Ada yang janggal dari suasana demokrasi kita belakangan ini. Di tengah ribuan mahasiswa dan rakyat yang turun ke jalan menyuarakan protes, tiba-tiba media sosial mendadak lemot, unggahan story tentang demo susah naik, bahkan beberapa media kesulitan menayangkan liputan di lapangan.
Komnas HAM sudah terang-terangan bilang ada pembatasan informasi. Polisi dan pemerintah disebut ikut mengatur aliran berita, bahkan ikut memantau akun media sosial yang berani menyiarkan aksi unjuk rasa secara langsung.
Rasanya absurd, negara yang dulu memperjuangkan hak berbicara di depan penjajah, kini justru sibuk mencari cara menutup mulut rakyatnya sendiri. Dan yang bikin tambah getir, ratusan pengunjuk rasa ditahan, sementara masyarakat yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi malah dijejali dengan potongan narasi sepotong-sepotong.
Belum cukup di situ. Surat imbauan KPID Jakarta mendadak viral di media sosial. Intinya, lembaga penyiaran diminta tidak menayangkan liputan unjuk rasa yang bermuatan kekerasan secara berlebihan. Dalihnya normatif, katanya untuk menjaga keseimbangan informasi.
Tapi apa jadinya kalau kamera justru dimatikan saat rakyat dipukuli, ditembaki gas air mata, bahkan ditangkap? Bukankah fungsi media justru memastikan publik tahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan malah menutupinya?
Pers seharusnya berdiri sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Tugasnya bukan jadi corong negara, apalagi jadi alat pengendali opini. Pers hadir untuk membuka mata publik, memberi tahu apa yang ditutup-tutupi, dan melaporkan realitas meski pahit. Kalau pilar ini runtuh, jangan salahkan kalau demokrasi bisa ambruk seketika.
Media sosial, yang selama ini jadi senjata warga sipil untuk melawan narasi tunggal, juga ikut dipelintir. Netizen ramai mengeluh tak bisa mengakses fitur Live TikTok saat demo berlangsung.
Dan apa jawaban TikTok? Mereka menangguhkan fitur itu di Indonesia dengan alasan keamanan. Kedengarannya masuk akal, tapi timing-nya kok pas sekali? Saat suara dibutuhkan, justru saluran ditutup.
Ternyata kita sedang hidup di era di mana “update status” bisa jadi tindakan pemberontakan. Di mana mengunggah video bisa dituding sebagai provokasi.
Padahal dulu, ketika Orde Baru runtuh, salah satu kemenangan terbesar rakyat adalah kebebasan berekspresi. Kita bisa berteriak lantang tanpa takut diseret hanya karena kalimat.
Kini, ketika demokrasi yang kita banggakan itu mulai keropos, ironisnya banyak yang justru memilih diam. Kita sudah lupa bahwa diam juga adalah pilihan politik, dan biasanya pilihan itu lebih menguntungkan mereka yang berkuasa.
Tapi dengan adanya pembatasan ini, rakyat tentu tak akan diam. Justru sebaliknya, kita akan semakin gentar melanjutkan perjuangan. Karena suara tak bisa dibungkam selamanya. Kalau satu pintu ditutup, akan ada jendela yang diketuk. Kalau satu platform digital diblokir, akan muncul sepuluh cara lain untuk berbicara.
Yang jadi pertanyaan, apakah kita, anak muda hari ini, mau jadi penonton atau bagian dari gelombang itu? Mau puas hanya dengan mengamati dari timeline, atau mau ikut merawat ruang demokrasi yang tersisa? Karena kalau kita diam, bukan hanya suara demo yang hilang, tapi suara kita sendiri pelan-pelan juga ikut terkubur.
Demokrasi tidak mati dalam sekejap, ia mati sedikit demi sedikit, setiap kali ada orang yang memilih bungkam.
Mari kita ikut menjaga kebebasan berekspresi, membagikan berita yang benar, menolak hoaks yang dibuat untuk menutupi kebusukan, mendukung jurnalis yang diserang, dan berani bilang tidak pada sensor yang dibungkus alasan keamanan.
Sejarah Indonesia selalu ditulis oleh mereka yang berani bersuara. Dari Soetomo, Kartini, hingga mahasiswa 1998—semua punya satu kesamaan, mereka tidak diam ketika suara mulai dibungkam.
Jadi, kalau hari ini kita kembali dihadapkan pada situasi yang sama, maka kita hanya perlu meneruskan tradisi itu. Tidak gentar, tidak tunduk, dan tidak berhenti bersuara.
Baca Juga
-
"Netral Itu Pilihan Aman?": Ironi Sikap Diam di Tengah Krisis Demokrasi
-
Agustus yang Getir: Ketika Euforia Kemerdekaan Berbentur Realitas Protes
-
Ketika Media Sosial Jadi Ruang Sastra Baru: Mengupas Fenomena Literasi Pop
-
Demo Diwarnai Kekerasan: Ketika Suara Rakyat Dijawab dengan Gas Air Mata
-
DPR, Pagar Beton, dan WFH: Ironi di Balik "Gedung Wakil Rakyat"
Artikel Terkait
-
Seminggu Ada Demo, Aliran Modal Asing Sudah Kabur Rp250 Miliar
-
Denny Sumargo Ikut Demo DPR: Teriakkan Aspirasi dan Peringatkan Soal Persatuan
-
Buntut Demo Berdarah, Sebagian Sekolah di Jakarta Berlakukan PJJ Mulai Senin Ini
-
Sri Mulyani Mundur Usai Rumah Dua Kali Dijarah?
-
Mau Ikut Turun ke Jalan? Ini 12+ Barang yang Wajib Dibawa saat Demo Demi Keamanan
Kolom
-
"Netral Itu Pilihan Aman?": Ironi Sikap Diam di Tengah Krisis Demokrasi
-
Rakyat Ingin Didengar, Ini Isi Tuntutan '17+8' Demi Demokrasi Indonesia
-
Agustus yang Getir: Ketika Euforia Kemerdekaan Berbentur Realitas Protes
-
Emak Hijab Pink, Menulis Sejarah Merah Putih di Hadapan Barikade Aparat
-
Keliru Prioritas, Ketika Tunjangan DPR Menjadi Pemicu Masyarakat Marah
Terkini
-
Pembalasan Siap Dituntaskan! Trailer Film Sisu: Road to Revenge Dirilis
-
Capeknya Kerja Rumah Tangga Bisa Kalahkan Kerja Kantoran
-
Sinopsis Film Mothernet: Sci-Fi Indonesia yang Tayang Perdana di Busan
-
Meski Lapisan Ozon Normal, Mengapa Pemanasan Global Justru Memburuk?
-
Formasi Futsal dan Logika Kepemimpinan