Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Poster film Pengin Hijrah (IMDb)
Ryan Farizzal

Di tengah keriuhan dunia digital yang sarat rayuan, film Pengin Hijrah muncul sebagai hembusan udara segar bagi khalayak Indonesia yang merindukan kisah menggugah jiwa.

Digarap oleh sutradara Jastis Arimbaba, karya ini rilis perdana di bioskop tanah air sejak 30 Oktober 2025, bersamaan dengan gelombang panen film nasional beraneka ragam.

Diproduksi Sinemata Buana Kresindo dan Multibuanakreasindo, Pengin Hijrah merupakan adaptasi novel best-seller karangan Hengki Kumayandi, berdurasi 114 menit dengan klasifikasi remaja (13+).

Bukan hanya drama keagamaan biasa, film ini menyatukan romansa lembut dengan pencarian esensi hidup, menjadikannya tontonan esensial bagi siapa pun yang sedang bergumul dengan proses hijrah kepada diri sendiri.

Sinopsis film ini berpusat pada Alina (diperankan oleh Steffi Zamora), seorang selebgram populer yang hidupnya seperti roller coaster.

Awalnya, Alina menikmati gemerlap dunia maya: endorse berlimpah, followers jutaan, dan hubungan asmara yang manis dengan Joe (Daffa Wardhana). Namun, badai ujian datang bertubi-tubi.

Keluarganya terlilit utang, pernikahan orang tuanya retak, dan penagih hutang menghantui setiap hari. Puncaknya, Joe—kekasih yang ia percayai—mengkhianati dengan menyebarkan foto pribadi Alina di media sosial.

Skandal ini bukan hanya merenggut martabatnya, tapi juga beasiswanya, meninggalkan Alina dalam jurang depresi. Kematian sahabatnya semakin memperburuk keadaan, membuat Alina mempertanyakan segala yang ia pegang selama ini.

Di titik terendah itulah Alina bertemu Omar (Endy Arfian), mahasiswa semester akhir berdarah campuran Indonesia-Uzbekistan.

Omar bukan pangeran tampan biasa; ia adalah katalisator perubahan. Pertemuan tak terduga mereka membuka pintu harapan cinta sekaligus spiritual.

Omar mengajak Alina ke Uzbekistan, negeri asal ibunya yang penuh keindahan masjid-masjid kuno dan pegunungan hijau. Di sana, Alina belajar mendekatkan diri pada Tuhan, memahami hijrah bukan sebagai pelarian, tapi proses introspeksi mendalam.

Namun, perjalanan ini tak mulus. Godaan dunia maya—komentar negatif, tawaran endorse menggiurkan, dan keraguan diri—kembali menguji komitmen Alina.

Apakah ia akan bertahan di jalan hijrah yang benar, atau kembali ke zona nyamannya? Cerita ini mengalir dengan pacing yang pas, menghindari klise dakwah yang menggurui, dan justru menekankan hijrah sebagai perjuangan personal yang jujur.

Review Film Pengin Hijrah

Salah satu adegan di film Pengin Hijrah (instagram.com/penginhijrah.film)

Overall, plot Pengin Hijrah kuat dalam membangun konflik batin. Adaptasi dari novel asli terasa hidup, dengan dialog yang relatable bagi generasi Z dan milenial yang terjebak antara identitas online dan realita.

Sutradara Jastis Arimbaba, yang dikenal lewat karya-karya sebelumnya seperti film independen bertema sosial, berhasil menyuntikkan nuansa romansa yang hangat tanpa berlebihan.

Penulis skenario Benni Setiawan dan Endik Koeswoyo patut diacungi jempol karena menyisipkan elemen humor ringan di tengah drama berat, seperti interaksi Alina dengan sahabat-sahabatnya: Ulfa (Sita Permata Sari) yang cerewet tapi setia, Aisyah (Nadzira Shafa) yang bijak, dan Bu Ira (Karina Suwandhi) sebagai figur ibu pengantar.

Latar Uzbekistan menjadi highlight visual; sinematografi oleh tim produksi menangkap keindahan Samarkand dan Bukhara dengan lensa yang poetis, kontras tajam dengan kekacauan Jakarta yang urban.

Steffi Zamora, yang sebelumnya dikenal dari sinetron remaja, tampil matang sebagai Alina—transisi dari gadis glamor ke perempuan yang rapuh tapi tangguh terasa autentik.

Chemistry-nya dengan Endy Arfian sebagai Omar manis dan alami, mengingatkan pada pasangan romansa klasik ala film Indonesia 2000-an, tapi dengan kedalaman emosional lebih. Daffa Wardhana sebagai antagonis Joe juga impresif; ia bukan villain hitam-putih, melainkan pria egois yang mencerminkan sisi gelap hubungan toksik di era digital.

Pemain pendukung seperti Donny Alamsyah (Dr. Herman) dan M. Iqbal Sulaiman (Furqon) menambah lapisan, terutama dalam adegan keluarga yang menyentuh. Minus kecil ada pada beberapa dialog yang terasa kaku di bagian awal, tapi ini tak mengurangi impact keseluruhan.

Pengin Hijrah relevan banget di 2025 ini. Di saat media sosial mendominasi, film ini mengkritik bagaimana "likes" bisa meracuni jiwa, sambil menawarkan hijrah sebagai jalan pulang bukan ke tempat baru, tapi ke diri sejati.

Tanpa pretensi moralisasi, ia mengajak penonton merefleksikan: Apakah kita sedang hijrah, atau hanya berpura-pura? Soundtrack yang lembut, campuran pop religi dan etnis Uzbekistan, memperkaya emosi, meski scoring kadang terlalu dramatis. Dari sisi teknis, editing mulus, meski CGI di beberapa scene Uzbekistan terasa minor.

Bagi pencinta film Indonesia, Pengin Hijrah layak dapat 8/10. Ia tak sempurna beberapa subplot seperti konflik keluarga bisa lebih dieksplorasi—tapi pesannya menyentuh: Hijrah adalah perjalanan panjang, penuh liku, tapi akhirnya membawa kedamaian. Cocok ditonton bareng keluarga atau sahabat, terutama di akhir pekan.

Segera cek jadwal di bioskop terdekat. Jangan lewatkan kesempatan ikut promo hadiah trip ke Uzbekistan untuk 100 ribu penonton pertama! Film ini bukan hanya hiburan, tapi pengingat bahwa jalan pulang selalu ada, asal kita mau melangkah.