Bimo Aria Fundrika | Rie Kusuma
Siluet di Tangga Saat Listrik Padam. (unsplash.com/@thevibrantmachine)
Rie Kusuma

Sabtu malam, sehabis Isya, kedua orangtuaku pergi menonton wayang kulit di sebuah perhelatan desa. Rumah pun tinggal menyisakan aku dan adik bungsuku.

Dua kakak perempuanku sudah berkeluarga dan menetap di kota lain, sementara kakak laki-lakiku yang masih melajang tinggal di mess karyawan di Bekasi.

Malam itu rumah terasa terlalu lapang. Terlalu sunyi.

Aku masih tenggelam membaca novel di atas ranjang ketika tiba-tiba—jegleklistrik padam.

Gelapnya bukan gelap biasa.

Seolah seluruh rumah ditelan sesuatu. Dadaku langsung sesak. Aku memang tidak pernah tahan berada di ruangan tertutup tanpa cahaya.

ilustrasi lilin (Pixabay/Ahep317)

Aku meloncat turun dari ranjang, menyibak gorden dengan gerakan kasar. Cahaya bulan menyusup tipis, pucat, nyaris tak berguna. Dengan tangan meraba dinding, aku melangkah ke arah pintu kamar.

Dari ambang pintu, aku berteriak memanggil adikku yang terakhir kulihat menonton televisi di lantai bawah.

“Dian, ada lilin nggak di bawah?!”

“Iya… ada,” jawabnya.

Suaranya terdengar jauh. Terlalu jauh.

Aku berdiri menunggu. Mataku tak sengaja melirik jendela dekat balkon.

Di luar rumah gelap total. Tak ada satu rumah pun yang menyala. Pemadaman listrik. Bukan sekadar rumah kami.

“Dian! Ketemu nggak lilinnya?!”

Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar menaiki tangga. Sebuah sosok muncul di ujung gelap. Hanya siluet. Hitam. Diam.

Tapi aku mengenalnya. Rambut ikal sebahu. Bertelanjang dada. Celana pendek. Persis adikku saat di rumah.

Sosok itu berjalan menuju bufet di samping tangga. Menunduk. Tangannya mengais-ngais laci. Sunyi. Terlalu sunyi.

“Ada nggak lilinnya?” tanyaku lagi, suaraku mulai bergetar.

“Ada,” jawabnya.

Sayup. Datar. Seolah datang dari ruang kosong.

Saat itulah ingatanku menyentak—di meja kerja depan kamarku ada lilin dan korek api.

Tanganku gemetar saat menemukannya. Api kecil menyala.

Aku mendekat ke arah sosok itu.

“Lilinnya ketemu nggak? Mbak sudah ada lilin—”

Cahaya menyentuh punggungnya.

Wuuusss…

Tubuh itu mengabur. Menjadi kabut hitam tipis. Lenyap begitu saja.

Kakiku lemas. Jantungku serasa berhenti. Aku berbalik lari ke kamar, berteriak setengah histeris.

“Diiiaaannn…!”

Detik berikutnya, dari arah tangga, adikku muncul. Nyata. Memakai sarung dan baju koko. Tangannya memegang lilin menyala.

“Ini lilinnya, Mbak.”

Suaranya jelas. Dekat. Hidup.

Aku menatapnya tanpa berkedip.

Kalau begitu…
siapa yang tadi bertelanjang dada di bufet?

Dan apa yang sempat berdiri di rumah kami, tepat setelah listrik padam?