Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | adhityajepe
Balanced scorecard

Akhir-akhir ini tren untuk menjadi pengusaha sudah menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Banyak sekali usaha-usaha, baik usaha offline maupun online, yang meramaikan perekonomian Indonesia. Seperti usaha jual beli online yang dipasarkan secara kreatif di Instagram, ataupun usaha coffe shop yang mulai menjamur hampir di setiap sudut kota Jakarta. Usaha-usaha tersebut adalah usaha yang masih tergolong dalam usaha mikro, kecil dan menangah atau yang biasa kita sebut sebagai UMKM.

Berdasarkan data Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menangah (UMKM) dan Usaha Besar (UB) tahun 2012 sampai dengan tahun 2017 yang diperoleh dari Kementerian Koperasi dan UKM, diketahui bahwa terdapat perkembangan yang signifikan terkait jumlah UMKM. Data tahun 2012 menyatakan bahwa jumlah UMKM yang didirikan sekitar 55.206.444 unit usaha. Meningkat sebanyak 13,98 persen pada tahun 2017 menjadi 62.922.617.

Namun jangan salah, usaha kecil ini memiliki konstribusi yang amat besar terhadap perekonomian Indonesia secara marko. Masih dengan sumber data yang sama, diketahui pada tahun 2017 jumlah UMKM mendominasi pangsa pasar perekonomian Indonesia. Secara presentase jumlah unit, UMKM mendominasi dengan 99,99 persen dibandingkan dengan usaha besar yang hanya 0,01 persen (5.400 unit usaha).

Secara tingkat penyerapan tenaga kerja pun UMKM masih mendominasi. UMKM menyerap sebanyak 97 persen (Rp116,6 juta) tenaga kerja nasional, sementara Usaha Besar hanya menyerap sekitar 3 persen (Rp3,5 juta) tenaga kerja nasional.

Tentunya keberlangsungan usaha UMKM ini harus tetap terjaga, mengingat besarnya kontribusi mereka terhadap perekonomian Indonesia. Jangan sampai usaha mereka berhenti di tengah jalan karena persoalan-persoalan yang tidak mampu mereka hadapi. Salah satunya adalah persoalan persaingan. Persaingan yang semakin ketat menuntut UMKM untuk semakin produktif dan inovatif. Oleh karena itu, UMKM perlu ditunjang dengan sistem pengukuran kinerja yang efektif yang memberikan informasi tepat untuk melakukan continious improvement.

Balanced Scorecard (BSC) atau Kartu Skor Berimbang hadir untuk menjawab tantangan tersebut. Menyatakan bahwa pengukuran kinerja tidak hanya dilakukan atas persfektif keuangan saja, yang biasa digambarkan dengan pendapatan dalam laporan keuangan, tetapi juga diperlukan evaluasi atas persfektif non keuangan yang memberikan dampak terhadap tingkat pendapatan perusahaan.

Balanced Scorecard, Sebuah Metode Pengukuran Kinerja

Balanced scorecard atau biasa disingkat dengan BSC pertama kali diperkenalkan pada tahun 1992 oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton melalui paper yang berjudul The Balanced Scorecard – Measures That Drive Performance. BSC digunakan untuk melakukan pengukuran dan penilaian kinerja perusahaan dengan mengukur empat perspektif yang saling terkait dan memberikan dampak sebab akibat, yaitu: financial, customer, internal business process dan learning and growth. Tiga presfektif terkahir dikategorikan sebagai presfektif non keuangan. Ke empat presfektif membentuk suatu hierarchy dengan menempatkan persfektif financial sebagai tujuan utama dan learning and growth sebagai fondasi.

Penerapan Balanced Scorecard dalam formulasi strategi UMKM

1. Menentukan Visi dan Misi Perusahaan

Penerapan BSC mula-mula dilakukan dengan menentukan visi dan misi perusahaan. Visi merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh perusahaan. Misi adalah bentuk konkret visi untuk mencapai tujuan perusahaan. Maka dari itu perusahaan UMKM harus bisa menentukan visi dan misi perusahaan. Kebanyakan perusahaan UMKM mendirikan usaha tanpa dibekali visi dan misi. Padahal visi dan misi ini penting sebagai pondasi keberlangsungan suatu usaha.

2. Menentukan Tujuan Strategis dan Analisa Keterkaitan serta Hubungan Sebab Akibat

Selanjutnya adalah menentukan tujuan strategis dari keempat persfektif BSC yang digambarkan dengan strategy map. Visi dan misi perusahaan diterjemahkan menjadi kegiatan operasional melalui tujuan strategis. Tujuan strategis tersebut saling berhubungan dan memberikan dampak sebab akibat.

Sebagai contoh, tujuan strategis dalam persfektif financial adalah peningkatan pendapatan. Ketercapaiaan tujuan strategis financial bergantung pada ketercapaian tujuan strategis persfektif lain secara bertahap. Dimulai dengan tujuan strategis pada learning and growth sampai dengan tujuan strategis customer.

Contoh tujuan strategi learning and growth yaitu tingkat pendidikan pegawai, Internal Business Proses yaitu pengembangan produk baru, dan Customer yaitu kepuasan pelanggan. Ketercapaian tujuan strategis tersebut menghasilan peningkatan pendapatan.

3. Analisa Pengukuran Kinerja Berdasarkan Data-data yang Telah Dikumpulkan.

Setiap tujuan strategis keempat perspektif harus dipertegas bagaimana cara mengukurnya. Cara mengukur tujuan strategis adalah dengan menggunakan ukuran strategis. Ukuran strategis bergantung pada tujuan strategis apa yang diukur. Sebagai contoh tujuan strategis peningkatan pendapatan, ukuran strategisnya adalah omzet tiap bulan. Kepuasan pelanggan, ukuran strategisnya adalah tingkat kepuasan pelayanan dan seterusnya.

4. Menyusun Target Tujuan Strategis dan Evaluasi Kinerja

Target tujuan strategis sebagai acuan keberhasilan pencapaian tujuan. Keberhasilan suatu tujuan strategis dilakukan dengan membandingkan target dengan realisasinya. Sebagai contoh, perusahaan menetapkan peningkatan omzet tiap bulan sebesar 10 persen. Ketika realisasi diatas 10 persen maka tujuan strategis yang ditetapkan telah tercapai. Sebaliknya ketika dibawah 10 persen, tujuan strategis yang ditetapkan tidak tercapai.

5. Perbaikan Berkelanjutan

Perbaikan dilakukan terhadap tujuan strategis yang tidak tercapai. Tindakan korektif apa yang harus dilakukan perusahaan dalam menghadapi ketidaktercapaian tersebut. Sebagai contoh, ketika perusahaan dihadapkan pada realisasi target omzet dibawah 10 persen.

Perusahaan melakukan tindakan korektif untuk lebih memasarkan produk yang dijualnya atau mencari wilayah geografis yang sebelumnya belum terjamah oleh produk yang dijualnya. Ketika pelanggan merasa tidak puas atas produk yang dijual, perusahaan dapat mengembangkan produk baru sesuai dengan permintaan pelanggan.

Ketika proses produksi menghasilkan barang yang kurang berkualitas, perusahaan memberikan pelatihan kepada para pegawai agar bekerja lebih baik lagi. Pada intinya kegiatan korektif tersebut bertujuan agar tujuan strategis keempat persfektif dapat tercapai, dapat seimbang.  Sehingga keberlangsungan perusahaan akan terus terjaga dan mampu menghadapai persaingan kompetitor.

Sebagai kesimpulan, BSC menawarkan pengukuran kinerja yang efektif yang membuat perusahaan UMKM menjadi lebih solutif, produktif dan inovatif dalam menghadapi dunia usaha yang penuh persaingan. Implementasi BSC pada perusahaan UMKM dapat membantu perusahaan untuk lebih proaktif dalam menghadapi kekurangan yang ada. Memberikan kemudahaan bagi perusahaan untuk merumuskan strategi terbaik demi tercapainya tujuan perusahaan.

Tidak ada salahnya bagi pengusaha UMKM untuk mempelajari bahkan menerapkan metode BSC. Penerapannya tidak terlepas dari apakah usahanya baru dimulai maupun yang telah lama dijalankan. Keberlangsungan suatu usaha sangat bergantung pada kemampuan manajerial para pengusahanya. BSC hadir untuk membantu pengusaha dalam mengukur kinerja perusaahan sehingga dapat membuat keputusan terbaik dalam kondisi persaingan usaha yang ketat.

Untuk pembelajaran BSC lebih lanjut bisa langsung masuk ke situs balancedscorecard.org

Oleh: Adhitya Jati Purwaka/Mahasiswa Diploma IV PKN STAN

adhityajepe