Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Gayuh Ilham
Ilustrasi korupsi. (Shutterstock)

Polah Korup Mentri Sosial (Mensos) Juliari Baturabara yang tanpa ampun membabat dana jatah bantuan sosial (Bansos) Covid-19 masih menandakan tali kasih erat antara tradisi korupsi di lingkungan pejabat elite negeri ini masih ‘mulus berjalan’.

Sebelumnya, tidak hanya Mentri Sosial yang tega melakukan hal keji semacam itu. Di tahun 2018, Menpora Imran Nahrawi juga di ciduk KPK dengan kasus suap bantuan pemerintah berwujud proposal dana ghibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Sementara, berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang Semester 1 tahun 2020 ini, imbas tsunami korupsi yang makin sering terjadi menimbulkan dampak kerugian negara tak sedikit. Nominal yang raib percuma akibat korupsi terhimpun sebanyak 39,2 Triliun.

Kerugian materi menjadi dampak sebab akibat perilaku korupsi yang sangat merugikan. Bayangkan saja ketika rakyat sedang mengalami krisi ekonomi dan butuh ulur tangan ikhlas pemerintah untuk menyambung hidup, malah diberikan seutas harapan menyakitkan.

Elit politik yang didambakan punya segudang ilmu sebagai akademisi kelas wahid tidak serta merta memiliki keniatan baik dalam menyalurkan ilmunya untuk membangun kualitas bangsa dan menjunjung tingkat kesejahteraan rakyatnya justru berbalik demikian.

Nyatanya Korupsi tidak hanya menjadi aib, namun berbagai kasus korupsi besar maupun kecil juga jadi simbol merah akan rendahnya kesadaran jajaran mengenai kesadaran dan  melek antikorupsi.

Teruntuk menyikapi ketimpangan akibat perilaku korupsi dimana-mana, sudah menjadi kewajiban untuk menghadirkan upaya pemberantasan dari segala aspek penjuru kehidupan, termasuk implementasi pendidikan anti korupsi di lingkungan sekolah.

Implementasi Pendidikan Antikorupsi di Sekolah

Sekolah menjadi sasaran tepat implementasi pendidikan antikorupsi. Pasalnya, dunia sekolah menjadi bibit awal dalam menentukan karakter penerus bangsa yang didasarkan bagaimana pola asuh dan tempaan didikan sesuai dengan amanah Pancasila, termasuk upaya menanamkan kesadaran antikorupsi sejak dini.

Tujuan pendidikan antikorupsi secara umum adalah pembentukan pemahaman dan pengetahuan terkait bentuk korupsi, sikap terhadap korupsi, serta usaha menunjukan cara supaya terhindar dari perilaku korupsi.

Diketahui, hakikat Pendidikan Antikorupsi bertujuan untuk menumbuhkan dan membangun kepedulian warga negara tentang dampak bahaya apabila berkecimpung di pusaran korupsi.

Permendiknas  No.22-23  Tahun 2006 pun telah menyatakan bahwa urgensi pendidikan antikorupsi sejatinya sudah mengakar menjadi bagian dari kurikulum Pendidikan Nasional di Indonesia.

Proses pembelajaran yang harus didiapatkan siswa haruslah mampu memberi makna bahwa siswa adalah warga negara yang memiliki kewajiban turu serta membangun kemajuan bangsa melalui upaya pemberantasan korupsi sampai ke akar.

Pembelajaran Tertuju Pada Pengembangan Karakter

Mengacu kepada tujuan antikorupsi, pendidikan antikorupsi haruslah memuat desain materi ekspilisit sesuai kaidah kebutuhan dalam mendirikan jiwa yang sadar akan pentingnya mengetahui dan memahami antikorupsi.

Pengaplikasian nilai inti berupa sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, mandiri, adil,peduli, dan bermartabat menjadi keniscayaan agar cita-cita mewujudkan sekolah sebagai lingkungan belajar yang memiliki budaya integritas antikorupsi tidak menjadi dambaan semata.

Dengan metode seperti ini, siswa bisa merasa bahwa dirinya punya amanah langsung dalam prosesnya memerangi tindak korupsi, sehingga anggapan bahwa korupsi hanya berlaku di dunia perpolitikan bisa dirubah perlahan.

Hingga untuk itu, antikorupsi yang  menghendaki  perubahan perilaku buruk menjadi baik, perlu diwujudkan pola dan strategi merubah sikap agar sesuai dengan nilai dasar antikorupsi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran sebagai bagian dalam pendidikan karakter bisa terwujud.

Langkah Nyata Diperlukan

Guna menunjang suksesnya implmentasi nilai-nilai antikorupsi di sekolah, siswa haruslah diajak untuk langsung memiliki partisipasi nyata agar merasa punya kewajiban menjunjung tinggi budaya antikorupsi.

Guru dalam membimbing bisa membimbing siswa untuk menentukan ‘jalan hidup’ perilakunya. Maka guru harus mampu memberikan bimbingan, pembekalan pengetahuan tentang hak, kewajiban, serta konskuensi yang akan dipilih.

Jika siswa mempunyai tekad kuat terhadap ilihannya, mereka diharuskan mantap memilih antara jawaban “Ya atau Tidak”. Sementara ketika siswa mengalami kebingugan dalam menentukan pilihan, guru diharapkan bisa membimbing dan memberikan pilihan terbaik sesuai kebutuhan siswa tersebut.

Di dalam sekolah, hal itu bisa dicontohkan dalam hal proses ketika siswa memiliki banyak opsi untum memperoleh nilai memuaskan banyak cara yang bisa siswa lakukan. Hal itu bisa menjadi acuan siswa dalam upaya memperoleh nilai baik dengan cara yang halal maupun tercela.

Kemudian melibatkan siswa dalam kegiatan di sekolah dan masyarakat di lain sisi perlu diwujudkan. Keterlibatan siswa dalam aktifitas sosial akan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap sesama, sikap saling menghargai satu sama lain dalam upaya menjalin kebersamaan dan tanggung jawab hidup.

Meski sederhana, hal senada di atas bukan lain mampu menumbuhkan sikap bertanggung jawab akan bagaimana titah menjalani kehidupan bersama yang bisa mengurangi sikap egoisme dalam diri. Karena benih korupsi awalnya berasal dari sikap egois yang menjalar parah dalam diri koruptor.

Dengan demikian, pembelajaran antikorupsi di sekolah dengan aspek suntikan moral karakter untuk membangun harmoni pengetahuan antikorupsi sangat memiliki makna.

Ditambah proses pembelajaran langsung yang memberikan hak kepada siswa untuk mengarahkan diri dalam aktivitas belajar memeproleh nilai yang syarat akan pengetahuan antikorupsi dapat secara masif menumbuhkan kesadaran sebagai masyarakat berkelakuan baik (good citizenship) yang sadar akan bahaya laten korupsi.

*) Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Gayuh Ilham