Hayuning Ratri Hapsari | Thedora Telaubun
Ilustrasi seorang perempuan menyentuh mikrofon (Pexels/Kaboompics.com)
Thedora Telaubun

Gen Z dikenal sebagai generasi yang akrab dengan dunia digital, keakraban ini juga terbawa sampai pada pola tidur mereka. Tidur sering jadi misi harian yang tertunda daripada aktivitas membeli kopi. 

Banyak anak muda yang sering kurang tidur dengan berbagai alasan: mengejar deadline, scrolling media sosial, atau kebiasaan overthinking. Hal ini membuat sebagian besar dari mereka sulit untuk tidur secara nyaman dan lelap. Tak heran, insomnia jadi masalah umum yang seolah sudah “melekat” pada gaya hidup mereka.

ASMR: Tren yang Menenangkan

ASMR (Autonomous Sensory Meridian Response) awalnya muncul sebagai tren YouTube, lalu menyebar ke TikTok hingga Spotify.

Konten ini menghadirkan suara-suara halus seperti bisikan, ketukan, atau bunyi sederhana yang memberi sensasi tenang dan nyaman pada pendengarnya. Bagi sebagian orang, pengalaman itu membuat tubuh lebih rileks, pikiran tenang, dan akhirnya lebih mudah terlelap. 

Ketika ada banyak hal yang perlu dipikirkan, ASMR hadir sebagai penenang sederhana yang nggak ribet. Tinggal buka YouTube atau TikTok, pasang headset, dan biarkan suara-suara kecil itu menenangkan pikiran. 

Dalam buku berjudul Brain Tingles: The Secret to Triggering Autonomous Sensory Meridian Respons yang ditulis oleh Craig Richard, ASMR bisa menjadi distraktor efektif dari pikiran obsesif. Artinya, video ASMR bukan sekadar tren, tapi memang punya peran nyata dalam membantu tidur lebih cepat.

Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kebiasaan ini bisa membuat orang semakin bergantung pada gawai setiap kali ingin tidur. Jika tidak diimbangi dengan pola hidup sehat, ritual ini bisa menjadi pisau bermata dua: memberi kenyamanan sesaat, tapi menyimpan risiko jangka panjang.

Jenis-Jenis ASMR yang Populer

Konten ASMR punya banyak variasi, dan setiap orang biasanya punya “favorit” masing-masing. Ada yang suka bisikan pelan yang terdengar seolah-olah sedang diajak ngobrol langsung. Ada juga yang lebih nyaman dengan suara ketukan kuku di meja, gesekan sikat, suara hujan,  atau kertas dibalik. 

Beberapa penikmat ASMR justru memilih suara orang makan atau menyeruput minuman, yang meski terdengar aneh, bisa bikin rileks bagi sebagian orang. 

Bahkan, ada juga roleplay seperti dokter pura-pura memeriksa pasien atau sebagai MUA di sebuah salon kecantikan. Semua itu jadi bagian dari “menu tidur” Gen Z sebelum akhirnya terlelap.

Era Serba Online dan Budaya Tidur Digital

Fenomena ASMR hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana era digital mengubah kebiasaan sehari-hari, termasuk pola tidur.

Tidur kini tak lagi sekadar memejamkan mata di ruang gelap, melainkan menjadi sebuah budaya digital di mana konten ikut mengatur keseharian. Gen Z pun tumbuh dengan kesadaran bahwa bahkan waktu istirahat bisa dikurasi dan dipengaruhi oleh teknologi.

Sensasi yang muncul dalam video ASMR terasa personal, seolah ada orang lain yang sedang menemani, dan itu memberi rasa aman. Mungkin hal ini menjadi alasan mengapa menonton ASMR cepat banget jadi kebiasaan favorit anak muda.

Kebiasaan Gen Z melawan insomnia dengan ASMR menunjukkan betapa eratnya hubungan mereka dengan teknologi. Meski bisa jadi solusi praktis, perlu diingat bahwa tidur sehat tidak semestinya bergantung sepenuhnya pada layar dan suara buatan. 

Dunia digital yang bising menjadikan tidur sebagai tantangan, kita sulit menemukan hening alami agar tubuh benar-benar beristirahat. Sebab yang kita butuhkan mungkin bukan lagi suara-suara buatan, melainkan keberanian untuk mematikan layar dan kembali pada senyap yang tulus.