Hernawan | Davina Aulia
Ilustrasi orang bermain sosial media (pexels.com/kaboompics.com)
Davina Aulia

Pada era digital yang serba terhubung, media sosial menjadi ruang utama tempat manusia berinteraksi, mencari hiburan, bahkan membentuk identitas diri. Namun di balik koneksi tanpa batas itu, muncul paradoks baru; semakin banyak waktu yang dihabiskan di dunia maya, semakin banyak pula orang merasa cemas, tidak puas, bahkan kelelahan mental.

Fenomena ini melahirkan istilah stres digital, yaitu tekanan psikologis akibat interaksi dan eksposur berlebihan terhadap media sosial. Lalu, apakah media sosial benar-benar “jahat”, atau justru kepribadian penggunanya yang membuat sebagian orang lebih rentan terhadap dampak negatifnya?

Penelitian terbaru yang diterbitkan di Journal of Happiness Studies (2025) berjudul “Social Media and Subjective Well-Being: The Moderating Role of Personality Traits” mencoba menjawab teka-teki itu. Studi tersebut meneliti bagaimana penggunaan media sosial, stres yang ditimbulkan, dan kegagalan mengatur diri berhubungan dengan kesejahteraan subjektif seseorang. Menariknya, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh media sosial terhadap kebahagiaan sangat bergantung pada sifat kepribadian pengguna. Dengan kata lain, dunia maya bisa jadi sumber kebahagiaan bagi sebagian orang, namun menjadi pemicu stres bagi yang lain.

Antara Dosis dan Dampak: 45 Menit yang Menentukan

Salah satu temuan paling menarik dari penelitian tersebut adalah hubungan U-shaped antara durasi penggunaan media sosial dan tingkat emosi negatif. Orang yang menggunakan media sosial terlalu sedikit maupun terlalu banyak cenderung memiliki tingkat stres dan perasaan negatif yang lebih tinggi. Namun, ketika penggunaan media sosial berada di kisaran 45 menit per hari, efek negatifnya justru menurun drastis. Durasi itu disebut sebagai “zona emas”, cukup untuk berinteraksi sosial tanpa terseret arus informasi berlebihan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kunci utama bukan pada menjauh total dari media sosial, melainkan pada kemampuan mengatur waktu dan intensitas penggunaannya. Pengguna yang mampu menyeimbangkan aktivitas online dan kehidupan nyata akan lebih mampu menjaga kesejahteraan emosionalnya. Sebaliknya, mereka yang tenggelam dalam doomscrolling atau terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain justru lebih rentan terhadap kelelahan emosional. Jadi, bukan media sosial yang sepenuhnya salah, melainkan bagaimana dan seberapa sering kita menggunakannya.

Kepribadian sebagai Filter Emosi di Dunia Maya

Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa sifat kepribadian berperan penting dalam menentukan bagaimana seseorang merespons media sosial. Individu dengan tingkat ekstraversi tinggi (mereka yang terbuka dan energik dalam berinteraksi) cenderung mendapatkan manfaat emosional dari penggunaan media sosial, seperti rasa terhubung dan dukungan sosial. Sebaliknya, individu dengan ekstraversi rendah atau cenderung introvert justru lebih mudah mengalami emosi negatif saat terlalu lama berada di dunia maya.

Selain itu, sifat neurotisisme tinggi  (kecenderungan mudah cemas, sensitif, dan overthinking) memperkuat hubungan antara stres media sosial dan kesejahteraan yang rendah. Bagi mereka, setiap komentar negatif atau perbandingan sosial dapat memicu kekhawatiran yang berlebihan. Hal ini menjelaskan mengapa sebagian orang tampak lebih tahan terhadap dinamika dunia maya, sementara sebagian lainnya mudah merasa “terbebani” hanya karena melihat unggahan orang lain.

Regulasi Diri: Penentu Bahagia atau Terjebak dalam Layar

Aspek lain yang diuji dalam penelitian tersebut adalah self-regulation failure atau kegagalan dalam mengatur diri. Meskipun faktor ini tidak menunjukkan pengaruh langsung yang kuat terhadap kesejahteraan subjektif, temuan tersebut menunjukkan bahwa regulasi diri tetap berperan penting ketika dipadukan dengan kepribadian tertentu. Individu yang sulit mengendalikan dorongan untuk terus memeriksa notifikasi atau menggulir layar berjam-jam cenderung lebih rentan terhadap stres, terutama jika disertai dengan sifat neurotis atau rendahnya kesadaran diri.

Di sisi lain, orang dengan tingkat kesadaran diri tinggi (conscientiousness) biasanya lebih mampu mengontrol perilaku digitalnya. Mereka cenderung menetapkan batas waktu penggunaan, memprioritaskan interaksi positif, dan tidak mudah larut dalam drama media sosial. Kemampuan mengatur diri inilah yang menjadi pembeda utama antara pengguna yang menikmati manfaat media sosial dan mereka yang terjebak dalam kecemasan tanpa ujung.

Penelitian ini memberikan pelajaran penting bahwa kesejahteraan digital tidak hanya ditentukan oleh algoritma atau konten yang kita lihat, tetapi juga oleh siapa kita sebagai individu. Media sosial bukan sekadar alat komunikasi, melainkan ruang psikologis yang memperbesar sifat-sifat kepribadian kita. Oleh karena itu, sebelum menyalahkan media sosial atas stres dan kecemasan yang kita rasakan, ada baiknya kita mencari tahu, apakah masalahnya benar-benar ada di layar, atau justru di cara kita memandang diri dan dunia di baliknya?