- Demokrasi kini hidup di ruang digital, bukan hanya di kotak suara.
- Generasi muda jadi penggerak utama, menyuarakan aspirasi lewat kreativitas online.
- Demokrasi butuh literasi dan tanggung jawab, bukan sekadar kebebasan berteriak.
Demokrasi di Indonesia selalu menjadi bahan perbincangan hangat. Sejak era reformasi bergulir, rakyat merasakan kebebasan yang lebih luas untuk bersuara, mengkritik, dan ikut terlibat dalam proses politik.
Namun, perjalanan demokrasi bukanlah jalan lurus tanpa hambatan. Terkadang hadir sebagai arena dinamis, penuh harapan sekaligus tantangan ke depannya. Apalagi menjalani Amanah dan bertindak jujur pun tak selamanya mudah.
Kini, demokrasi tidak hanya hidup di ruang parlemen atau kotak suara pemilu. Demokrasi hadir di layar ponsel, dalam ruang digital, di ruang komentar media sosial, bahkan di konten-konten viral yang menggugah kesadaran publik.
Generasi muda menjadi salah satu motor penggerak utamanya. Mereka bukan hanya penonton, melainkan partisipan aktif yang mampu mengubah opini publik dengan cepat. Bahkan semua orang juga berhak memberikan suara dan menyampaikan aspirasinya. Fenomena influencer yang membawa “17+8 Tuntutan Rakyat” ke Gedung DPR menjadi gambaran nyata bahwa demokrasi telah menemukan wajah baru melalui kekuatan digital.
Meski demikian, wajah baru ini tidak lepas dari persoalan lama. Demokrasi Indonesia sering dianggap hanya sebatas prosedural, sekadar pemilu lima tahunan atau hitung-hitungan kursi di parlemen.
Padahal yang sebenarnya itu inti demokrasi adalah keterlibatan rakyat yang berkelanjutan. Rakyat berhak mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi jalannya pemerintahan setiap hari, bukan hanya saat musim kampanye.
Ironisnya, suara rakyat kerap direduksi menjadi angka survei atau sekadar slogan politik yang hilang begitu pesta demokrasi selesai.
Kritik terhadap demokrasi juga lahir dari banyaknya kasus korupsi, konflik kepentingan, hingga polarisasi yang semakin tajam.
Kebebasan berbicara memang ada, tetapi sering kali terseret dalam arus disinformasi dan provokasi yang merugikan.
Di titik ini, demokrasi bisa berubah menjadi boomerang bila tidak dibarengi literasi politik yang kuat. Apalagi bagi mereka yang bertindak ikut-ikutan atau FOMO terhadap apa yang terjadi saat ini tanpa mengetahui detail permasalahan yang ada sehingga semakin memperkeruh suasana.
Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa demokrasi tetaplah sistem terbaik yang ada. Ini memberikan ruang untuk mengoreksi kesalahan, menegur penguasa, dan mencegah konsentrasi kekuasaan yang absolut.
Demokrasi mengajarkan bahwa suara rakyat, sekecil apa pun, punya arti dalam menentukan arah bangsa ke depannya.
Peran generasi muda dalam demokrasi politik menjadi semakin vital. Dengan kreativitas digital, mereka mampu menyuarakan keresahan dengan cara yang lebih segar dan relevan.
Hashtag di media sosial bisa menjelma menjadi gerakan sosial, video singkat bisa membuka mata publik tentang ketidakadilan, dan postingan sederhana bisa memantik diskusi yang panjang. Inilah kekuatan baru demokrasi yang tidak boleh diremehkan.
Meski demikian, ada pekerjaan rumah besar yang harus diselesaikan bagaimana menjaga demokrasi tetap substansial, bukan hanya simbolis.
Demokrasi sejati bukan sekadar tentang kebebasan berteriak, tetapi juga tentang tanggung jawab untuk menggunakan suara dengan bijak.
Bukan hanya soal siapa yang menang pemilu, tetapi juga soal apakah rakyat merasakan keadilan dan kesejahteraan.
Demokrasi politik Indonesia masih terus bertumbuh, sedang belajar, diuji, dan diperkaya oleh partisipasi rakyat. Jalan yang ditempuh memang berliku, penuh riak, bahkan kadang melelahkan.
Tetapi justru di situlah makna demokrasi ia bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan panjang menuju negara yang lebih adil, transparan, dan berdaulat.
Pada akhirnya, demokrasi hanya bisa bertahan jika rakyat dan pemimpin sama-sama menjalankan tanggung jawabnya dengan baik dan sesuai apa yang direncanakan juga dijanjikan.
Rakyat tidak boleh apatis, sementara pemimpin tidak boleh mengkhianati Amanah yang diembannya. Karena itu semua berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi adalah ruang bersama dan keberhasilannya bergantung pada kesediaan kita semua untuk menjaganya.
Baca Juga
-
Anak Meniru yang Dilihat: Bagaimana Keluarga Menghasilkan Pelaku Bullying?
-
Ketika Laut Tak Lagi Murah Hati: Pesisir Hidup, tapi Ekonomi Pasang Surut
-
Bongkar Luka Bullying dan Pentingnya Safe Space Via Drama Korea 'Angry Mom'
-
Bullying Subur Karena Kita Tak Pernah Menciptakan Safe Space, Benarkah?
-
Stop! Bilang 'Cuma Bercanda', Lelucon Bisa Menjadi Trauma
Artikel Terkait
-
Menang dari Taiwan Tak Jadi Tolak Ukur Kekuatan Timnas Indonesia, Mengapa?
-
Tolak Sponsor Freeport, Rebellion Rose Beri Kejutan Fans di Pestapora 2025
-
Clean Sheet Timnas Indonesia vs Taiwan, Jordi Amat Puji Duet dengan Rizky Ridho
-
China Taipei, Gelontoran 6 Gol dan Kembali Bersinarnya para Pemain yang Sempat Tertepikan
-
Ribuan Pendomo hingga Aktivis Ditangkap, Warga Malaysia Geruduk Kedubes RI
Kolom
-
Tetap Junjung Etika, Stop Normalisasi Candaan Pakai Sebutan Nama Orang Tua
-
Laki-Laki Perlu Safe Space: Saatnya Lawan Bullying dari Beban Maskulinitas
-
Luka yang Tak Terlihat: Mengapa Kata Maaf Belum Cukup untuk Korban Bullying?
-
Kisah yang Tertinggal dari Penjual Sate di Pesisir Pasir Putih Situbondo
-
Permalukan Orang Jadi Hiburan: Fenomena Prank yang Melenceng Jadi Bullying!
Terkini
-
Trailer Baru 28 Years Later: The Bone Temple, Sorot Konflik Antar Penyintas
-
Ayah Pratama Arhan Meninggal Dunia, Penggemar dan Rekan Timnas Berduka
-
Jelang Lawan Filipina, Timnas Indonesia Disanjung Media Vietnam karena Ini
-
Jadwal Tayang Peaky Blinders: The Immortal Man Diumumkan, Catat Tanggalnya!
-
Catat Tanggalnya! Kang Daniel Siap Rilis Album Spesial Bertajuk PULSEPHASE