih atau ayam suwir yang lembut. Mungkin karena itu dibuat dengan cinta seorang ibu buat anak laki-lakinya yang sedang berjuang di perantauan.
Di tengah tagihan, biaya kuliah, atau kabar dia yang lagi pusing sama skripsi, mie ayam jadi cara aku ngobatin rindu. Kadang aku masak seporsi, taruh di mangkuk kesukaannya, dan bayangin dia duduk di meja makan sambil cerita. Obrolan imajiner itu, yang lahir dari aroma mie ayam, bikin aku ngerasa masih punya peran besar sebagai ibunya.
Mie ayam, makanan sederhana, ternyata punya kekuatan luar biasa. Nggak cuma bikin putraku senang, tapi juga ngingetin aku buat tetap kuat. Tiap bayangin dia makan mie ayam di kosannya, aku teringat bahwa aku udah berhasil ngasuh empat anak dengan cinta, meski nggak selalu mudah. Aku nggak punya harta banyak, tapi momen-momen kecil ini bikin hidupku kaya. Mie ayam ngajarin aku bahwa cinta itu nggak perlu mewah—cukup hangat, gurih, dan penuh kasih.
Sekarang, tiap masak mie ayam, aku suka bikin ekstra, simpan di kulkas, siapa tahu putraku pulang mendadak dari Jember. Kadang aku kirim uang ke dia, khusus buat beli mie ayam di sana, dengan pesan, “Jangan lupa makan, ya, Nak!”
Mie ayam jadi benang merah yang nyambungin aku sama anak laki-lakiku, meski jarak memisahkan. Buatku, mie ayam bukan cuma makanan. Itu tawa putraku, kenangan masa kecilnya, dan bukti bahwa cinta seorang ibu bisa hidup dalam semangkuk kehangatan. Jadi, tiap aku aduk kuah mie ayam di dapur, aku nggak cuma masak—aku kirim pelukan buat anakku di Jember.
Baca Juga
-
Ramadan Tanpa Distraksi, Waktunya Puasa dari Gadget!
-
Menyaring Konten, Menanamkan Nilai: Panduan Mendidik Anak di Era Digital
-
Kupas Film Bagheera: Perjuangan Sang Penegak Keadilan Melawan Korupsi
-
Kudeta dan Perjalanan Waktu: Review Film 'Descendants: Rise of Red'
-
Review Film The Dead Don't Hurt, Perjalanan Emosional Menembus Batas Waktu ke Tahun 1860-an
Artikel Terkait
-
5 Sabun Cuci Muka yang Aman untuk Bumil, Kulit Tetap Glowing dan Sehat saat Hamil
-
Rendang Kiriman Ibu: Sepiring Rindu di Tanah Perantauan
-
Klub Baca: Ruang Aman Gen Z untuk Bersuara Tanpa Takut Dihakimi
-
Resmi Jadi Kakek, Tora Sudiro Sambut Bahagia Kelahiran Cucu Pertama
-
Stop Main Gadget! 10 Buku Ini Bikin Liburan Anak Lebih Bermakna
Kolom
-
Rendang Kiriman Ibu: Sepiring Rindu di Tanah Perantauan
-
Klub Baca: Ruang Aman Gen Z untuk Bersuara Tanpa Takut Dihakimi
-
Epilog Sendu Semangkuk Mie Ayam dan Segelas Es Teh di Bawah Hujan
-
Generasi Urban Minimalis: Kehidupan Simpel untuk Lawan Konsumerisme
-
Bandara Husein Sastranegara Ditutup, Wisata Bandung seperti Dibunuh Pelan-Pelan
Terkini
-
Review Film The Unholy Trinity: Western Alegoris yang Kurang Menggigit
-
Kopi Bikin Awet Muda? Studi Harvard Buktikan Manfaat Tak Terduga
-
i-dle Raih Daesang di Seoul Music Awards: 15 Tahun setelah Kemenangan SNSD
-
Hari Hutan Hujan Sedunia: Suara Global untuk Menyelamatkan Paru-Paru Bumi
-
Tak Sekedar Ajang Lari, Mandiri Jogja Marathon 2025 Jadi Ladang Rezeki bagi UMKM