Pasti kamu pernah tahu sebuah kasus bullying yang muncul di media sosial. Kasus seperti itu pastinya langsung ramai dibicarakan, namun kita akhirnya sadar jika kejadian tersebut sebenarnya sudah lama sebelum akhirnya viral.
Selalu ada pola yang sama. Korban sudah berkali-kali meminta bantuan, tapi nyatanya suara mereka tak didengar bahkan hilang karena banyak orang yang lebih mementingkan urusan sendiri.
Baru ketika fotonya tersebar atau bahkan pesan terakhir sebelum akhirnya ia nekat mengakhiri hidupnya muncul di timeline media sosial, publik langsung terkejut. Netizen marah, banyak media ikut menyorot kasus ini, dan barulah para pihak berwenang bergerak cepat.
Budaya Meremehkan yang Masih Ada di Sekitar Kita
Jika kita melihat ke belakang, banyak kasus bullying sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba. Selalu ada tanda-tanda kecil yang kerap kali diabaikan. Di sekolah, kampus, bahkan lingkungan kerja, laporan awal sering dianggap lebay atau hanya konflik biasa.
Masih ingat dengan kasus David Ozora yang dulu pernah viral? Dari sini kita bisa mengetahui bagaimana tindakan kekerasan yang serius justru sempat diremehkan, bahkan beberapa kejanggalan dalam proses penanganannya.
Di dunia pendidikan pun juga sama. Salah satu kasus yang pernah terjadi adalah PPDS UNDIP yang menambah panjang jajaran kasus perundungan oleh senior. Korban mengeluhkan tentang jam kerja yang tak manusiawi, mengalami tekanan psikologis, bahkan sampai intimidasi senior.
Di sini kita bisa melihat pola yang berulang: korban berteriak tapi lingkungan memilih bungkam bahkan menutup mata. Seakan-akan kita punya kebiasaan buruk untuk menunggu sesuatu menjadi parah dulu sebelum menanggapi.
Saat Tekanan Netizen Menjadi Pemicu Penegakan Aturan
Fenomena No Viral No Justice muncul bukan karena masyarakat yang terlalu berisik, tetapi ini muncul karena sistem yang terlalu lambat merespons.
Dalam kasus David, aparat baru mengambil langkah tegas ketika video penganiayaan menyebar luas. Konstruksi pasal pun berubah seiring tekanan publik, menunjukkan betapa kuatnya dorongan massa dalam menggerakkan proses hukum.
Hal serupa terjadi pada kasus PPDS UNDIP. Rekaman suara korban yang menyebar membuat publik akhirnya mengetahui betapa berat beban bullying dan eksploitasi yang ia terima. Baru setelah itu banyak pihak “turun tangan”.
Kita seperti menggantungkan keadilan pada seberapa cepat sebuah video viral. Bukan pada ketegasan mekanisme lembaga yang seharusnya bekerja sejak awal.
Suara Korban yang Sering Tidak Didengar
Setelah membaca dua kasus tersebut, ada satu hal yang membuat terasa sangat menyakitkan. Korban biasanya sudah meminta pertolongan.
Baik dalam kasus kekerasan yang dialami David maupun tekanan ekstrem yang dialami mahasiswa PPDS UNDIP, korban sebenarnya telah mengirim sinyal bahaya. Namun karena tidak dianggap mendesak, beban itu menumpuk tanpa arah keluar.
Dalam penelitian yang membahas tentang PPDS UNDIP, korban bahkan mencatat sendiri betapa dirinya tidak mampu lagi menahan tekanan fisik dan mental, namun tetap tidak mendapat perlindungan yang seharusnya menjadi hak dasarnya.
Ini menunjukkan bahwa masalah terbesar kita bukan hanya pelaku yang kejam, tetapi lingkungan yang gagal menjadi ruang aman.
Kita Tidak Boleh Menunggu Sorotan Netizen untuk Bertindak
Dari dua kasus tadi, kita bisa melihat satu kesimpulan sederhana: menunggu kasus viral berarti membiarkan korban terlambat diselamatkan. Sistem hukum, lembaga pendidikan, dan institusi publik seharusnya berfungsi sebagai garda terdepan, bukan pihak yang baru bergerak setelah ditekan warganet.
Kasus PPDS UNDIP memperlihatkan betapa fatalnya ketika keluhan tentang kelelahan ekstrem, perundungan, dan eksploitasi dianggap sebagai “bagian dari proses”.
Sementara kasus David memperlihatkan bahwa cara melihat pelaku dan korban yang tidak adil dapat memengaruhi cepat lambatnya proses penanganan.
Kita membutuhkan budaya baru yang percaya pada laporan awal, tidak meremehkan tanda bahaya, dan yang berani bertindak meskipun belum ramai di media sosial.
Penutup: Membangun Ruang Aman yang Tidak Bergantung pada Viralnya Kasus
Fenomena No Viral No Justice telah menyadarkan kita bahwa ada yang keliru dalam cara kita melindungi manusia.
Dua kasus yang sempat ramai yaitu kasus David yang mengalami kekerasan brutal dan mahasiswa PPDS UNDIP yang kehilangan hidupnya setelah tekanan panjang, hanyalah puncak gunung es.
Di bawahnya atau di luar kasus tadi, masih ada banyak korban lain yang kisahnya tak pernah sempat muncul di beranda kita, karena tidak ada rekaman, tidak ada bukti visual, atau tidak ada yang berani bersuara.
Korban seharusnya tidak perlu menunggu videonya ditonton jutaan orang agar ada yang peduli. Lingkungan pendidikan tidak boleh menunggu rekaman suara bocor dulu untuk sadar bahwa ada pelanggaran hak asasi manusia di dalamnya.
Ruang aman seharusnya hadir sejak awal. Tempat di mana keluhan didengarkan, laporan ditindaklanjuti tanpa menunda, dan orang-orang merasa dipercaya ketika mereka berkata bahwa ada sesuatu yang terasa tidak baik-baik saja.
Jika kita berhenti menunggu sesuatu viral dulu, keadilan bisa bekerja tanpa perlu disorot kamera atau dibahas ramai-ramai. Harapannya setelah itu korban-korban yang selama ini memilih diam akhirnya bisa percaya bahwa mereka tidak sendirian dan ada orang di luar sana yang mau mendengarkan mereka.
Baca Juga
-
Bukan Lagi Salah Korban: Saatnya Menuntaskan Akar Bullying
-
Safe Space: Mengapa Penting dan Bagaimana Kita Bisa Menjadi Ruang Aman
-
Komentar Negatif dan Cara Cerdas Menjaga Mental Tetap Stabil
-
Cyberbullying: Kenapa Dampaknya Nyata dan Bagaimana Kita Menghadapinya
-
Mengenal YOASOBI Lewat 5 Lagu Paling Populer Mereka
Artikel Terkait
-
Darurat Kekerasan Sekolah! DPRD DKI Pastikan Perda Anti Bullying Jadi Prioritas 2026
-
Taufiq LIDA Sentil Bupati di Aceh yang Nyerah Hadapi Bencana
-
Kesaksian Taufiq LIDA di Lokasi Bencana Aceh: Korban Lolos dari Maut, Kini Kelaparan
-
Perjuangan Taufiq LIDA Terjebak Longsor di Aceh, Lakukan Apa Saja Agar Selamat
-
Bukan Lagi Salah Korban: Saatnya Menuntaskan Akar Bullying
Kolom
-
6 Cara Menjaga Batasan agar Aman dari Cyberbullying, Sudah Lakukan?
-
Perempuan Hebat, Masyarakat Panik: Drama Abadi Norma Gender
-
Suara Pesisir yang Padam: Hak Perempuan Nelayan yang Masih Terabaikan
-
Mencari yang Dicintai di Antara Lumpur dan Air Mata
-
Cyberbullying Bisa Lebih Kejam daripada Bullying Biasa, Mengapa?
Terkini
-
Tegas, Iko Uwais Tepis Isu Pencitraan dalam Film Timur
-
Gantikan Marselino Ferdinan, Rifqi Ray Farandi Hadapi Tanggung Jawab Besar
-
Ketika Grup Chat Jadi "Medan Bullying": Bagaimana Cara Menghadapinya?
-
FIFA Puskas Award 2025, Rizky Ridho dan Kado Penawar Luka Barisan Pendukung Setia Skuat Garuda
-
Makin Menegangkan! Serial The Night Agent Season 3 Rilis Februari 2026