- Kualitas pendidikan tak bisa hanya bergantung pada kurikulum, tapi pada keberdayaan guru.
- Guru masih terbebani administrasi berlebihan dan kesejahteraan yang minim.
- Penghargaan, pelatihan, dan dukungan nyata bagi guru adalah kunci keberhasilan pendidikan.
Pendidikan di Indonesia kerap menjadi bahan diskusi hangat, terutama ketika pemerintah meluncurkan kurikulum baru. Mulai dari Kurikulum 2013 hingga Kurikulum Merdeka, wacana perubahan sistem belajar selalu menjadi sorotan utama di ruang publik. Namun, di balik hiruk-pikuk pembahasan kurikulum, kondisi guru sebagai aktor utama dalam proses Pendidikan justru terlupakan. Beban administrasi, kesejahteraan yang belum merata, serta kurangnya pelatihan membuat guru berada pada posisi yang rentan. Sayangnya, isu-isu fundamental ini tidak banyak mendapat perhatian, seolah-olah kurikulum dapat berjalan sendiri tanpa adanya peran guru yang kuat.
Lalu, apakah kita sedang terlalu sibuk merancang sistem pendidikan di atas kertas, hingga lupa menengok siapa yang akan mengeksekusinya di lapangan? Diskusi mengenai pendidikan semestinya tidak hanya berhenti pada gagasan tentang kurikulum, tetapi juga mencakup realitas yang dihadapi guru setiap hari. Dari sinilah, kita bisa membuka ruang dialog yang lebih komprehensif apakah pendidikan akan berhasil hanya dengan kurikulum baru, atau justru keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada keberdayaan guru?
Guru dalam Bayang-Bayang Administrasi
Salah satu keluhan terbesar guru di Indonesia adalah menumpuknya beban administrasi. Alih-alih fokus pada proses mengajar dan membimbing murid, guru justru sering disibukkan dengan laporan, formulir, dan dokumen lain yang menyita waktu dan energi. Banyak guru merasa bahwa peran mereka telah digeser dari pendidik menjadi pekerja administrasi. Akibatnya, kualitas interaksi antara guru dan murid berkurang, padahal interaksi inilah yang seharusnya menjadi inti dari pendidikan.
Fenomena ini diperparah oleh kebijakan yang menuntut akuntabilitas tanpa diiringi penyederhanaan birokrasi. Guru dituntut mengikuti perubahan kurikulum, mengisi perangkat ajar, hingga menghadiri pelatihan yang kadang hanya formalitas. Beban tersebut membuat guru kesulitan untuk fokus pada hal yang paling penting yaitu menciptakan pengalaman belajar yang bermakna bagi murid.
Kesejahteraan Guru: Masalah yang Tak Kunjung Usai
Selain beban administrasi, persoalan kesejahteraan guru juga masih menjadi pekerjaan rumah besar. Data menunjukkan masih banyak guru honorer di berbagai daerah yang menerima gaji jauh di bawah upah minimum. Ironisnya, mereka tetap dituntut untuk bekerja dengan standar profesional yang sama seperti guru berstatus pegawai negeri. Kondisi ini menimbulkan ketidakadilan sekaligus demotivasi, karena kerja keras mereka tidak sebanding dengan penghargaan yang diterima.
Padahal, kesejahteraan guru adalah pondasi bagi terciptanya sistem pendidikan yang sehat. Guru yang tidak sejahtera akan sulit memberikan energi positif dalam proses belajar mengajar. Sementara itu, murid tidak hanya membutuhkan transfer ilmu, tetapi juga motivasi, teladan, dan perhatian dari gurunya. Dengan kata lain, jika guru dipaksa bertahan dalam kondisi sulit, maka kualitas pendidikan pun akan ikut tergerus.
Menghargai Guru, Menguatkan Pendidikan
Perubahan kurikulum memang penting sebagai upaya memperbaiki sistem pendidikan, tetapi tidak akan berarti apa-apa tanpa guru yang kuat. Di titik ini, penghargaan terhadap profesi guru menjadi sangat krusial. Penghargaan bukan hanya dalam bentuk gaji layak, melainkan juga ruang untuk berkembang, pelatihan berkualitas, dan pengurangan beban non-pengajaran yang mengganggu fokus mereka.
Kita perlu mengubah cara pandang bahwa pendidikan bukan sekadar soal kurikulum, melainkan tentang manusia yang menjalankannya. Jika guru diberdayakan, mereka akan mampu menerjemahkan kurikulum dengan baik sesuai kebutuhan murid dan konteks lokal. Dengan begitu, pendidikan menjadi lebih hidup dan tidak kaku hanya sebagai dokumen kebijakan.
Diskusi tentang pendidikan di Indonesia memang tidak pernah habis, namun jangan sampai kita terjebak pada perdebatan sempit tentang kurikulum. Sudahkah kita benar-benar peduli pada guru? Selama guru masih dibebani administrasi berlebihan, diberi kesejahteraan yang minim, dan kurang diberi ruang berkembang, maka sebaik apa pun kurikulum, ia akan gagal di lapangan.
Pendidikan yang berkualitas hanya bisa terwujud jika kita menempatkan guru sebagai prioritas utama. Karena pada akhirnya, masa depan anak-anak bangsa bukan ditentukan oleh kurikulum semata, melainkan oleh mereka yang berdiri di depan kelas setiap hari yaitu para guru.
Baca Juga
-
Narasi Damai ala Influencer: Cara Komunikasi Pemerintah yang Hilang Arah
-
Menggugat Konsep Nama Baik Keluarga: Beban Perempuan dalam Tradisi Sosial
-
Kekerasan Aparat vs Janji Reformasi: Membaca Pesan di Balik Kematian Affan Kurniawan
-
Janji Legislasi yang Gagal: Mengapa DPR Terus Dapat Sorotan Negatif?
-
Fenomena Parentification: Saat Anak Pertama Jadi Orang Tua Kedua
Artikel Terkait
-
Roy Suryo Bongkar 4 Kejanggalan Fatal Ijazah Gibran: Ini Kan Dagelan Srimulat!
-
Pendidikan, Kunci Generasi Muda Menuju Indonesia Emas 2045
-
Suami Tasya Farasya Kuliah di Mana? Lulusan Universitas Bergengsi hingga Jadi Pebisnis Sukses
-
Siswa SMKN 1 Cileungsi Kembali Belajar dengan Tenda Darurat usai Gedung Rusak
-
Yang Kosong dari Pendidikan Kita
Kolom
Terkini
-
Bayar Bioskop Dapat Bonus Iklan Prabowo, Netizen Heran: Ini Sosialisasi atau Propaganda?
-
4 Rekomendasi Toner Mengandung Olive untuk Kulit Lembap dan Bebas Kerutan
-
Kerja Remote Gaji Gede? Awas Loker Palsu! Tips Cerdas Buat Gen Z Biar Gak Ketipu
-
Demam Thrifting: Solusi Fashion Berkelanjutan atau Konsumerisme Terselubung?
-
Gagal Total, Gerald Vanenburg Terlalu Paksakan Gaya Bermain Ala Eropa?