Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Ilustrasi seorang wanita memgang buku (Pexels/Cottonbro Studio)

Dalam dunia para pencinta buku, ada satu istilah yang nyaris dimiliki semua orang yakni TBR alias To Be Read. Sebuah daftar, baik yang tertulis maupun yang hanya ada dalam kepala, berisi buku-buku yang ingin dibaca, tapi entah kapan sempatnya. Uniknya, daftar ini lebih sering bertambah panjang ketimbang berkurang. Kenapa bisa begitu?

Fenomena TBR menumpuk adalah paradoks yang lucu tapi nyata. Kita terus membeli atau menambahkan buku baru karena tergoda ulasan menarik, rekomendasi teman, atau hanya karena cover-nya cantik.

Padahal, buku-buku yang lama pun belum sempat dibaca. Akibatnya, tumpukan buku di rak (atau wishlist di aplikasi) terus menggunung, seolah tak pernah selesai.

Ada semacam kegembiraan tersendiri saat menambahkan buku ke daftar bacaan. Prosesnya memicu semangat dan rasa optimis, bahwa suatu hari kita akan membaca semua itu.

Tapi realitasnya? Waktu kita tetap 24 jam. Dengan pekerjaan, kuliah, tanggung jawab rumah, dan distraksi digital, waktu membaca jadi makin terbatas.

Namun, perlu dipahami bahwa TBR yang terus bertambah bukanlah tanda kegagalan. TBR yang panjang justru menandakan bahwa kita punya rasa ingin tahu dan semangat belajar yang tinggi. Kita masih penasaran, masih ingin menjelajahi banyak dunia lewat kata-kata.

Kita juga hidup di era buku mudah diakses, baik cetak, maupun digital. Ditambah algoritma yang terus menawarkan bacaan baru, maka tak heran kalau TBR semakin tak terkendali. Dan itu bukan hal yang perlu disesali. Justru keberlimpahan bacaan bisa menjadi sumber kebahagiaan, bukan beban.

Namun begitu, kamu tetap bisa mengelola TBR dengan lebih bijak agar tumpukan buku tidak berubah menjadi beban. Berikut beberapa cara sederhana namun efektif:

Pertama, menyusun prioritas bacaan bulanan.

Alih-alih mencoba membaca semuanya sekaligus, kita bisa memilih 2–4 buku untuk difokuskan dalam sebulan. Dengan menentukan target bacaan yang realistis, kita jadi lebih tenang dan tidak merasa kewalahan. Ini juga membantu agar bacaan kita tidak hanya menumpuk, tapi benar-benar tersentuh dan diselesaikan.

Kedua, mencoba sistem switch genre.

Kadang kita merasa jenuh membaca karena terlalu lama berkutat di satu jenis buku. Misalnya, terlalu banyak novel fiksi berat atau bacaan nonfiksi serius.

Dengan sistem switch genre, misalnya bergantian antara novel populer, self-improvement atau sejarah, kita bisa menjaga semangat membaca tetap segar dan tidak cepat bosan.

Ketiga, membatasi pembelian buku baru sebelum menyelesaikan sejumlah buku lama.

Ini mungkin sulit dilakukan, apalagi saat melihat diskon besar-besaran di toko buku atau e-commerce. Tapi membuat aturan pribadi seperti beli 1 buku baru setelah baca 3 buku yang lama bisa menjadi solusi. Kita jadi lebih sadar dalam membeli, dan koleksi buku pun terasa lebih bermakna.

Keempat, memanfaatkan waktu luang.

Tidak semua waktu membaca harus disediakan khusus selama berjam-jam. Kita bisa memanfaatkan jeda 10–15 menit sebelum tidur, saat naik kendaraan umum, atau bahkan sambil antre untuk membaca satu-dua halaman. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi banyak. Strategi ini efektif untuk membaca tanpa merasa terburu-buru.

Perlu juga diingat bahwa kita tidak berkewajiban membaca semua buku di TBR. Beberapa buku mungkin terasa menarik di awal, tapi setelah sekian lama tak lagi sesuai minat. Kita boleh merevisi daftar bacaan kita sesuai perkembangan diri.

Jadi, jika kamu sedang merasa bersalah karena belum menyentuh tumpukan buku yang makin tinggi, tenang saja. Kamu tidak sendiri. Kita semua pernah dan sedang ada di fase itu. Yang terpenting adalah kita terus menyukai proses membaca, bukan sekadar menyelesaikan angka.

TBR menumpuk bukan akhir dunia. Itu hanya tanda bahwa kita masih punya banyak petualangan menunggu di lembar-lembar buku berikutnya.

Ruslan Abdul Munir