Hayuning Ratri Hapsari | e. kusuma .n
Ilustrasi pelaku bullying (Pexels/cottonbro studio)
e. kusuma .n

Ketika membahas bullying, fokus utama biasanya tertuju pada korban, mulai dari bagaimana mereka menderita, terluka, sampai potensi dampak jangka panjangnya. Semua itu dianggap wajib diperhatikan mengingat sorotan selalu mengarah pada korban.

Namun, ada sisi lain yang jarang tersentuh, tetapi sama pentingnya untuk dipahami, yaitu apa yang sebenarnya terjadi dalam diri pelaku bullying. Apakah mereka memang jahat? Atau ada proses psikologis yang lebih rumit di balik perilaku agresif yang muncul?

Melihat masalah ini dari sudut pandang psikologi bukan berarti membenarkan perbuatan pelaku. Justru, pemahaman yang tepat dapat membantu mencegah bullying dan menghentikan siklus yang terus berulang di sekolah, kampus, lingkungan kerja, hingga dunia digital.

Pelaku Bullying Tidak Selalu “Jahat”, Tapi Perilakunya Tetap Salah

Masyarakat sering memberi label keras pada pelaku bullying, seperti “penindas”, “tukang nyakitin”, “barbar”, atau “tanpa empati”.

Padahal, dalam kasus tertentu, pelaku tidak sepenuhnya memahami dampak dari perilakunya, atau bahkan tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah bullying.

Psikologi modern mengungkap bahwa banyak pelaku bullying sebenarnya sedang melampiaskan luka emosional, mengulang pola asuh yang salah, ingin terlihat kuat di depan kelompok, atau tidak punya cara lebih sehat untuk mengekspresikan frustrasi.

Dengan kata lain, pelaku tidak selalu jahat, tapi mereka membutuhkan bantuan dan intervensi yang tepat. Karena tanpa bantuan itu, perilaku agresif ini bisa terus berlanjut hingga dewasa seolah label “pembully” selalu melekat.

Sudut Pandang Psikologi Menjelaskan Alasan Pelaku Bullying Bisa Bertindak Agresif

Ada banyak faktor psikologis yang dapat memengaruhi perilaku seseorang hingga menjadi pelaku bullying. Berikut beberapa di antaranya yang paling sering terjadi.

1. Pola Asuh Otoriter dan Kekerasan Verbal

Anak atau remaja yang tumbuh dalam keluarga yang keras, penuh bentakan, hukuman fisik, atau minim kasih sayang, cenderung memandang agresivitas sebagai hal yang normal.

Mereka belajar bahwa siapa yang kuat akan dihormati, suara paling keras yang didengar, dan orang yang lemah pantas disalahkan. Pola asuh seperti ini membentuk “budaya” di rumah yang dibawa ke lingkungan sosial.

2. Insecurity yang Ditutup dengan Dominasi

Tidak semua pelaku bullying percaya diri. Justru banyak yang sangat rapuh di dalam, tapi menutupinya lewat perilaku agresif. Mereka menggunakan bullying untuk mengontrol situasi, mendapatkan pengakuan, atau mengalihkan perhatian dari kelemahannya.

Agresivitas seolah dijadikan "tameng" untuk melindungi ego yang rapuh yang bersumber dari rasa tidak percaya diri. Sayangnya, perilaku ini justru memicu lahirnya korban.

3. Tidak Punya Keterampilan Sosial yang Baik

Sebagian pelaku tidak tahu cara yang sehat untuk menyatakan kekesalan, menolak sesuatu, atau mengelola konflik. Akhirnya, mereka memilih cara paling cepat lewat intimidasi. Kurangnya keterampilan emosi ini juga membuat mereka mudah marah dan impulsif.

4. Lingkungan yang “Mendukung” Kekerasan

Budaya senioritas, pertemanan toksik, hingga sistem sekolah atau kantor yang permisif membuat bullying dianggap lucu, wajar, bahkan keren. Pelaku pun merasa aman karena teman-teman tertawa, guru atau atasan membiarkan, dan korban tidak melawan.

Ketika perilaku buruk tidak mendapat konsekuensi, pelaku akan terus mengulangnya. Pada akhirnya, label pembully semakin menetap dan dianggap normal.

5. Pernah Menjadi Korban

Ini yang jarang dibahas, tapi sebenarnya banyak pelaku bullying dulunya juga korban. Karena belum sembuh dari luka masa lalu, mereka mengulang pola itu pada orang lain sebagai bentuk reaksi bertahan atau balas dendam sosial.

Meski tidak membenarkan tindakan tersebut, tapi hal ini menunjukkan bahwa bullying sering merupakan siklus, bukan kejadian yang berdiri sendiri.

Dampak Psikologis pada Pelaku: Mereka Juga Terluka, Hanya Berbeda Bentuknya

Di balik perilaku agresif yang ditunjukkan, pelaku bullying juga berisiko mengalami berbagai masalah psikologis. Ada potensi gangguan emosi, ketergantungan pada validasi eksternal, kesulitan membangun hubungan sehat, kecenderungan antisosial, kesulitan empati, hingga masalah perilaku saat dewasa

Tanpa intervensi, pelaku bisa tumbuh dengan pola kekerasan yang lebih besar, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah, pekerjaan, dan relasi romantis.

Di sinilah pentingnya menggali dari sudut pandang psikologis, bukan hanya pada korban tapi juga pelaku. Melalui dukungan sosial, terutama dengan melibatkan keluarga untuk memperbaiki pola asuh.

Di sisi lain, pelaku juga harus diajarkan soal batasan yang tegas kalau perilakunya salah dan menuntut konsekuensi. Role play dari konseling profesional juga akan membantu mereka memahami dampak emosional dari tindakan mereka yang sebenarnya salah.

Pelaku Bullying: Memahami untuk Mencegah, Bukan untuk Membenarkan

Melihat pelaku dari perspektif psikologi tidak berarti membela mereka. Justru, pemahaman ini penting agar kita bisa memutus rantai bullying. Karena faktanya, tidak semua pelaku jahat. Banyak dari mereka hanyalah “produk” dari luka yang tidak pernah disembuhkan.

Meski begitu, penting untuk ditegaskan kalau perilaku bullying tetap salah dan harus dihentikan. Dengan memulihkan korban sekaligus membina pelaku, lingkungan sosial kita, baik sekolah, kampus, maupun kantor, bisa menjadi tempat yang lebih aman dan manusiawi.