Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Mohammad Maulana Iqbal
Stigma (Pexels/Keira Burton)

Stigma adalah taraf tertinggi dalam sebuah pengucilan sosial, yang di bawahnya masih ada stereotipe dan prasangka sosial. Prasangka sosial masih bisa ditolerir karena ada prasangka yang positif. Stereotip lumayan perlu dihindari karena dominan negatif. Nah, yang stigma ini yang seratus persen negatif yang bener-bener harus kita hindari.

Pasalnya, melalui stigma ini sudah bisa melangkah jauh menjadi diskriminasi pada kelompok tertentu yang terstigmatisasi. Tentu ini sangat mengganggu stabilitas masyarakat, menggagu keharmonisan sosial, khususnya bagi masyarakat seperti Indonesia yang hari-hari berita konflik sudah jadi makanan pokok.

Saya menukil dari seorang sosiolog Amerika, Erving Goffman namanya, melalui buku terkenalnya “Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity.” Melalui karya itu, jika disampaikan secara sederhana stigma merupakan wujud pengurangan identitas sosial, menganggap buruk seseorang, bahkan mendiskualifikasi orang tersebut dari lingkungan sosial sekitarnya. Intinya mereka yang terstigma adalah mereka yang terkucilkan dari dunianya.

Lantas ada apa saja bentuk stigma? Goffman menjelaskan sekurang-kurangnya ada tiga bentuk stigma, yang tentu saja tiga-tiganya wajib kita hindari.

1. Abominations of the Body

Pertama adalah stigma yang dilatarbelakang karena kelainan fisik pada seseorang. Misalnya nih, kita melakukan pengucilan pada orang yang jarinya hanya sembilan, pada orang yang tuna rungu, tuna wicara, atau barang kali pada orang yang kulitnya mirip albino dan lain semacamnya. Intinya stigma ini lebih melihat pada kekurangan dalam tubuh seseorang.

2. Blemishes of Individual Character

Berbeda dengan sebelumnya yang lebih melihat fisik, kali ini stigmanya lebih melihat ke karakter seseorang yang buruk. Misalnya aja nih, ada orang yang pecandu narkoba, gangguan mental, homoseksual, pembunuh, pemabuk dan lain sebagainya. Stigma ini lebih pada persoalan tindakan individu yang dianggap negatif oleh masyarakat.

3. Tribal Stigma

Terakhir, dan paling cukup krusial adalah tribal stigma. Nah, untuk kali ini orang melakukan stigma lebih karena identitas seseorang. Mulai dari suku, ras, kebangsaan bahkan agama menjadi identitas yang bisa menimbulkan stigma karena dianggap rendah. Dan, stigma semacam inilah yang sering terjadi di negeri kita, seperti kita menganggap rendah suku tertentu, menganggap buruk agama tertentu dan lain sebagainya.

Berbagai stigma tersebut, kalau kata Goffman erat kaitannya dengan apa yang disebutnya sebagai the normals (kenormalan). Istilah ini digunakannya untuk merujuk pada mereka yang tidak mendapatkan stigma-stigma negatif, atau mereka yang dianggap “normal”, dalam batas kenormalan suatu masyarakat.

Jadi, hanya orang-orang yang dianggap tidak normal saja yang akan mendapatkan stigma. Karena mereka dianggap tidak mencapai batas-batas kenormalan versi masyarakat. Padahal, kalau ditelisik, tidak ada standar yang paten untuk sebuah kenormalan, dan tidak ada alasan kita untuk mengucilkan seseorang. Mereka yang terstigma juga manusia, yang harus dirangkul, hidup bersama tanpa membeda-bedakannya. Apa hak kita mengucilkan seseorang selaku sama-sama manusia?

Setelah mengetahui tentang beberapa bentuk stigma, saatnya untuk merefleksikan diri. Apakah selama kita hidup pernah melakukan pengucilan sosial kepada orang tertentu karena fisiknya yang berbeda, karena karakternya yang dianggap buruk atau bahkan karena identitas ras, agama dan etnisnya? Pernah kah terbesit dalam benak kita tentang hal-hal buruk ketika bertemu dengan orang yang demikian? Jika iya, sudah saatnya kita menyadari dan menyudahi stigma-stigma yang tanpa sadar telah kita lakukan.

Mohammad Maulana Iqbal