- Koalisi masyarakat sipil menilai langkah TNI sebagai kriminalisasi kritik dan ancaman demokrasi.
- Membungkam kritik lewat laporan pidana berisiko menyeret Indonesia ke arah otoritarianisme baru.
- Kasus Ferry Irwandi memicu polemik karena TNI diduga melangkahi putusan MK soal pencemaran nama baik.
Di tengah arus deras demokrasi yang sering kali terjebak dalam formalitas, muncul kasus yang seolah ingin menguji daya tahan ruang kebebasan sipil kita. Nama Ferry Irwandi, seorang intelektual publik sekaligus pendiri Malaka Project, tiba-tiba menjadi sorotan setelah Komandan Satuan Siber Mabes TNI mendatangi Polda Metro Jaya. Brigjen J. O. Sembiring, Dansatsiber, menyebut menemukan “indikasi tindak pidana” dari aktivitas siber Ferry. Publik pun sontak bertanya: tindak pidana macam apa yang dimaksud?
Sayangnya, jawaban itu tak kunjung jelas. Yang muncul justru wacana pelaporan pencemaran nama baik oleh institusi militer. Padahal, Mahkamah Konstitusi baru saja mengetok palu bahwa pencemaran nama baik hanya dapat dilaporkan oleh individu, bukan lembaga. Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 seolah menjadi pagar konstitusional yang terang benderang, namun pagar itu justru sedang coba dilompati.
Ferry Irwandi sendiri membantah tudingan bahwa ia menghindar. Lewat akun Instagram, ia menyatakan tak pernah berganti nomor dan tak pernah dihubungi siapa pun dari TNI. “Saya tidak lari ke mana-mana,” ujarnya tegas. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa ide tidak bisa dibunuh atau dipenjara. Kalimat yang sederhana, namun menyimpan keyakinan mendalam tentang betapa kritik adalah bagian dari napas demokrasi.
Kisah Ferry tak bisa dilepaskan dari Malaka Project. Gerakan intelektual yang lahir pada 2023 itu cepat menyedot perhatian, bukan hanya karena diisi figur publik populer, tetapi juga karena cara mereka menyajikan kritik sosial dengan bahasa yang segar. Di tangan Ferry, kritik bukan sekadar omelan, melainkan percakapan publik yang memancing generasi muda untuk peduli.
Kini, sorotan itu berubah menjadi ancaman. Bayangkan, seorang warga sipil dengan gerakan intelektualnya dihadapkan pada kekuatan institusi militer. Polda Metro Jaya, yang menjadi pintu masuk konsultasi TNI, justru mengingatkan bahwa aturan hukum membatasi langkah itu. Namun, publik tetap gelisah. Sebab, sejarah negeri ini berkali-kali menunjukkan bahwa niat melangkahi konstitusi sering kali berawal dari sekadar “konsultasi”.
Koalisi masyarakat sipil bergerak cepat. Amnesty International, Imparsial, PBHI, hingga SETARA Institute mengeluarkan kecaman keras. Mereka menyebut langkah TNI sebagai bentuk kriminalisasi kritik, bahkan menyamakan ini dengan preseden berbahaya bagi demokrasi. Mereka juga menyinggung teror terhadap Ardi Manto, Direktur Imparsial, yang mengalami perusakan mobil dan serangan siber. Pola ancaman itu memperlihatkan satu hal: ada upaya sistematis membungkam suara-suara kritis.
Pernyataan koalisi itu penting dicatat. Pertama, karena mereka menegaskan kembali batas konstitusional: lembaga negara, apalagi militer, tidak bisa menjadi pelapor pencemaran nama baik. Kedua, karena mereka mengingatkan posisi TNI dalam sistem demokrasi: tugasnya adalah pertahanan negara, bukan memburu warganya sendiri di ranah sipil. Undang-Undang TNI yang baru pun menyebut keterlibatan TNI di dunia siber hanya sebatas pada ancaman pertahanan, bukan pada perbedaan pendapat di media sosial.
Mari kita bayangkan sejenak, bila langkah ini dibiarkan. Militer merasa berhak memantau kritik di dunia maya, lalu melaporkannya sebagai tindak pidana. Polisi merasa berkewajiban menindaklanjuti, meski bertentangan dengan putusan MK. Dalam waktu singkat, ruang demokrasi yang kita rawat pasca-reformasi akan menyempit. Kebebasan sipil yang dijamin UUD 1945 akan tergantikan dengan rasa takut.
Inilah yang disebut SETARA Institute sebagai preseden berbahaya. Sebab, demokrasi hanya bisa tumbuh dalam ruang yang aman bagi kritik. Tanpa itu, negara akan meluncur ke jurang otoritarianisme baru, dengan wajah modern: bukan lagi tank di jalan, melainkan patroli siber yang mengawasi kata demi kata warganya.
Kasus Ferry Irwandi bukan sekadar soal benar atau salah pernyataannya di media sosial. Ini soal prinsip yang lebih besar: apakah negara menghormati hak warganya untuk mengkritik, atau memilih menindas dengan dalih menjaga kehormatan institusi. TNI, sebagai garda pertahanan, justru akan semakin dihormati bila mampu menunjukkan kedewasaan menghadapi kritik. Sebaliknya, membawa warga sipil ke ranah hukum hanya akan memperburuk citra dan mengingatkan publik pada bayang-bayang masa lalu.
Dalam demokrasi, jalan terbaik menghadapi kritik adalah menjawab dengan argumen, bukan laporan pidana. Sebab, demokrasi tumbuh bukan dengan membungkam suara yang berbeda, melainkan dengan membiarkan percakapan berlangsung, meski kadang keras dan tak menyenangkan.
Ferry Irwandi mungkin hanya satu orang, tapi kasusnya bisa menjadi penanda arah demokrasi kita ke depan. Bila ruang kritik dikriminalisasi, maka yang terancam bukan hanya aktivis, melainkan seluruh warga negara. Dan sejarah sudah terlalu sering memberi pelajaran: kebebasan yang direbut dengan susah payah bisa hilang bila kita lengah.
Di sinilah kita perlu bersuara: hentikan upaya kriminalisasi terhadap Ferry Irwandi. Hentikan praktik menekan kebebasan sipil dengan dalih melindungi institusi. Demokrasi bukanlah arena yang steril dari kritik, melainkan ruang di mana kritik justru menjadi vitamin utama.
Jika benar ada perbedaan pendapat atau bahkan kesalahan informasi, buktikan di ruang publik, bukan di ruang interogasi. Sebab, demokrasi hanya akan sehat jika negara belajar untuk mendengar, bukan menakut-nakuti. Dan kepada TNI, pelajaran paling penting adalah ini: kehormatan bukanlah sesuatu yang bisa dipertahankan dengan laporan polisi, melainkan dengan kemampuan menghadapi kritik secara terbuka.
Baca Juga
-
Menagih Kembali Tuntutan Rakyat 17+8, Sudah Sejauh Mana?
-
Delpedro Marhaen, Kriminalisasi Aktivis dan Cermin Demokrasi yang Retak
-
Pestapora 2025: Festival Musik, Tambang, dan Sikap Berpihak Musisi pada Isu Keberlanjutan
-
21 Tahun Mengingat Munir dan Upaya Negara Melupakan
-
Budaya Kekerasan Aparat dan Demokrasi yang Terluka
Artikel Terkait
-
CEK FAKTA: Benarkah Purnawirawan TNI Gelar Demo Tuntut Pemakzulan Gibran?
-
Berpangkat Letkol Tituler TNI, Deddy Corbuzier Disindir Pandji Jadi Bekingan Ferry Irwandi
-
Melawan Kritik dengan Kekuatan Negara? TNI Dikecam Keras Karena Laporkan Ferry Irwandi!
-
Ferry Irwandi Disorot, CEO Malaka Project yang 'Diincar' Jenderal TNI
-
Rencana Jenderal TNI Polisikan Ferry Irwandi Mentah di Polda, Koalisi Sipil Pasang Badan
Kolom
-
Pembongkaran Parkiran Abu Bakar Ali: Antara Penataan Malioboro dan Nasib Masyarakat
-
Kopinya Mahal, Tapi Gaji Barista Tetap Pas-pasan
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
-
Krisis Kepercayaan Publik: Rakyat Dapat Apa dari Reshuffle Kabinet?
-
Menagih Kembali Tuntutan Rakyat 17+8, Sudah Sejauh Mana?
Terkini
-
Ulang Tahun ke-42, Luna Maya Dibanjiri Hadiah Mewah dari Maxime Bouttier
-
FIFA Matchday, Timnas Indonesia dan Patrick Kluivert yang Urung Pasang Barisan Bek Mewah
-
Pamer Kemesraan di Sydney, Angel Karamoy Resmi Pacaran dengan Gusti Ega?
-
Biar Gak Cuma Pesan Es Kopi Susu: Kamus Ngopi Lengkap Buat Gen Z
-
Bahagia! Zaskia Sungkar Umumkan Kehamilan Kedua Hasil Program Bayi Tabung