Hayuning Ratri Hapsari | Budi Prathama
Bendera Republik Indonesia. (Pixabay/@mufidpwt)
Budi Prathama

Setiap kali November datang, negeri ini kembali berbicara tentang pahlawan. Tentang mereka yang namanya dikenang, wajahnya terpampang di buku sejarah, dan kisah perjuangannya diulang setiap peringatan Hari Pahlawan. Tapi, di balik semua seremoni itu, muncul pertanyaan sederhana yang sering terlupakan: siapa yang benar-benar layak disebut pahlawan?

Tahun 2025 ini, Kementerian Sosial kembali mengusulkan 40 nama untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional. Nama-nama besar seperti mantan Presiden Soeharto, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga aktivis buruh Marsinah kembali mencuat ke permukaan. Masing-masing punya jejak panjang dalam sejarah bangsa, ada yang dikenang dengan hormat, ada pula yang membawa kontroversi.

Namun, setiap kali nama Soeharto muncul, perdebatan tak pernah reda. Sebagian pihak menolak keras jika mantan presiden kedua RI itu diberi gelar pahlawan. Bagi mereka, terlalu banyak luka yang ditinggalkan masa pemerintahannya: pelanggaran HAM, pembatasan kebebasan, hingga kekuasaan yang dijalankan dengan tangan besi. Memberi gelar pahlawan kepada sosok dengan catatan seperti itu, bagi banyak orang, terasa seperti membuka kembali luka lama bangsa ini.

Tak bisa disangkal, di bawah kepemimpinan Soeharto, pembangunan memang melesat. Tapi harga yang dibayar juga besar: kebebasan rakyat dibungkam, dan suara keadilan lama menghilang. Reformasi 1998 menjadi saksi bahwa rakyat akhirnya bangkit. Dua puluh tahun lebih telah berlalu, tapi keadilan bagi korban masa itu belum sepenuhnya terwujud. Di sinilah persoalan muncul, apakah gelar pahlawan bisa menutup luka sejarah?

Negara seharusnya berhati-hati. Gelar pahlawan bukan sekadar penghormatan; ia adalah simbol moral bangsa. Karena itu, penghargaan ini seharusnya hanya diberikan kepada mereka yang berjuang tulus, bukan mereka yang meninggalkan luka. Sebab pahlawan sejati tak diukur dari jabatan atau kekuasaan, melainkan dari keberanian untuk memperjuangkan kemanusiaan, bahkan ketika tak ada yang bertepuk tangan.

Guru: Pahlawan yang Tak Dikenal Kamera

Di luar hiruk-pikuk perdebatan tentang siapa yang pantas menyandang gelar pahlawan nasional, ada sosok-sosok yang setiap hari berjuang dalam diam. Mereka tidak pernah tampil di televisi, tidak disebut dalam berita, dan tidak menerima tanda jasa. Tapi tanpa mereka, masa depan bangsa ini akan gelap. Mereka adalah guru, pahlawan sejati yang tak membutuhkan gelar.

Setiap pagi, ada guru yang menempuh perjalanan berjam-jam melewati jalan setapak, sungai, bahkan bukit, hanya untuk memastikan murid-muridnya bisa belajar. Ada guru yang mengajar di kelas sederhana dengan dinding bambu dan papan tulis yang mulai mengelupas. Ada pula yang rela menggunakan gaji kecilnya untuk membeli alat tulis atau memperbaiki ruang kelas. Semua dilakukan tanpa keluhan, tanpa sorotan kamera, hanya karena mereka percaya bahwa pendidikan bisa mengubah hidup seseorang.

Namun, di balik dedikasi itu, banyak guru hidup dalam ketidakpastian. Gaji mereka sering kali jauh dari layak. Guru honorer dan guru madrasah masih harus menunggu kepastian status, bahkan turun ke jalan untuk menuntut keadilan. Ironisnya, di negeri yang selalu menyebut “guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa”, para pahlawan itu justru sering dilupakan.

Padahal, di tangan merekalah masa depan bangsa ini ditulis, huruf demi huruf, kalimat demi kalimat. Mereka tidak hanya mengajarkan pelajaran, tetapi juga menanamkan nilai kejujuran, empati, dan semangat pantang menyerah. Di ruang kelas kecil yang mungkin tak layak disebut sekolah, mereka sedang mencetak generasi yang kelak akan meneruskan perjuangan bangsa.

Jadi, ketika kita bertanya siapa yang layak disebut pahlawan, mungkin jawabannya tidak ada di gedung megah atau dalam daftar penghargaan negara. Jawabannya ada di ruang-ruang kelas sederhana, di tangan guru yang menulis masa depan bangsa dengan kapur putih di papan yang mulai pudar.

Negeri ini sebenarnya tidak kekurangan pahlawan. Kita hanya sering lupa menghargai mereka yang berjuang dalam diam. Guru mungkin tak punya gelar kehormatan, tapi di hati murid-muridnya, nama mereka akan selalu hidup, abadi, seperti cahaya kecil yang tak pernah padam.