Di negeri ini, kita sering kali menemukan ironi yang terasa terlalu absurd untuk dilewatkan. Seperti ketika Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk memberikan kenaikan pangkat luar biasa kepada para polisi yang terluka akibat demonstrasi yang berujung ricuh.
“Saya sampaikan ke Kapolri, saya minta semua petugas dinaikkan pangkat luar biasa,” ujar Prabowo di Jakarta, Senin (1/9/2025). Kalimat itu terdengar seolah negara benar-benar hadir membela aparatnya yang terluka.
Kenaikan pangkat luar biasa, atau yang biasa disebut KPLB, biasanya diberikan untuk prestasi tertentu, misalnya berhasil mengungkap kasus besar atau gugur dalam tugas.
Tapi ketika kenaikan pangkat diberikan karena luka dalam demonstrasi, kita perlu melihat lebih jauh, luka itu muncul karena apa? Karena menahan serangan musuh negara? Atau karena berhadapan dengan rakyat yang sedang menuntut haknya?
Demo yang dimaksud bukanlah serangan bersenjata. Tidak ada pasukan asing, tidak ada gerilyawan. Yang ada adalah mahasiswa dengan spanduk, buruh dengan megafon, dan masyarakat sipil yang marah karena kebijakan yang dianggap merugikan.
Dalam konteks itu, narasi membela negara dan rakyat jadi terdengar janggal. Bagaimana mungkin rakyat dilindungi dengan cara memukulinya, menembakkan gas air mata, atau menangkap mereka secara sewenang-wenang?
Data Komnas HAM beberapa tahun terakhir juga mengatakan demikian, setiap kali demo besar terjadi, hampir selalu ada laporan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat. Jadi ketika negara memberi penghargaan berupa kenaikan pangkat, kesannya seperti negara sedang menutup mata pada luka yang jauh lebih besar, yaitu luka rakyat.
Kalau benar polisi itu terluka, tentu kita bisa berempati. Tidak ada yang layak sakit dalam menjalankan tugas. Tapi apakah empati itu harus diwujudkan dalam kenaikan pangkat massal, tanpa mempertimbangkan konteks lapangan?
Bayangkan bagaimana rasanya menjadi mahasiswa yang dipukul di kepala atau buruh yang harus dirawat di rumah sakit. Mereka tidak mendapat kenaikan pangkat dari negara, bahkan sekadar permintaan maaf pun jarang terdengar.
Pernyataan Prabowo ini juga berpotensi mempertebal jarak antara rakyat dan aparat. Polisi seolah-olah ditempatkan sebagai prajurit negara yang pantas diganjar penghormatan, sementara rakyat yang turun ke jalan hanya dilihat sebagai gangguan.
Padahal, konstitusi kita jelas menjamin kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi. Artinya, ketika rakyat berdemo, mereka tidak sedang melawan negara, justru sedang menggunakan hak yang diberikan negara. Inilah ironinya, ketika rakyat menggunakan haknya lalu dipukul; sedangkan polisi melukai rakyat, justru dipromosikan.
Prabowo memang sejak awal dikenal dengan militeristiknya, pernyataannya tentu mudah dijual kepada aparat, apalagi di tengah citra Polri yang belakangan kerap tercoreng kasus korupsi, narkoba, hingga kekerasan berlebihan. Memberi kenaikan pangkat luar biasa bisa menjadi cara cepat untuk membangun loyalitas baru. Tapi di mata publik, langkah ini justru bisa dibaca sebagai ketidakpekaan terhadap aspirasi masyarakat.
Terlebih jika kita bahas soal standar keadilan. Kalau polisi naik pangkat karena terluka, bagaimana dengan jurnalis yang dipukul saat meliput? Bagaimana dengan mahasiswa yang menjadi korban peluru karet? Bagaimana dengan keluarga korban yang meninggal akibat bentrok dengan aparat?
Yang lebih berbahaya, kebijakan seperti ini bisa membuat aparat semakin agresif, karena negara memberi sinyal bahwa setiap bentrok akan dihargai.
Prabowo, dengan segala wibawa militernya, mungkin ingin menunjukkan ketegasan. Tapi ketegasan tanpa empati hanyalah kekerasan yang dilegalkan. Dan ketika kekerasan itu diberi penghargaan, yang tercipta bukanlah aparat yang dekat dengan rakyat, melainkan aparat yang merasa lebih tinggi dari rakyat.
Dan dalam sebuah negara demokratis, siapa yang seharusnya mendapat penghormatan terbesar? Apakah aparat yang menembakkan gas air mata, atau rakyat yang berani turun ke jalan demi memperjuangkan haknya?
Baca Juga
-
Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu: Mengapa Ide Dedi Mulyadi Memicu Kritik?
-
QRIS dan Dompet Digital: Siapkah Indonesia Cashless Total?
-
QRIS Antarnegara: Simbol Indonesia Jadi Pemain Utama Ekonomi Digital ASEAN
-
E10 Wajib 10 Persen: Kenapa Kebijakan Etanol Ini Dikhawatirkan?
-
Menkeu Purbaya Potong Anggaran Daerah: Shock Therapy untuk Pemda Lamban
Artikel Terkait
-
Koalisi Sipil Riau Desak Presiden Bebaskan Khariq Anhar, Kecam Tindakan Represif
-
Mulai Rp 62 Ribu Ikut Demo! Polisi Bongkar Praktik Bayaran Demonstran 25 Agustus 2025 di Jakarta
-
Kronologi Ponakan Chika Jessica Diduga Jadi Korban Salah Pukul Polisi, Disangka Demonstran
-
Delpedro Marhaen dkk Dicap Provokator Demo Rusuh di Jakarta, Polisi: Ada Tutorial Rakit Bom Molotov
-
Sudah Kunjungi Unisba, Dedi Mulyadi Ngeluh: Kalo Posting Gini Gak Rame
Kolom
-
Kemenangan Akademisi IPB, Napas Baru Perlindungan Pembela Lingkungan
-
Pegawai Melimpah, Kinerja Seret: Potret Ironi Birokrasi Kita
-
Timnas Indonesia dan Perjalanan Panjang Melelahkan yang Berujung Kegagalan Menyakitkan
-
Kasus di SMAN 1 Cimarga: Netizen Terbelah, Pemerintah Belum Ambil Bagian?
-
Validasi dari Notifikasi: Benarkah Kita Masih Tahu Arti Puas?
Terkini
-
One Punch Man Season 3: Penantian Panjang Tapi Tuai Banyak Kritikan
-
Tatap Piala Dunia U-17, Putu Panji Siap Jalankan Game Plan Pelatih
-
IFI Yogyakarta: Kolaborasi Sinema dan Peluang Film Indonesia di Kancah Dunia
-
Lin Shaye Dipastikan Comeback di Insidious 6, Dijadwalkan Tayang 2026
-
4 Sleeping Mask dengan Peptide, Rahasia Kulit Kencang & Glowing Pagi Hari