Ayam potong (Brolier Chick) menjadi salah satu komoditi pangan yang tidak pernah terkesampingkan dalam sajian meja makan, sehingga kebutuhan akan permintaan pasokan daging unggas berkaki dua itu setiap harinya tidak pernah sepi permintaan.
Konsumsi daging ayam di Indonesia memang tergolong tinggi setiap tahunnya, bahkan melampaui permintaan daging sapi.
Namun meningkatnya permintaan setiap bulan pada utamanya tidak selalu diikuti kemampuan suplai produksi dari peternak plasma (kemitraan) denganjumlah populasi terbatas.
Sehingga peternak plasma sulit menyamai kemampuan perusahaan kandang Integrator (close house) yang bisa memelihara Brolier dengan jumlah puluhan ribu ekor.
Atas jomplangnya angka kemampuan pemeliharaan antara peternak kecil dengan kandang integrator membuat peta persaingan semakin tidak seimbang.
Turiman, (55) salah seorang peternak ayam asal Purbalingga Jawa Tengah turut merasakan kondisi serupa. Ia mengaku sejak datangnya wabah Pandemi Covid-19 banyak peternak jenis kemitraan sepertinya mengalami kesulitan, bahkan ada yang terpaksa menutup kandang.
"Saat ini, bagi peternak kelas menengah, kesulitan paling dirasakan salah satunya adalah soal berhentinya kerjasama dengan produsen pemasok," Ungkapnya
Pemberhentian kerjasama itu diakui karena faktor semakin melonjaknya harga bibit setiap bulannya imbas pandemi Covid-19 yang turut melanda dunia peternakan, sehingga membuat produsen enggan mengisi kandang mitra.
Ditambah tren perusahaan yang kini lebih memilih mendirikan kandang sendiri dengan skala besar menjadi penyebab lain.
Menurutnya, keadaan ini membuat peternak yang hanya bergantung pada penghasilan sistem kemitraan semakin ciut harapan menuai penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Alhasil menjadi alarm merah dunia peternakan kemitraan, sehingga pada intinya, peternak sendiri yang harus memutar otak guna menghidupi lampu kandang," ujar Turiman saat ditemui, Sabtu (12/12) sore kemarin
Atas dasar itu, sosok yang juga merupakan Guru Sekolah Dasar (SD) tersebut memilih melanjutkan usaha ternak broiler dengan sistem mandiri.
Sementara peternak lain yakni Wagimin (37) yang mengalami kesulitan serupa juga banting haluan dalam usahanya. Dia memilih menjadi petani jamur tiram.
Kata Wagimin, awal mula meredupnya usaha ternak ayam miliknya sama seperti kejadian yang dialami Turiman, yakni dikarenakan berhentinya jalinan kemitraan dengan produsen.
Hal itu membuatnya semakin tercekik keadaan sehingga dirinya harus melompat arah dengan memanfaatkan kekosongan kandang untuk menyemai jamur tiram.
Dirinya mengaku melihat potensi bertani jamur akan cukup mengiurkan,karena di desa tempat tinggal masih jarang produsen jamur.
Sehingga ia berharap dengan perubahan itu mampu membawa dampak perubahan ekonomi menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu.
Baca Juga
Artikel Terkait
News
-
See To Wear 2024 Guncang Industri Fashion Lokal, Suguhkan Pengalaman Berbeda
-
Harumkan Indonesia! The Saint Angela Choir Bandung Juara Dunia World Choral Championship 2024
-
Usaha Pandam Adiwastra Janaloka Menjaga, Mengenalkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Kampanyekan Gapapa Pakai Bekas, Bersaling Silang Ramaikan Pasar Wiguna
-
Sri Mulyani Naikkan PPN Menjadi 12%, Pengusaha Kritisi Kebijakan
Terkini
-
Ilusi Uang Cepat: Judi Online dan Realitas yang Menghancurkan
-
Dukungan Jokowi dalam Pilkada Jakarta: Apa yang Bisa Kita Pelajari?
-
Curi Perhatian! Ini Reaksi Pelatih PSBS Biak usai Strikernya Dipanggil Timnas Indonesia
-
Psikologi Feminisme di Buku Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan
-
Tak Turunkan Skuad Terbaik, Bisakah Timnas Indonesia Unjuk Gigi di Piala AFF 2024?