Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Anies Baswedan (Instagram/aniesbaswedan)
Fauzah Hs

Di sebuah forum bernama ASEAN for the Peoples Conference yang digelar di Jakarta pada Minggu (5/10/2025), Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, melontarkan kalimat yang cepat sekali jadi bahan perbincangan.

Beliau bicara soal pendidikan Indonesia yang katanya “muridnya abad ke-21, gurunya abad ke-20, dan tata letak kelasnya abad ke-19.” Sejujurnya kalimat itu memang menampar realita.

Kita tahu anak-anak sekarang tumbuh dengan gawai, internet, bahkan kecerdasan buatan. Tapi ruang belajar mereka masih didominasi papan tulis kapur, pola hafalan, dan sistem yang menekankan seragam, bukan keunikan.

Anies menyebut sistem pendidikan kita masih didesain untuk era industri, yang bertujuan membentuk buruh yang patuh, bukan warga yang kreatif dan kritis.

Ia bahkan menambahkan, masalah kita bukan hanya kesenjangan keterampilan, tapi juga kesenjangan mimpi. Anak di kota besar bisa bercita-cita jadi ilmuwan roket atau desainer gim karena terpapar pada banyak referensi.

Sementara anak di pelosok? Sering kali bahkan tak tahu ada jalur karier seperti itu.

“Mimpi adalah fungsi dari pengetahuan,” kata Anies. Dan pengetahuan yang timpang menghasilkan mimpi yang timpang pula.

Tapi, setiap kali Anies melontarkan kritik, komentar publik pun selalu terbelah. Ada yang manggut-manggut, banyak juga yang refleks menyambar dengan nada sinis, “Lah, dulu pas jadi Menteri ngapain aja?”

Pertanyaan ini seperti déjà vu, selalu muncul tiap kali seorang mantan pejabat berkomentar. Dan memang, godaan untuk menyerang personal sering lebih gampang ketimbang menimbang ide yang ia bawa.

Padahal, masa jabatan Anies di Kemendikbud relatif singkat, hanya sekitar setahun sebelum diganti. Bahkan sebelum jadi menteri, ia mendirikan Gerakan Indonesia Mengajar (2009), program yang mengirim lulusan terbaik untuk mengajar di pelosok negeri.

Visi program ini bukan hanya transfer ilmu, tapi juga membuka cakrawala, agar anak-anak desa tahu dunia lebih luas daripada yang ada di sekeliling mereka. Tapi sayangnya, rekam jejak seperti ini jarang disentuh dalam perdebatan publik.

Sobat Yoursay, masalahnya mungkin bukan soal apa yang sudah atau belum dilakukan Anies, melainkan cara kita memandang kritik terhadap sistem.

Apakah kita berani mengakui bahwa sistem pendidikan kita memang masih terjebak di masa lalu? Data PISA 2022 menunjukkan kemampuan literasi dan numerasi anak Indonesia tetap tertinggal dibanding rata-rata. Fakta ini menunjukkan ada urgensi yang tidak bisa dipungkiri, entah siapa pun yang mengatakannya.

Dan soal “kesenjangan imajinasi” yang Anies sebut, ini menarik. Anak kota besar terbiasa melihat dunia lewat internet, punya role model global, mimpi jadi desainer game, pilot, bahkan youtuber internasional.

Sementara anak di pelosok, jangankan punya akses Wi-Fi, listrik saja lebih sering mati. Akibatnya, ruang mimpi mereka sering hanya terbatas pada apa yang tampak di sekitar. Kalau setiap hari hanya melihat sawah atau pasar kecil, wajar bila horizon masa depannya pun sebatas itu. Bukan berarti salah, tapi jelas timpang.

Di sinilah kritik Anies terasa relevan, bahwa reformasi pendidikan bukan cuma soal menambah pelajaran coding atau tablet di kelas. Yang lebih penting adalah meruntuhkan sekat imajinasi, membuka jendela yang lebih luas bagi anak-anak untuk berani bermimpi.

Tapi lagi-lagi, Sobat Yoursay, kita sering lebih sibuk menyerang siapa yang bicara, ketimbang menggali apa yang dibicarakan.

Kalau mau refleksi sedikit, bukankah ironi kalau kita mengeluh anak-anak malas berpikir kritis, sementara kita sendiri menolak gagasan dengan serangan personal?

Bukankah lebih sehat kalau kita uji gagasan itu, debatkan, bahkan bantah dengan argumen yang setara? Sayangnya, ruang diskusi publik kita lebih sering jadi arena ejek-ejekan ketimbang laboratorium ide.

Jadi, mungkin yang lebih relevan adalah pertanyaan ke diri kita sendiri, maukah kita jujur mengakui bahwa pendidikan kita belum nyambung dengan kebutuhan zaman?

Dan kalau ada orang—siapapun dia, entah Anies, entah tokoh lain—melontarkan kritik, apakah reaksi pertama kita harus menyerang masa lalu pribadinya, atau mencoba menimbang ide yang dibawa?

Karena kalau kita terus sibuk mengolok-olok orang yang bicara, jangan-jangan yang benar-benar tertinggal bukan hanya sistem pendidikan kita, tapi juga kualitas diskusi publiknya.