Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Jibril Bachtiar
Bupati di daerah Blitar abad 19 (dok. istimewa)

Masyarakat Jawa identik dengan etiket kesopanan yang telah menjelma dalam tradisi keseharian mereka. Salah satu hal yang dapat kita amati dari orang Jawa adalah kemampuan untuk memperkatakan atau menyampaikan hal-hal yang dirasa tidak enak secara tidak langsung dengan menjunjung tinggi keberadaban. Sebelum itu yang dimaksud orang Jawa disini merujuk pada masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah, dengan implikasi bahwa bahasa ibu yang digunakan adalah bahasa Jawa.

Dalam budaya Jawa sering kali orang tidak perlu mengutarakan maksud pembicaran yang sebenarnya secara langsung untuk menghindari kekecewaan lawan bicara. Maka munculah teknik maupun kebiasaan dalam Orang Jawa untuk berpura-pura atau dalam bahasa Jawa disebut dengan ethok-ethok.

Menurut Suseno (1984) éthok-éthok adalah suatu seni yang tinggi dan dinilai positif dengan tidak memperlihatkan perasaan yang sebenarnya terutama terhadap bentuk perasaan negatif. Sebagai contoh, meskipun seseorang sedang dilanda kesedihan yang teramat pedih, seseorang diharakan untuk tetap tersenyum sebagai anggapan bahwa dia sedang merasa bahagia meskipun bertolak belakang dengan apa yang sedang dirasakannya.

Pada kasus yang lebih kompleks keterusterangan bukanlah suatu bentuk kebajikan, dan pada saat seseorang sampai pada pokok pembicaraan setiap orang harus mulai berhati-hati terhadap apa yang akan dibicarakanya.

Keluarga keraton Surakarta

Mengambil contoh yang dipaparkan Geertz dalam bukunya The Religion Of Java tentang permasalahan rumah tangga. Suatu hari sang suami tiba-tiba menemukan kartu pos di rumah bertuliskan, “Saya sudah tidak tahan lagi di sini, jika suamiku tidak mau pindah, lebih baik aku kembali ke orang tuaku”. Kemudian sang suami marah pada semua orang. Pertama dia pergi ke istrinya dan bertanya: "Apakah kamu menulis ini?" Tidak, katanya, itu bukan tulisannya.

Kemudian dia menuduh adik perempuannya, yang juga membantahnya. Karena orang tua tidak bisa menulis, mereka akhirnya berhenti mempertanyakannya. Dia pikir itu mungkin ditulis oleh seseorang yang bukan anggota rumah tangganya yang ingin membuat permasalahan. Hingga tidak ada tindak lanjut yang dilakukan oleh sang suami, dan setelah beberapa saat segalanya menjadi tenang kembali. Keesokannya suami menemukan kembali kartu pos lain seperti yang pertama, dan lagi-lagi terjadi pertengkaran.

Dia mengumpulkan keluarga dan bertanya satu per satu tentang hal tersebut, tetapi tidak ada hasil. Lima kali kartu pos itu muncul, akhirnya sang suami pergi mencari rumah sendiri, dan setelah dia pindah segalanya menjadi damai kembali. Sekarang semua keadaan di rumah tersebut kembali seperti biasa dan baik-baik saja, tetapi belum ada yang mengaku telah menulis surat tersebut.

Ketika mengatakan kebohongan dengan tujuan untuk menjaga perasaan, seseorang harus membenarkan untuk dirinya sendiri, meskipun dengan argumen yang lemah. Misalkan seseorang memberitahu bahwa wanita tersebut terlihat cantik dengan menggunakan riasan tetapi kenyataanya wanita tersebut terlihat mengerikan saat memakai riasan tersebut, tetapi terpakasa untuk mengatakan bahwa wanita itu terlihat cantik karena dianggap tidak sopan untuk tidak melakukannya.

Jika seseorang melihat kita dalam perjalanan ke kantor urusan agama dimana kita telah berstatus menikah, kita mungkin berkata kita akan pergi ke bank karena kita tidak ingin mengiklankan masalah kita atau meminta orang lain mencampuri urusan kita. Bagaimanapun itu maka biasanya dibuatlah semacam alasan-alasan untuk berbohong.

Jenis pola yang sama terlihat dalam cara orang Jawa berpura-pura untuk tidak pernah menunjukkan perasaan nyata seseorang secara langsung, terutama kepada seorang tamu. Segala jenis perasaan serta perilaku negatif terhadap orang lain harus disamarkan dan orang-orang sangat dianjurkan untuk tersenyum dan bersikap ramah kepada orang-orang yang jarang sekali mereka temui ataupun mereka kenali.

Perasaan positif yang kuat juga seharusnya disembunyikan kecuali dalam situasi yang sangat intim. Demikian pula, seseorang harus memanggil pejalan kaki yang dikenalnya dan mengundangnya untuk mampir, meskipun dia mungkin orang terakhir di dunia yang ingin kita temui.

Seseorang harus menolak makanan (kecuali tuan rumah tetap mempersilahkannya) bahkan jika dia sekarat karena kelaparan, (dan tuan rumah harus tetap menawarkannya bahkan jika hal itu nantinya akan menjadi masalah besar untuk mempersiapkannya dan dia berharap tamu itu untuk pergi dan meninggalkannya sendirian).

Melihat kebiasaan ini dapat digambarkan mengenai bagaimana orang Jawa  berperilaku dalam kehidupannya masih menggunakan nilai-nilai falsafi dari bagaimana etika yang benar menjadi seorang Jawa.

Semua permasalahan diselesaikannya dengan cara yang dianggap tidak merugikan orang lain, dan meskipun nantinya akan tetap merugikan orang lain mereka memodifikasi cara penyampaiannya dengan cara yang cenderung halus. Maka sebagaimana upaya filsafat dalam memperbanyak paradoks, masyarakat Jawa menerapkan hal tersebut dalam lingkungan sosialnya dengan cara berpura-pura (éthok-éthok).

Rujukan:

  • Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
  • Magnis-Suseno, F. 1984. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia.

Jibril Bachtiar