Kalau ada tontonan yang seharusnya jadi ruang aman buat penonton dewasa dan pecinta sinema, jawabannya jelas festival film. Namun kasus terbaru Jakarta World Cinema 2025 membuktikan, di Indonesia bahkan ruang festival pun nggak lagi bebas dari gunting sensor.
Lembaga Sensor Film (LSF) kali ini benar-benar menggila. Mereka menolak delapan film internasional untuk tayang di KlikFilm, padahal film-film itu sudah malang melintang di festival dunia. Daftar yang dibantai sensor:
- Baby
- Plainclothes
- Lilies Not for Me
- Paying for It
- Hot Milk
- Ari
- I Only Rest in the Storm (O Riso e a Faca)
- Yes
Film-film ini bukan ecek-ecek. Mereka diputar di Cannes, Venice, Berlinale, Locarno, sampai Toronto. Mereka dapat apresiasi kritikus, dianggap penting, dan membuka ruang diskusi global. Namun di Indonesia, mereka dianggap ‘terlalu vulgar’, ‘berbahaya’, dan ‘nggak sesuai moral’. Ironis banget deh;
Festival film berbeda dari bioskop komersial. Penontonnya sadar datang untuk mencari pengalaman nonton yang menantang, nggak melulu hiburan ringan. Festival adalah tempat isu-isu tabu dibicarakan, dari seksualitas, gender, politik, sampai tubuh manusia.
Dengan menolak film-film ini, LSF pada dasarnya merampas fungsi festival. Penonton dianggap bodoh, lemah, rapuh, yang seolah-olah sekali nonton ‘Yes’ atau ‘Hot Milk’, langsung kehilangan moral. Padahal publik festival justru butuh tontonan seperti itu untuk membuka cakrawala, untuk membuat pikiran berdebat, untuk belajar bahwa dunia nggak sesederhana hitam-putih.
Menurutku, di balik semua keputusan LSF, ada pola pikir kuno. Penonton dianggap nggak pernah dewasa. Dari dulu sampai sekarang, seakan-akan publik (sinefil) Indonesia harus diperlakukan seperti bocah TK yang nggak boleh lihat kenyataan dunia.
Padahal, dengan VPN dan akses internet, orang bisa nonton versi asli film ini kapan saja. Artinya sensor cuma bikin pengalaman nonton legal jadi cacat, sementara tontonan ilegal malah makin dicari. Bukannya melindungi, sensor justru mempermalukan.
Kasus ini memang terjadi di Jakarta World Cinema yang dinaungi KlikFilm, platform kecil. Namun ini bisa jadi uji coba sebelum regulasi diperluas. Bayangkan kalau Netflix, Disney+, Amazon Prime, atau Vidio dipaksa tunduk.
Jelas publik Indonesia (sinefil) bakal semakin terisolasi dari percakapan global. Sementara negara tetangga seperti Filipina atau Thailand sudah lebih terbuka, kita masih sibuk menggunting imajinasi.
Dalih LSF selalu sama sih: Melindungi moral bangsa. Apa benar? Moral bangsa macam apa yang bisa ‘rusak’ hanya karena nonton ‘Lilies Not for Me?’, misal. Bukankah moral seharusnya dibangun lewat pendidikan, diskusi, dan kebebasan berpikir, bukan lewat gunting sensor?
Sensor berlebihan bukanlah proteksi, melainkan pembodohan dan menutup mata dari kenyataan, lalu melucuti publik dari hak untuk memilih. Ya, merampas hak festival untuk menampilkan karya apa adanya.
Keputusan ini bukan cuma memukul festival film ya, tapi juga industri film lokal. Jakarta World Cinema bisa kehilangan kredibilitas, penonton kehilangan kepercayaan, sineas muda kehilangan ruang bereksperimen.
Kalau semua harus aman, steril, dan jinak, lalu di mana tempat untuk film yang berani? Sineas kita akan selalu dihantui pertanyaan, “Buat apa bikin film jujur, kalau akhirnya dipotong atau ditolak?”
Delapan film yang ditolak ini hanyalah gejala dari masalah lebih besar. Lembaga negara yang takut pada imajinasi. Yang lebih suka menutup mata daripada berhadapan dengan kenyataan, yang berpikir sensor bisa menghentikan pertanyaan kritis, padahal justru sebaliknya. Larangan selalu melahirkan rasa ingin tahu lebih besar.
Sensor bisa memotong adegan, tapi nggak bisa memotong pikiran. Dan penonton hari ini terlalu pintar untuk dibodohi dengan gunting.
Kasus Jakarta World Cinema ini adalah alarm keras. Ruang festival bisa habis, streaming bisa dicekik, penonton bisa makin dikerdilkan. Semua gara-gara sensor yang nggak paham esensi sinema.
Sudah saatnya LSF berhenti berpikir bahwa publik adalah anak kecil. Penonton Indonesia berhak menonton film dunia tanpa dipreteli, berhak melihat realita tanpa filter moral sempit, dan berhak menikmati festival sebagai ruang kebebasan.
Kalau nggak, kita hanya akan melahirkan generasi penonton sinis, yang tahu, bahwa LSF bukanlah pelindung moral, melainkan tukang gunting imajinasi.
Baca Juga
-
Iklan Presiden Prabowo di Layar Lebar, Bioskop Jadi Panggung Politik?
-
Cewek vs Cowok di Lapangan Futsal: Gaya Main yang Sama tapi Beda Warnanya
-
Review Film The Thursday Murder Club: Aksi Detektif Lansia Mengupas Kasus
-
Kencing di Dalam Bioskop, Pentingnya Jaga Adab Ruang Publik
-
Futsal dan Persahabatan Gen Z
Artikel Terkait
-
6 Short Movie Jakarta World Cinema 2025 yang Wajib Kamu Tonton di KlikFilm
-
Belajar Merayakan Mimpi yang Nggak Sempurna dari Film In the Nguyen Kitchen
-
Jakarta World Cinema 2025: Gerbang Sinema Dunia Kembali Terbuka di Ibu Kota
-
Sensor Sony 200 MP Bakal Hadir di HP Flagship, Pakai Teknologi HDR Anyar
-
Honor Magic 8 Pro Bakal Bawa Telefoto 200 MP, Siap Debut pada Q4 2025
Kolom
-
Rumah Baca Komunitas: Membaca, Menulis, Menanam, dan Hidup Bersama Literasi
-
Jerat Konsumtif di Balik Budaya Cashless, Solusi atau Masalah Baru?
-
MBG: Niat Baik Tanpa Kontrol? Tragedi Keracunan Ratusan Siswa di Balik Program Makan Bergizi Gratis
-
Suling Bambu Sebagai Ruang Lintas Kalangan
-
Iklan Presiden Prabowo di Layar Lebar, Bioskop Jadi Panggung Politik?
Terkini
-
Ada Tanggal Merah Gak Ya di Oktober 2025?
-
Libur Nasional 2026: 17 Hari Libur dan 8 Cuti Bersama, Menag Sebut Adil
-
4 Serum Gold Harga Pelajar Rp20 Ribuan, Bikin Kulit Cerah Bebas Garis Halus
-
Ratu Tisha Lengser: Apa yang Sebenarnya Terjadi di Balik Layar PSSI?
-
Skandal Irjen Krishna Murti dan Kompol Anggraini, Citra Polri Tergores