Saya masih ingat saat duduk di pinggir lapangan futsal SMA, melihat teman saya, Riko—seorang pemain cadangan—selalu tampil rajin dan disiplin latihan. Begitu pertandingan dimulai, sorakan hanya ditujukan ke lima pemain utama. Saat kemenangan diraih, tepuk tangan pun hanya untuk yang turun di lapangan. Riko tetap diam, seolah tak punya peran. Itulah paradoks: satu lapangan, tapi dua dunia.
Kalau kita berbicara soal sejarah futsal, malam itu seharusnya menjadi bukti bahwa siapa pun yang berperan layak disebut bagian dari sejarah. Futsal lahir pada tahun 1930-an di Montevideo, Uruguay, diciptakan oleh Juan Carlos Ceriani sebagai olahraga dalam ruang saat cuaca buruk. Sport ini kemudian menyebar ke Brasil, berkembang lewat gaya main yang cepat, teknikal, dan memerlukan rotasi pemain—di mana cadangan tak sekadar penonton. Namun ironisnya, dalam narasi resmi, hanya nama-nama pemain starter yang bertahan, sementara cadangan sering diabaikan.
Padahal, cadangan bukan hanya simbol—mereka adalah persiapan. Seorang pelatih profesional pernah menegaskan bahwa setiap pemain cadangan harus siap kapan pun dibutuhkan sebagai bagian dari strategi rotasi dan kontrol energi tim. Hanya saja, perhatian media dan penggemar jarang sampai ke bangku cadangan.
Dalam penelitian sosiologi olahraga, Dr.Mark Doidge dari Loughborough University menekankan pentingnya inklusivitas dalam tim olahraga kompetitif. Menurut dia, cadangan sering merepresentasikan unsur yang tak terlihat tapi penting: mereka adalah cadangan sosial yang mencerminkan ketimpangan kesempatan dalam meritokrasi olahraga.
Contoh riil dari Indonesia adalah sosok seperti Muhammad Rizki Xavier, yang semula lebih sering menjadi pelapis di klub dan timnas futsal Indonesia. Namun ketika dipercaya tampil di final Piala AFF Futsal 2024, ia mencetak gol penentu kemenangan tim nas ke gelar juara (sekali lagi, setelah 14 tahun)
Dari status tidak utama, ia berkembang menjadi pemain andalan—anchor bagi tim dalam menerobos pertahanan lawan. Kisah Rizki menunjukkan bahwa cadangan bisa jadi bintang ketika diberikan kesempatan.
Fenomena ini bukan sekadar soal mental atau keberuntungan. Banyak pemain muda berhenti berlatih karena terus dicadangkan tanpa penjelasan. Kepercayaan diri terkikis, semangat padam, dan bakat terabaikan. Padahal, mereka tetap hadir—berlatih, mendukung, dan menunggu giliran.
Di tingkat komunitas atau sekolah, pelatih amatir sering mengulang-ngetap satu formasi favorit tanpa memberi ruang rotasi. Formasi 22 atau 31 yang biasanya fleksibel justru jarang berubah karena keyakinan pada “starter memang yang paling bagus.” Padahal sistem rotasi terbukti memperpanjang daya tahan pemain dan menjaga kualitas tim lintas kompetisi. Ini bagian dari warisan sejarah futsal modern yang mengutamakan kedalaman skuad, bukan sekadar nama besar.
Lalu apa solusi? Pertama, ubah cara kita merekam sejarah. Bukan hanya mencatat pencetak gol, tapi menyebut nama pemain cadangan—yang sering menjadi penentu ketika pertandingan genting. Kedua, apresiasi mereka dalam tim: catat nama mereka, libatkan dalam briefing sebelum dan setelah pertandingan, serta beri kesempatan menit bermain secara adil.
Ketiga, jalankan sistem rotasi terbuka. Latihan bukan sekadar persiapan starter, tapi latihan skuad lengkap. Pelatih perlu menjadi fasilitator yang adil dan komunikator yang terbuka: memberi umpan balik baik kepada starter maupun cadangan.
Para pemain cadangan muda: kalian yang belum pernah main banyak bukan berarti tak punya arti. Riko pernah bilang, “Bangku pinggir bukan akhir karier—ini check point.” Pesan itu mirip dengan motto para pemain profesional yang mengawali karier mereka dari bangku cadangan. Rizki Xavier misalnya: dari cadangan jadi anchor timnas.
Sejarah futsal bukan hanya milik mereka yang sukses, tapi milik tim yang kompak. Dan tim kompak lahir bukan dari lima orang terpilih saja, tapi seluruh yang siap bermain. Pemain cadangan bukan pelengkap—mereka adalah tulang punggung ketika tantangan muncul.
Jangan biarkan bangku cadangan jadi akhir dari kisahmu di lapangan. Cerita para pemain futsal cadangan yang sukses membuktikan bahwa kerja keras dan kesabaran bisa membalikkan keadaan. Yuk, buktikan bahwa kamu juga bisa! Tunjukkan semangat juangmu di #FutsalAXISNationCup dan jadilah #SuaraParaJuara. Info lengkap mengenai turnamen futsal AXIS Nation Cup yang digagas oleh AXIS, dapat diakses di anc.axis.co.id.
Baca Juga
Artikel Terkait
Hobi
-
Catatan 3 Pelatih Timnas Indonesia di Piala AFF U-23, Pelatih Lokal Masih yang Terbaik!
-
BRI Super League: Supriadi Siap Comeback bersama Persik usai Cedera Panjang
-
Nova Arianto Uji Konsentrasi Timnas Indonesia U-17, Persiapan Makin Matang?
-
Akrab dengan Honda, Bos LCR Juga Bingung Kenapa Ai Ogura Pilih Trackhouse
-
Katanya Harus Aman, Kenapa Motor MotoGP Tidak Pakai Kaca Spion?
Terkini
-
Timnas Indonesia, Spesialis Runner Up AFF, dan Kerinduan pada Orang Lama
-
Sinopsis Pull Strings, Drama China Dibintangi Ao Rui Peng dan Sun Zhen Ni
-
Belajar Mengelola Diri Lewat Buku Hidup itu Murah yang Mahal Gengsi Kita
-
Raih Rating Awal 100%, Weapons Digadang Jadi Film Horor Terbaik Tahun Ini
-
5 HP Vivo RAM 8GB Harga 1 Jutaan: Cocok Buat Kamu yang Mau Ngebut